Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Pertama
Semenjak pertemuannya dengan Lintang beberapa bulan yang lalu, Gabby merasa merasa lebih mudah untuk menghubugi Arnold. Bagaimana tidak? Ketika Arnold tidak mengangkat teleponnya, atau tidak membalas pesannya, atau mematikan ponselnya, Gabby langsung mengonfirmasi itu lewat Lintang. Dan dengan sigap, Lintang pun menanggapi pesan darinya. Lama-lama, percakapan yang sederhana itu semakin berlanjut dan berlanjut. Mereka saling berkomunikasi seolah sudah sangat akrab.
Malam ini, seperti biasa seusai kegiatan akademik, para taruna kembali ke kamar masing-masing. Begitu pula Lintang. Aktivitas seharian di lapangan membuatnya sedikit letih dan ia ingin segera membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia berfikir hendak menelpon Gendhis, lalu ia meraih ponselnya. Ketika hendak menelpon Gendhis, tiba-tiba handphonenya berdering, dan bukan Gendhis... melainkan Gabby yang menghubunginya.
"Gabby...???" Lintang bertanya dalam hati.
"Heyyy... Lintang... lagi sibuk nggak?" Sapa Gabby lembut.
"Gabby... oh... nggak, baru aja selesai kegiatan. Gimana? Mau cari Arnold? Bentar aku panggilin..." Kata Lintang hendak turun dari tempat tidurnya untuk memanggil Arnold yang saat itu masih belum kembali ke kamarnya.
"Oh.. oh... nggak... Kok.... eemmm... maksudnya... nggak lagi nyariin Arnold." Kata Gabby gugup.
"Duuuh... gimana ya ngomongnya?" Gabby bicara sendiri dalam hatinya.
Dia bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk bisa ngobrol dengan Lintang di telepon tanpa harus menggunakan Arnold sebagai alasannya.
"Aku kira nyariin Arnold... soalnya dia belum balik ke kamar." Kata Lintang.
Gabby senang mendengar Arnold belum kembali. Setidaknya, dia bisa leluasa ngobrol dengan Lintang meski cuma lewar telepon.
"Nggak... kok. Tadi aku udah ngobrol sama Arnold." Gabby berbohong, padahal jelas-jelas dia belum menghubungi Arnold.
"Ohhh... lalu? Apa kamu butuh sesuatu?" Lintang masih tak mengerti untuk apa Gabby menelponnya. Padahal jujur, dalam hati sebenarnya ada rasa senang saat Gabby menghubunginya lewat percakapan singkat, meski hanya sekedar menanyakan Arnold. Dan sekarang... Gabby malah menelponnya bukan untuk bicara dengan Arnold.
"Eeemm... aku cuma pengen bilang makasih sama kamu..." Kata Gabby.
"Makasih? Tapi makasih untuk apa ya?" Tanya Lintang karena dia tak merasa melakukan apapun untuk Gabby.
"Yaaa... makasih buat semuanya. Karena kamu udah bantuin aku, saat Arnold susah di hubungi." Jawab Gabby beralasan.
"Oh... soal itu." Ucapan Lintang terputus mendengar jawaban Gabby. Padahal dalam hatinya berharap lebih alasan Gabby menghubunginya bukan untuk Arnold. Tapi ia sadar, bahwa Gabby adalah tunangan sahabatnya. Meski ia tahu, Arnold tak pernah menganggap Gabby ada.
Gabby juga bingung harus ngomong apa. Ia tak tahu mengapa tiba-tiba dia ingin sekali menelpon Lintang.
"Kalau soal itu kamu nggak perlu berterimakasih. Kita kan temenan, udah semestinya saling bantuin." Jawab Lintang sedikit ada nada kecewa dalam ucapannya.
"Temen?" Tanya Gabby.
"Iya... temen. Sesama temen bukan kah kita harus saling mengerti?" Tanya Lintang memastikan.
Gabby pun ada rasa kecewa dalam hatinya, ternyata Lintang cuma menganggapnya sebagai teman.
Saking asyiknya ngobrol dengan Gabby, Lintang sampai tak sadarkan diri kalau ponselnya berdering.
Di tempat lain...
"tut... tut...tut... nomor yang Anda tuju sedang berada dalam panggilan lain..."
Handphone Gendhis belum juga bisa menelpon Lintang.
"Mas Lintang lagi teleponan sama siapa malem-malem gini?" Gendhis bicara sendiri di kamarnya.
Ia melihat jam yang menempel di dindingnya sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Ia tahu betul itu adalah jam istirahat Lintang. Hanya malam itu dia merasa sulit memejamkan matanya. Karenanya ia putuskan untuk menelpon Lintang, mungkin saja dia juga belum tidur. Dan ternyata benar... Lintang belum tidur.
"Tapi jam segini Mas Lintang telepon siapa ya? Ah... paling lagi ada tugas malem. Tapi tugas apa iya pake telepon?" Gendhis semakin bertanya-tanya.
