Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KETEGANGAN DI KELAS
Hari-hari di kampus semakin sibuk, dan semester ini bener-bener bikin kepala pusing. Tugas menumpuk, dosen yang galak, ditambah lagi interaksi antara aku dan Bima yang rasanya makin tegang. Meskipun kita udah berusaha untuk memperbaiki hubungan, kenyataannya jauh dari harapan. Setiap kali masuk kelas, ada aura aneh yang bikin aku bingung.
“Meg, lu kenapa sih? Mukanya kayak abis nonton film horor!” Rina nyengir sambil duduk di sebelahku. Kami lagi nunggu dosen masuk kelas, dan rasanya kayak detak jantung ini nggak mau berhenti. “Nggak tahu, Rin. Bima kayaknya menjauh lagi, deh. Dia jadi dingin,” jawabku dengan nada pesimis.
Rina langsung mengernyitkan dahi. “Serius? Gue pikir, setelah nonton bareng dan ngobrol, dia lebih deket sama lo. Kenapa tiba-tiba dia jadi kayak gini?” Dia mencoba memahami situasi. “Gue juga nggak ngerti. Mungkin ada yang salah sama gue?” Balasku sambil menggelengkan kepala.
Saat dosen masuk kelas, aku mencoba untuk fokus. Namun, setiap kali aku mencuri pandang ke arah Bima, dia selalu terlihat jauh. Dia duduk dengan temannya, tertawa dan ngobrol dengan santai. Tapi ketika matanya bertemu denganku, semua itu hilang. Ekspresinya dingin dan seolah menghindar. Rasanya sakit banget.
Selama pelajaran berlangsung, aku berusaha keras untuk tidak memperhatikan Bima. Tapi, setiap kali aku mendengar suaranya, rasanya seperti ada panah yang menancap di hati. “Kenapa sih dia bisa dingin banget? Dulu, kita bisa ngobrol kayak gini tanpa masalah,” pikirku sambil mengatur napas.
Setelah kelas selesai, Rina langsung nyamperin aku. “Meg, lo oke? Gue lihat lo kayak gelisah banget.” Dia memperhatikan ekspresiku yang penuh tanda tanya. “Nggak tahu, Rin. Bima malah kayak menghindar dari gue. Apa gue harus ngomong langsung?” tanyaku dengan harapan.
“Coba aja, Meg. Lo harus jelas sama dia. Jangan biarkan perasaan ini bikin lo bingung,” Rina menyarankan. Aku mengangguk, berusaha meyakinkan diri. “Iya, bener juga sih. Tapi gimana kalau dia nggak mau denger?”
Setelah kelas, aku memutuskan untuk mencari Bima. Dengan penuh keberanian, aku menghampirinya yang lagi ngobrol sama temannya di kantin. “Bima, bisa bicara sebentar?” ucapku, suaraku hampir tidak terdengar.
Bima terlihat terkejut, tapi dia mengangguk. “Oh, hai Meg. Iya, ada apa?” Dia berdiri, dan temannya terlihat bingung. “Kita bisa ngomong di tempat yang lebih tenang?” tawarku. “Ya, ayo,” jawab Bima, dan kami berdua melangkah menjauh dari kerumunan.
Di sudut kantin, suasana agak sepi. “Jadi, Bima, kenapa lo kayak jauh banget dari gue belakangan ini?” tanyaku langsung. Dia menatapku sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. “Gue… lagi sibuk sama tugas dan kegiatan lain,” jawabnya dengan nada datar.
“Gue ngerti, tapi lo nggak harus menghindar dari gue. Kita udah berusaha untuk mulai lagi,” ucapku dengan penuh harap. “Meg, gue nggak mau bikin lo sakit. Mungkin lebih baik kita tetap sebagai teman.” Jawaban itu bikin hatiku terasa hancur. “Tapi kita udah bilang mau mencoba, kan?”
