Alya harus menjalani kehidupan yang penuh dengan luka . Jatuh Bangun menjalani kehidupan rumah tangga, dengan Zain sang suami yang sangat berbeda dengan dirinya. Mampukah Alya untuk berdiri tegak di dalam pernikahan yang rumit dan penuh luka itu? Atau apakah ia bisa membuat Zain jatuh hati padanya?
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
yuk ramaikan....
Update setiap hari....
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, subscribe, like, gife, vote and komen ya...
Buat yang sudah baca lanjut terus , jangan nunggu tamat dulu baru lanjut. Dan buat yang belum ayo buruan segera merapat dan langsung aja ke cerita nya, bacanya yang beruntun ya, jangan loncat atau skip bab....
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Kalau gitu, kita bisa sambung lain waktu ya, Pak. Assalamualaikum," ucap Usman mengakhiri panggilan telepon.
Suara balasan di seberang sana terdengar, sebelum panggilan terputus begitu saja. Usman menurunkan ponselnya, meletakkan kembali ke atas meja. Soraya duduk di kursi satu lagi, kopi hitam tanpa gula kesukaan Usman diletakkan di atas meja. Sang pembantu melangkah kembali masuk ke dalam rumah besar itu, Soraya melirik ke arah sang suami.
"Barusan teleponan sama siapa, Pa?" tanya Soraya menatap sang suami dengan ekspresi penasaran.
Usman mengeleng kecil, dan berkata.
" Nggak, Papa gak teleponan sama siapa-siapa."
Kedua mata Soraya langsung memicing curiga pada sang suami, jelas-jelas dari kejauhan wanita ini melihat sang suami mengapit benda pipih itu di daun telinganya. Tampak tersenyum lebar sesekali, karena penasaran Soraya mendekati taman belakang. Tetapi malah suaminya bilang tidak telepon dengan siapa pun.
"Mama lihat dari tadi, loh, Pa! Papa senyam-senyum sendiri seperti orang gila. Pas Mama ke sini, Papa malah matiin sambungan teleponnya," tukas Soraya pada sang suami.
Usman tertangkap basah, ia terkekeh kecil. Ia tidak bisa menyembunyikan pada wanita cerewet satu ini, bagaimana pun mereka sudah hidup sangat lama bersama. Dan Soraya tahu betul bagaimana kebiasaan Usman, begitu pula sebaliknya.
"Tidak, hanya tadi dapat telepon dari Pengacara. Katanya sudah ketemu sama Zain dan Alya di Bali," jawab Usman jujur.
Kedua mata Soraya masih memicing curiga pada sang suami, melihat tidak ada yang aneh. Soraya menghela napas kasar, sepertinya sang suami sama sekali tidak berbohong kepadanya.
"Lalu?"
"Iya, gak ada. Cuma itu aja," sahut Usman.
"Kenapa sih, Papa sebegitu ngebetnya Zain sama si gadis kampung itu. Mama tuh malu Papa, sampai-sampai Mama gak berani bawa teman-teman sosialita Mama ke sini. Apa kata mereka, kalau tahu, putra kita yang sempurna. Eh nikah sama perempuan desa seperti si Alya, mana tidak ada gelar sarjananya lagi. Mau taruh di mata muka Mama," keluh Soraya pada sang suami.
Usman menghela napas berat, benar kata para alim-ulama. Salah memilih ayah untuk anak, masih bisa selamat. Salah memilih ibu untuk anak-anak, maka, celaka. Soraya cantik, itu fakta.
Namun, kecantikan tidaklah bertahan sepanjang usia. Semuanya akan keriput pada waktunya, namun keimanan dan ketaatan pada Allah. Tidak akan pernah luntur dan tak lekang di makan waktu.
Soraya hanya peduli pada pendapat orang lain, pada gelar, pada kedudukan, tanpa menatap sisi yang lain. Usman menyesal, akan tetapi kayu sudah jadi arang.
"Alya itu cerdas, Ma. Hanya karena tidak memiliki gelar bukan berati Alya itu gadis yang bodoh. Ada banyak yang bergelar di luar sana, tapi lebih tidak beradab dan berilmu," tukas Usman.
"Gelar dan kedudukan tidak akan di ukur di papan nisan ," lanjut Usman.