"Udah ah... Dis... Dis... jauhkan kekhawatiranmu itu... siapa tahu Mas Lintang lagi ada kepentingan sehingga mengharuskan ia telepon malem-malem gini." Gendhis berusaha menghibur dirinya sendiri.
*Back to Lintang...
Ahirnya percakapannya dengan Gabby selesai. Dia menutup teleponnya dan baru aja sadar kalau ternyata Gendhis sudah menghubunginya sebanyak tiga kali.
"Ya ampun... Gendhis telepon? Aduhhh... kok bisa aku sampai nggak denger?" Lintang terkejut dan segera menelpon balik.
Gendhis yang sedari tadi menunggu telepon dari Lintang pun segera menjawab teleponnya.
"Gendhis... Kamu belum tidur ya? Maaf ya, tadi... hpku dipinjem Arnold buat telepon tunangannya, soalnya hpnya katanya dicariin nggak ketemu." Satu kali kebohongan Lintang yang pertama.
"Oh... gitu. Iya Mas nggak papa. Tadi aku nggak bisa tidur, terus aku telepon Mas Lintang, nggak tahu kalau hpnya lagi dipinjem sama Kak Arnold. Maaf yaaa..." Kata Gendhis.
"Ee... eh... nggak usah minta maaf, harusnya aku yang minta maaf karena nggak ngomong sama kamu dulu, aku kira kamu udah tidur." Kata Lintang gugup karena dia belum pernah tidak jujur pada Gendhis, soal apapun. Dan lihat malam ini? Dia merasa ada rasa bersalah dalam hatinya.
"Nggak papa, Mas... eemmm... Mas Lintang baik-baik aja kan? Maksudku... Mas Lintang sehat? Aku cuma khawatir aja, kok dari tadi kepikiran Mas Lintang terus." Jelas Gendhis, membuat Lintang merasa semakin bersalah. Ternyata se peka itu perasaan Gendhis terhadapnya. Baru sekedar telepon, apalagi kalo sampe macem-macem? Ah... buang jauh-jauh pikiran itu Lintang... gumamnya dalam hati.
"Oh... iya Dis... aku sehat... baik-baik aja. Mungkin kamu kecapekan karena terlalu banyak kegiatan sekarang, jadinya susah tidur. Mending sekarang kamu istirahat, jangan sampai sakit..." Kata Lintang menegakan hati Gendhis.
"Iya mungkin... Mas Lintang bener. Ya udah, Mas Lintang pasti juga capek. Buruan istirahat juga yaaa..." Ucap Gendhis.
"Okey... kalau gitu kita istirahat sekarang." Kata Lintang menyanggupi.
"Ya udah, Met istirahat ya Mas... tetep jaga kesehatan." Pesan Gendhis.
"Kamu juga di situ yaaa... jaga diri baik-baik. Aku slalu merindukanmu. Assalamu'alaikum..." Kata Lintang.
Gendhis tersenyum lega,
"Ya... Mas, Waalaikumsalam..." Gendhis menutup teleponnya.
Gendhis lega setelah mendengarkan penjelasan dari Lintang dan akhirnya dia pun dapat memejamkan matanya.
Sementara Lintang... dia menarik nafas panjang
"Huuuuffftttt... hampir aja... ketahuan!" Lintang bicara sendiri.
Arnold tiba-tiba datang mengejutkan Lintang yang baru saja menutup teleponnya.
"Heyyy... Bro... Belum tidur?" Tanya Arnold.
"Eh... belum Bro, barusan Gendhis selesai telepon." Jawab Lintang, tak enak hati juga, sudah ngobrol diem-diem dengan Gabby tanpa sepengetahuannya.
"Oh..." Arnold tak mau ambil pusing dengan jawaban Lintang dan segera ia mengambil handuk untuk mandi.
"Kamu dari mana aja Bro? Jam segini baru balik kamar?" Tanya Lintang.
"Tadi gue cari angin jalan-jalan bentar."
"Ya udah, aku tidur duluan ya. Ngantuk banget nih..." Kata Lintang sambil membaringkan tubuhnya kembali.
Arnold berjalan menuju kamar mandi, sementara Lintang yang sekarang gantian kesulitan memejamkan matanya. Dia masih terngiang ucapan Gabby dalam teleponnya tadi. Ia merasa aneh dalam hati kecilnya, seolah dia ingin mengingat-ingat terus perjumpaan pertamanya dengan Gabby. Apalagi dia rajin membuka story whatsapp Gabby, membuat Lintang harus mengakui kalau Gabby adalah gadis kota yang cantik, seksi juga modern, cara fikirnya, selera fashionnya, dan kesukaannya pada sesuatu hampir sejalan dengan selera Lintang.
Malam pun semakin larut, mata Lintang merasa lelah, dan ahirnya ia pun terlelap.
*****
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?