Bima terlihat bingung. “Iya, tapi kadang kita harus realistis. Mungkin kita bisa jadi teman yang baik, tanpa harus berlebihan.” Kata-katanya menusuk hati ini. Aku merasa seperti kehilangan lagi. “Jadi, lo beneran mau menjauh dari gue?” tanyaku dengan nada putus asa.
“Gue nggak mau menjauh, tapi… gue takut kita kembali ke situasi yang sama,” dia berkata dengan pelan. Rasanya, hatiku ingin teriak. “Tapi, Bima, kita bisa belajar dari kesalahan!” balasku dengan berusaha meyakinkan.
Suasana jadi tegang, dan aku bisa merasakan bahwa Bima juga merasakannya. “Meg, gue… mungkin ini semua terlalu cepat buat gue. Gue butuh waktu,” ujarnya, dan aku tahu itu adalah alasan yang menyakitkan. “Oke, jika itu yang lo mau, gue akan coba mengerti. Tapi tolong jangan buat ini jadi lebih sulit.”
Aku berbalik dan pergi meninggalkannya. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban yang sangat berat di pundak. Rina langsung menghampiriku saat melihat wajahku yang murung. “Meg, lo kenapa? Apa yang terjadi?” Dia terlihat khawatir.
“Dia bilang dia butuh waktu, Rin. Kayaknya semua usaha kita sia-sia.” Suara ini keluar dengan nada sedih. “Tapi jangan putus asa, Meg! Lo sudah berusaha, dan kadang cinta memang perlu waktu. Coba deh, lo fokus sama diri lo sendiri dulu,” Rina menghiburku.
“Gue tahu, tapi rasanya nyesek banget. Kayak semua ini balik lagi ke titik awal,” kataku sambil mengusap air mata yang hampir jatuh.
Beberapa hari ke depan, hubungan kami menjadi lebih aneh. Meskipun aku berusaha untuk bersikap biasa, ketegangan di antara kami jelas terasa. Di kelas, setiap kali kami berpapasan, Bima akan menghindar, dan rasanya kayak hatiku ditusuk-tusuk. Rina terus berusaha menghiburku, tapi aku merasa sulit untuk kembali ke keadaan semula.
“Meg, kita harus pergi jalan-jalan atau melakukan sesuatu yang seru. Biar otak kita fresh,” Rina mengusulkan suatu hari. “Mungkin… tapi ke mana, Rin?” jawabku dengan nada skeptis. “Ke tempat yang lo suka! Nonton konser atau ke kafe baru yang viral,” dia bilang dengan semangat.
Akhirnya, kami memutuskan untuk nonton konser band lokal di akhir pekan. Ketika malam tiba, suasana penuh energi dan kegembiraan. Aku merasakan semangat yang sedikit mengalir di dalam diriku. “Gue butuh refreshing,” bisikku.
Di konser itu, kami berdansa, bernyanyi, dan bergaul dengan banyak orang baru. Ternyata, bisa melupakan sejenak masalah ini sangat membantu. Namun, di sudut hati ini, aku masih merindukan Bima. “Apakah dia juga merasa sepertiku?” tanyaku dalam hati.
Setelah konser, kami berhenti di kafe untuk ngobrol. “Meg, lo lihat? Semua orang di sini kayak happy-happy aja. Cobalah untuk menikmati momen ini,” Rina bilang sambil menyesap minuman. “Iya, gue tahu, Rin. Tapi kadang, rasa itu datang tanpa bisa dikendalikan.”
“Meg, jangan biarkan Bima mengendalikan perasaan lo. Lu yang berhak bahagia,” Rina mengingatkan dengan tegas. “Iya, Rin. Gue berusaha. Tapi rasanya berat banget,” jawabku dengan nada putus asa.
Hari-hari setelah itu, aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkan Bima. Meskipun sulit, aku berusaha untuk fokus pada tugas dan kegiatan lain. Tapi setiap kali kami bertemu di kelas, rasa itu selalu kembali. Setiap tatapan, setiap senyuman, semuanya membangkitkan ingatan lama yang bikin hatiku bergetar.
