Ainsley adalah anak kuliahan yang punya kerja sampingan di cafe. Hidupnya standar. Tidak miskin juga tidak kaya, namun ia punya saudara tiri yang suka membuatnya kesal.
Suatu hari ia hampir di tabrak oleh Austin Hugo, pria beringas yang tampan juga pemilik suatu perusahaan besar yang sering di juluki iblis di dunia bisnis.
Pertemuan mereka tidak menyenangkan bagi Ainsley. Tapi siapa sangka bahwa dia adalah gadis yang dijodohkan dengan Austin dua puluh tahun silam. Lebih parahnya lagi Austin tiba-tiba datang dan menagih janji itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Setelah Diana pergi, Ainsley mulai merasa jenuh. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi keluar.
Di luar, ia melihat sebuah sedan hitam terparkir di driveway. Seorang laki-laki berpakaian rapi sedang duduk di depan garasi.
Ia langsung berdiri setelah menyadari kehadiran Ainsley.
"Mau pergi, nona?" tanyanya.
"Iya," jawab Ainsley. Laki-laki itu berjalan mendahului Ainsley dan langsung membukakan pintu mobil untuknya. Sepertinya ia sopir yang di maksud Austin.
Setelah Ainsley duduk dan ia menutup pintu belakang mobil, sopir itu duduk di belakang kemudi. Umurnya terlihat cukup muda di pertengahan dua puluhan. Wajahnya sangat bule, membuat perbedaan antara Ainsley yang sangat Asia itu dan sih bule terlihat jelas.
"Anda mau ke mana, Miss Hugo?" tanya sopir itu.
"Ke pantai saja," jawab Ainsley.
Sopir itu menurut. Ainsley menatap keluar jendela. Daerah rumah Austin berada bukan di daerah ramai, tapi sepertinya termasuk kawasan elit. Lihat saja bangunan rumahnya yang terkesan sangat mewah itu.
Sepanjang perjalanan Ainsley melihat rumah-rumah besar dan hotel mewah berjejer. Tidak sampai sepuluh menit, mereka sudah sampai. Ainsley keluar dari mobil.
Daerah itu sepi. Sepertinya itu bukan daerah pantai tempat orang biasa berekreasi.
"Kita di mana?" tanya Ainsley pada sopir yang ikut turun.
"Kahala beach, Miss." jawab sih sopir sambil berjalan mendahului Ainsley yang mengikutinya dari belakang.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak. Sebelah kanan dan kiri jalan dibatasi tembok rendah dipenuhi tumbuhan merambat. Pohon-pohon kelapa berdiri di sebelah kanan.
Mereka kemudian melewati sebatang pohon yang daun-daunnya merunduk melintang, seakan-akan menaungi jalan itu.
Di ujung jalan, sih sopir melangkah ke samping mempersilahkan Ainsley maju.
Ainsley ternganga. Pemandangan yang sangat mengagumkan. Lautan luas terhampar sejauh mata memandang. Angin berembus semilir. Ombak bergulung tenang di tepi pantai.
Waahhh.. kalau seperti ini sih Ainsley bisa betah tiap hari. Ia belum pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Mungkin sekarang sopir itu menganggapnya kampungan, namun ia tidak peduli. Ia hanya ingin menikmati pemandangan indah didepannya itu.
"Tuan Austin sering kemari. Katanya tempat ini menenangkan." kata sopir itu.
Ainsley mengangguk setuju. Benar, tempat ini memang menenangkan. Dan ia sangat suka.
"Silahkan bersenang-senang, nina. Saya akan menunggu di mobil." pamit si sopir yang di balas dengan anggukan Ainsley.
Ainsley melepaskan sneakersnya lalu berjalan ke pesisir mendekati air.
Pantai ini sepi. Tidak banyak orang yang datang. Ainsley hanya melihat sepasang kekasih yang sedang duduk berdua memadu kasih. Agak jauh di sebelah kanannya seorang anak kecil sedang bermain bersama tiga orang dewasa. Mungkin keluarganya.
Ainsley tersenyum melihat kebersamaan mereka. Ia selalu iri melihat keluarga yang begitu saling menyayangi dan menjaga.
Dulu ia punya mama yang sangat menyayanginya, memanjakannya dan menegurnya kalau ia berbuat salah. Tapi empat tahun lalu mamanya telah dipanggil pulang oleh Tuhan.
Setahun pasca meninggalnya mama kandungnya, papanya menikah lagi. Mama tirinya memang memperlakukannya dengan baik tidak seperti mama tiri di film-film. Walaupun begitu, belum bisa sepenuhnya menggantikan posisi mama kandungnya.
Terkadang Ainsley bertanya-tanya dalam hati kenapa mamanya bisa pergi dari dunia ini secepat itu, kenapa papanya menikah lagi.