"Ih! Papa apa-apaan sih, bukan itu yang Mama maksud. Tapi si Aly-"
"Kita bisa kuliahkan dia kalau hanya soal gelar, Mama. Mama pun juga bergelar saat nikah sama Papa, tapi apa? Gak ada ilmu hanya gelar yang tersemat. Kalau itu yang Mama permasalahan. Mama cobalah perhatikan si Alya baik-baik, menantu kita itu adalah perempuan baik-baik, Mama. Baik nasabnya, baik kelakuannya, baik pula tutur katanya. Apakah Mama lihat perempuan zaman sekarang sesabar Alya menghadapi mertua seperti Mama. Gak ada, Ma! Apakah yang bergelar? Mereka akan langsung memaki Mama kalau Mama memperlakukannya seperti Alya. Dan patut Mama ketahui, Alya bukan tak bisa melawan atau pun membantah. Ia hanya mencoba besar, karena menganggap Mama pengganti orang tuanya," potong Usman cepat membuat Soraya terdiam.
***
Derit pintu kamar hotel terbuka, Alya masuk ke dalam ruangan kamar hotel Zain dengan kata sandi pintu kamar yang Zain berikan. Ia ingin mengajak Zain untuk salat tahajud bersama, pelan-pelan saja. Mencoba agar Zain terbiasa, langkah kaki Alya berhenti tepat di samping ranjang. Ia mantap Zain dengan sorot mata memuja, Alya menunduk melepaskan telepon dari tangan Zain. Melihat deru napas Zain yang terasa memberat.
Alya mengerutkan dahinya.
"Apakah Mas Zain sakit?"
Telapak tangan Alya panas. Itu yang Alya rasakan, ia mulai panik. Lantaran sang suami ternyata sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Mentari menyingsing semakin naik, tirai balkon tampak menari dibelai angin siang. Zain meringis kecil, seluruh persendian tubuhnya terasa sakit. Ia mengerang pelan, kelopak matanya terbuka lalu tertutup kembali.
Zain menoleh ke arah samping, mendapati kehadiran Alya. Gadis itu duduk di lantai dengan kepala yang disandarkan ke arah ranjang, Zain merasa dahinya lembam.
"Apa, ini?" Zain meraih sapu tangan hitam yang terasa sedikit masih basah.
Ia menoleh ke arah nakas, terdapat ember kecil. Yang entah dari mana sang istri mendapatkannya, hingga bisa dijadikan wadah untuk mengkompres dahinya. Ah, Zain ingat samar-samar. Ia jatuh sakit dini subuh tadi, Zain pikir itu hanya halusinasi mendengar suara gadis satu ini.
Lalu ia merasa dahinya ada benda lembab sedikit hangat pada dahinya yang panas, terdengar gumaman yang terasa jauh. Nyatanya sang istri telah berada di sana sedari dini hari tadi, lalu sampai waktu menunjuk pukul 13.00 WITA.
Tangan Zain terulur, besar kemungkinannya Alya tertidur. Hingga belum sempat salat Zuhur, tangannya menyentuh tangan Alya yang tergelak di atas permukaan ranjang.
"Alya! Alya!" Zain menggoyang kecil tangan sang istri dengan intonasi nada serak.
Merasa tangannya digoyang-goyang beberapa kali, Alya tersentak. Kedua kelopak matanya terasa masih berat, akan tetapi suara yang memanggil namanya semakin jelas. Kepalanya diangkat dari bibir ranjang, ia mengucek kedua kelopak matanya.
"Astaghfirullah," gumam Alya kala sadar.
"Salat, Alya. Ini sudah jam 1 siang," ujar Zain mengingatkan sang istri yang selalu mengutamakan salat di awal waktu.
Sontak saja Alya membawa sorot matanya ke arah jam di atas nakas. Benar saja, Alya bangkit dengan perlahan. Ia meringis kecil menyentuh kaki kanannya, dengan bibir digigit pelan.
"Kenapa, Alya?" tanya Zain melihat ekspresi aneh sang istri.
"Kesemutan, Mas! sepertinya karena terlalu lama dihimpit sama kaki kiri," sahut Alya sedikit meringis.
"Duduk dulu, kalau begitu," anjur Zain pada sang istri.
Alya mengangguk sepertinya ia harus duduk sebentar, untuk meredakan rasa kesemutan.
"Eh, kau mau duduk, di mana?" Zain mengerutkan dahinya kala Alya tampaknya mau kembali duduk di lantai hotel.
"Lantai, Mas," jawab Alya dengan polosnya.
"Duduk di ranjang saja, masa ada ranjang sebesar ini malah memilih lantai," tukas Zain cepat.
Dahi Alya sontak saja mengerut mendengarnya, ada apa dengan sang suami? Bukannya Zain paling tidak suka kalau Alya naik ke atas ranjang.
Kecuali ada seseorang di sekitar mereka, maka Zain hanya akan diam memperhatikan gerak-gerik Alya. Kali ini berbeda, malah pemuda itu sendiri yang menawarkan untuk duduk di atas ranjang.