Suatu hari, saat kami lagi di kelas, dosen memberikan tugas kelompok. “Oke, kalian dibagi menjadi kelompok kecil. Silakan cari teman satu kelompok,” kata dosen sambil menunjuk ke arah papan. Aku berharap bisa satu kelompok dengan Bima, tapi dia sudah ada di kelompok lain.
Ketika dosen mengumumkan kelompok, aku dan Rina mendapatkan kelompok yang terdiri dari beberapa teman sekelas. Rina yang liat wajahku langsung memberi sinyal. “Meg, lo tetap bisa berinteraksi sama Bima meski di kelompok yang berbeda,” dia berbisik.
Setelah kelas, saat kami mengerjakan tugas di perpustakaan, aku melihat Bima di meja sebelah. Rasa canggung itu kembali muncul. Setiap kali aku melirik, dia selalu terlihat fokus, seolah menghindar dari tatapanku. “Gimana sih? Kenapa ini jadi rumit?” batinku.
Tanpa sadar, aku melamun dan kehilangan konsentrasi. “Meg, lo oke? Lo kayak hilang di dunia lain,” Rina nyengir sambil mengetuk meja. “Iya, Rin. Gue cuma… bingung,” jawabku. “Kamu mesti bisa komunikasi sama dia, Meg. Berani, dong?” Rina memberikan semangat.
Akhirnya, aku beranikan diri untuk berdiri dan menghampiri meja Bima. “Bima, boleh pinjam pensil?” ucapku dengan suara pelan, berusaha mengusir rasa gugup yang memenuhi perutku. Bima menatapku sejenak, lalu mengangguk sambil menyerahkan pensilnya tanpa berkata sepatah kata pun. “Makasih,” jawabku, berusaha tersenyum meskipun hatiku berdebar kencang.
Setelah kembali ke meja, Rina mengernyitkan dahi. “Meg, itu doang? Kenapa lo nggak tanya hal lain?” Dia terus mendorongku. “Iya, Rin, tapi… rasanya sulit,” balasku. “Gue nggak mau bikin suasana makin awkward.”
Kami melanjutkan tugas, tapi kepalaku dipenuhi dengan pikiran tentang Bima. Setiap kali melirik ke arah meja sebelah, aku melihatnya membuang pandangan ke arah lain. Kenapa dia jadi semenyedihkan ini? Apakah semua usaha kami untuk kembali ke hubungan yang lebih baik ini hanya berujung pada kebisuan?
Sore itu, setelah selesai di perpustakaan, aku dan Rina berjalan pulang bersama. “Meg, lo udah ngomong sama dia belum? Kenapa lo nggak berani ambil langkah lagi?” Rina bertanya penuh harap. “Gue bingung, Rin. Kadang, rasanya Bima juga mau, tapi di sisi lain, dia kayak menarik diri.”
“Dengerin, Meg. Kadang kita memang harus berani ambil risiko. Mungkin dia juga butuh dorongan dari lo,” Rina bilang penuh semangat. “Oke, gue coba lagi. Tapi gimana caranya?” jawabku.
Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk mengundang Bima ke acara yang diadakan di kampus. “Rin, bagaimana kalau gue ngajak Bima ke acara besok? Mungkin ini bisa jadi kesempatan buat kita bicara lagi,” kataku dengan harapan. “Bagus! Coba deh, Meg. Kita lihat respon dia,” Rina setuju.
Hari acara tiba, suasana kampus ramai banget. Banyak orang berkumpul, menikmati berbagai stand makanan dan acara musik. Aku berusaha bersikap santai, tapi jujur, di dalam hati ini penuh dengan rasa tegang. Setelah melihat Bima di kerumunan, aku menjemput keberanian.
“Mau ikut, Bima?” teriakku sambil melambai. Dia berbalik dan tersenyum kecil. “Oh, hai Meg! Iya, gue mau ikut. Seru ya acara ini?” jawabnya dengan nada lebih hangat. “Iya, seru banget. Ayo, kita jelajahi stand-standnya!” ajakku, berusaha agar suasana tidak terlalu kaku.