Tapi inilah hidup. Kita tidak bisa mengontrol kehidupan seperti yang kita inginkan. Tidak ada yang tahu takdir apa yang menanti kita di masa depan. Nasib kita besok seperti apa tidak ada yang tahu.
Ainsley bahkan tidak menyangka akan bertemu dengan Austin, menjadi tunangan pria itu yang ternyata mereka sudah di jodohkan dari kecil, dan sekarang mereka bahkan sudah menikah. Ainsley juga tidak tahu kedepannya kehidupannya akan seperti apa. Apakah dirinya akan tetap menjadi istri Austin atau tidak, ia tidak tahu.
Pernikahan mereka terlalu tergesa-gesa. Ainsley masih memegang teguh kepercayaan bahwa Austin menikahinya tanpa dasar cinta. Bisa jadi ia dinikahi karena napsu semata. Bukan tidak mungkin Austin akan menceraikannya setelah bosan.
Kini ada ketakutan di hati Ainsley. Ia tidak mengerti kenapa hatinya terasa berat ketika memikirkan Austin akan menceraikannya. Bukankah itu yang dia mau? Tapi kenapa rasanya berat?
Gadis itu menghela napas. Sambil menatap langit yang kini berwarna jingga kemerahan. Ia menutup matanya, menikmati angin semilir yang menerpa permukaan kulitnya.
Tiba-tiba Ainsley merasa ada sesuatu yang melingkari pinggangnya dari belakang. Ia kaget lalu membuka matanya.
"Hei, cantik."
Ainsley langsung mengenali bisikan lembut di telinganya itu. Ia menoleh.
Austin memeluknya dari belakang sambil tersenyum lembut. Semalam, sepanjang malam sampai tadi pagi ia sangat kelelahan karena harus menyelesaikan pekerjaan kantor.
Meski begitu, Austin tidak lupa pada Ainsley dan menanyakan keberadaan sang istri pada sopirnya. Ia tahu ini pertama kalinya Ainsley bepergian ke luar negeri. Mungkin saja belum terbiasa. Karena itu Ia langsung menuju ke tempat Ainsley berada sekarang setelah masalah di kantor beres.
"Kau sangat cantik. Kau membuatku ingin menciummu lagi." bisik Austin sambil menatap Ainsley dengan intens. Ainsley tertegun sesaat. Austin tampak begitu tampan di bawah cahaya langit jingga.
Jangan tergoda Ainsley. Pria didepanmu ini hanya bermain-main denganmu. Batin Ainsley.
Tapi tidak bisa ia pungkiri jantungnya malah berdebar begitu kencang hingga ia takut Austin akan mendengarnya. Gadis itu berusaha menutupi rasa gugupnya. Ia melepaskan rangkulan Austin.
"Bagaimana kau tahu aku di sini?" tanyanya.
"Aku bertanya pada sopir."
"Pekerjaanmu sudah selesai?" Ainsley bertanya lagi lalu memalingkan wajahnya dari Austin dan kembali memandang langit.
"Ya." jawab Austin. Lelaki itu memeluk Ainsley lagi dan mengeratkan pelukannya. Ainsley ingin melepaskan diri namun tidak bisa, akhirnya pasrah.
"Memangnya kenapa?" giliran Austin yang bertanya. Ia berharap Ainsley bilang gadis itu sedang menunggunya.
"Kata kak Diana ada masalah di kantormu, mungkin kau akan pulang malam." jawab Ainsley, bertolak belakang dengan jawaban yang di inginkan Austin. Tapi tidak apa-apa.
"Memang ada masalah. Tapi sudah selesai. Aku juga merindukanmu jadi langsung pulang."
"Cih," Ainsley berdecih. Perkataan pria memang sulit di percaya.
"Kau sudah makan?" tanya Austin.
Ainsley menggeleng. Ia hanya makan cemilan yang ada di kulkas dalam rumah pria itu. Memang tadi ia beberapa pelayan sudah menyiapkan makanan untuknya, namun tadi ia belum berselera makan. Ia hanya mengisi perutnya dengan makanan ringan.
"Kau tidak keberatan kan makan malam bersama rekan kerjaku?" tanya Austin lagi.
Ainsley menoleh. Ia menunjukkan ekspresi seperti sedang bertanya.
"Aku tahu rencana awal kita ke sini memang untuk liburan. Tapi ada masalah yang cukup serius di kantorku. Aku masih harus bertemu dengan rekan kerjaku. Di sisi lain, aku tidak tega meninggalkanmu sendiri di rumah. Kau pasti kesepian kan? Jadi lebih baik kau ikut aku saja." jelas Austin panjang lebar.