Satu jam berlalu, kami berjalan berdua sambil menikmati makanan yang dijajakan. Kami tertawa, berbagi cerita tentang kehidupan kampus, dan rasanya sedikit demi sedikit ketegangan itu mulai mencair. “Meg, lo masih suka sama makanan pedas, kan?” Bima bertanya sambil melirik stand mie pedas. “Iya, apalagi kalau bareng temen-temen. Kenapa?” balasku.
“Nggak ada apa-apa, cuma kangen aja. Dulu kita sering makan bareng.” Dia tersenyum, dan aku merasa seperti ada harapan baru. “Iya, kita harus coba lagi. Kayaknya seru deh,” jawabku, mencoba menghindari beban perasaan yang terus menghantui.
Tiba-tiba, ada musik yang keras dari panggung. Banyak orang mulai menari dan bergoyang. “Ayo, kita ikut joget!” ajak Rina, yang tiba-tiba muncul di sampingku. “Iya, yuk!” kami berdua berseru.
Setelah sedikit ragu, Bima akhirnya bergabung. Dia mulai melangkah mengikuti irama dan tertawa. “Meg, lo masih jago joget kayak dulu!” dia berkomentar sambil menunjukkan gerakan yang konyol. “Ya iyalah, gue kan anak joget sejati!” balasku dengan semangat.
Kami semua tertawa dan bergoyang bersama, dan aku merasakan suasana jadi lebih hangat. Semua ketegangan yang mengganggu seakan perlahan-lahan menghilang. Namun, saat aku melihat Bima menari, entah kenapa, perasaanku campur aduk lagi. “Apa ini semua hanya bersenang-senang? Apa dia punya perasaan yang sama?” batinku bertanya-tanya.
Setelah beberapa saat, kami semua capek dan memutuskan untuk duduk sejenak. Saat kami beristirahat, aku melihat Bima tersenyum, dan hatiku melompat. “Bima, seneng deh bisa ketemu sama lo lagi. Rasanya kayak kita bisa kembali ke masa lalu,” kataku sambil berharap.
“Iya, Meg. Gue juga seneng. Semoga kita bisa lebih sering ngelakuin ini,” jawab Bima dengan tulus. Tapi saat itu, ada keraguan di dalam hatiku. “Apakah kita benar-benar bisa?” tanyaku dalam hati.
Setelah beberapa jam bersenang-senang, acara pun mulai mereda. Kami berjalan pulang ke arah parkiran, dan suasana terasa lebih ringan. Rina berjalan di depan kami, memberikan ruang bagi aku dan Bima untuk berbicara.
“Bima, thanks ya udah mau datang. Ini salah satu malam yang paling seru,” kataku dengan tulus. “Iya, Meg. Gue senang bisa ikut. Semoga kita bisa terus kayak gini,” jawabnya sambil tersenyum. Namun, tatapannya yang tenang membuatku merasa ada sesuatu yang belum terungkap.
“Mungkin kita bisa bikin rencana untuk nonton bareng lagi, atau makan mie pedas kayak dulu?” tawarku dengan harapan. “Itu ide yang bagus! Gue akan siap-siap. Tapi…,” Bima terlihat ragu. “Tapi apa?” tanyaku, mulai merasa gelisah.
“Gue hanya butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Mungkin kita bisa berjalan perlahan, Meg,” ucapnya dengan serius. Rasa sakit di hatiku kembali hadir. “Oke, Bima. Gue mengerti. Cuma… jangan lama-lama ya?” balasku dengan senyuman yang dipaksakan.
Kami berpisah di parkiran, dan aku merasakan campur aduk dalam hatiku. Sepertinya semua usaha yang kulakukan masih belum cukup. Meskipun kami kembali bersenang-senang, ketegangan itu tetap ada.
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa lelah dan bingung. “Meg, lo oke?” Rina bertanya saat kami masuk ke dalam mobil. “Iya, Rin. Tapi kadang rasanya sulit banget,” jawabku. “Lo udah berusaha, dan itu udah luar biasa. Jangan putus asa,” Rina menenangkan.
Tapi saat malam datang, aku tak bisa tidur. Semua pikiran tentang Bima berputar dalam kepalaku. Rasa sedih dan bingung ini membuatku merasa terjebak dalam situasi yang sulit. “Apa yang harus gue lakukan? Kenapa perasaan ini nggak kunjung pergi?” tanyaku dalam hati.
Beberapa hari kemudian, saat kelas berlangsung, suasana makin tegang. Bima dan aku terpaksa berinteraksi saat ada tugas kelompok. Saat dia mendekat untuk mendiskusikan tugas, jantungku berdebar kencang. “Meg, bisa kita bahas soal tugas yang harus diselesaikan?” tanyanya.
“Iya, kita bisa di sini,” jawabku, berusaha untuk terlihat santai. Namun, saat kami mulai membahas, Bima tetap bersikap dingin. Dia berbicara secara formal dan terkadang mengalihkan pandangan, seolah menghindar dari interaksi yang lebih dalam. “Bisa nggak sih lo bersikap sedikit lebih… hangat?” pikirku sambil merasa putus asa.
Setelah kelas, aku kembali bertanya pada Rina. “Rin, kenapa Bima kayak gitu? Kita udah nyoba buat dekat, tapi dia tetap menjaga jarak.” Rina menghela napas. “Kadang, Meg, kita harus menghargai proses. Dia mungkin masih berpikir tentang semua yang terjadi sebelumnya.”
“Iya, tapi rasa ini bikin capek. Gue pengen bisa nyaman lagi,” balasku dengan kesedihan. “Coba lo bicarakan sama dia, mungkin dia butuh kejelasan. Jangan biarkan semua ini berlarut-larut,” saran Rina.
Dengan tekad baru, aku memutuskan untuk mencari Bima lagi. Malam itu, aku mengirim pesan singkat. “Bima, bisa kita ngobrol lagi? Gue rasa ada yang perlu kita bicarakan.” Tak lama kemudian, Bima membalas. “Oke, Meg. Kita bisa ketemu di taman kampus besok.”
Sore harinya, saat aku berjalan menuju taman, jantungku berdebar kencang. “Ini dia kesempatan untuk menyelesaikan semua ketegangan ini,” pikirku. Saat tiba, aku melihat Bima sudah menunggu. Dia terlihat tenang, tapi ada keraguan di matanya.
“Meg, terima kasih udah datang. Apa yang ingin lo bicarakan?” tanyanya. “Bima, gue merasa hubungan kita jadi aneh setelah kejadian itu. Gue pengen kita bisa lebih baik lagi. Kita bisa jadi teman yang lebih dekat,” jawabku dengan tulus.
“Gue juga merasa kayak gitu, tapi kadang sulit untuk kembali ke situasi yang sama,”
membalas dengan nada serius. “Aku ngerti, Bima. Tapi kita nggak bisa terus terjebak di masa lalu. Kita harus coba lagi, meskipun itu mungkin sulit,” kataku, berusaha meyakinkan.
Dia terdiam sejenak, tampak berpikir. “Mungkin kita bisa mulai dengan perlahan. Gue butuh waktu, tapi gue juga nggak mau kehilangan lo sebagai teman,” jawabnya pelan. Hatiku terasa lebih ringan mendengar itu.
“Deal! Kita bisa mulai dengan nonton bareng atau makan mie pedas,” balasku dengan semangat. Bima tersenyum, dan suasana mulai terasa lebih hangat. “Oke, Meg. Mari kita coba lagi, pelan-pelan,” katanya, dan aku merasa harapan kembali muncul di dalam diri.
Dengan langkah pasti, aku tahu bahwa perjalanan kami belum berakhir. Meskipun ada ketegangan, kami akan mencari cara untuk mengatasinya, satu langkah pada satu waktu. Dan mungkin, hanya mungkin, cinta yang pernah ada bisa tumbuh kembali.