Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Nasi goreng lagi
Yasna duduk di ranjang dengan bersandar di kepala ranjang. Emran dan anak-anaknya sudah pulang satu jam yang lalu. Alina masuk ke kamar Yasna dengan membawa nampan berisi nasi dan segelas air.
"Kenapa dibawa ke sini, Bu? Aku bisa turun," ucap Yasna yang merasa tidak enak.
"Bukankah kata Dokter kamu nggak boleh banyak gerak," ujar Alina.
"Cuma dekat," kilah Yasna.
"Tetap saja tidak boleh ... kamu nggak pernah cerita kalau Emran memiliki dua anak?" tanya Alina.
"Buat apa?" tanya Yasna.
"Kalian itu sebenarnya menjalin hubungan yang seperti apa sih? Kalian sudah tidak muda lagi, jangan mempermainkan sebuah hubungan," ucap Alina.
"Kami serius, Bu! Hanya saja Aydin belum setuju dengan hubungan kami. Aku sudah pernah gagal, aku tidak ingin gagal lagi. Maka dari itu kami sudah memutuskan kalau kami akan membangun rumah tangga, saat semua orang merestui kami," tutur Yasna.
Alina menganggukkan kepalanya mengerti maksud putrinya. Ia juga tidak ingin melihat putrinya kembali mengalami kegagalan.
"Apa Emran punya anak lagi selain mereka?" tanya Alina.
"Tidak, Mas Emran memiliki dua anak, Aydin dan Afrin," jawab Yasna.
"Apa kamu sudah menceritakan semua tentang dirimu padanya?" tanya Alina lagi.
"Maksud Ibu, tentang rahimku?" tanya Yasna balik yang diangguki Alina.
"Aku sudah menceritakan semua padanya dan alhamdulillah, dia tidak keberatan tentang hal itu," jawab Yasna.
"Kalau mengenai keluarganya? Apa mereka juga tahu tentang keadaanmu?" tanya Alina.
"Aku tidak tahu, Mas Emran juga nggak cerita," ucap Yasna.
"Sudahlah, makan dulu, habis itu minum obat," ucap Alina.
"Tadi sebelum pulang sudah makan, Bu. Aku sudah kenyang, minum obat saja," sahut Yasna.
"Yasudah, ini obatnya." Alina menyerahkan obat yang ia terima dari Emran tadi.
*****
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Yasna mana? Tidak ikut pulang sama kalian?" tanya Karina.
"Sudah aku antar pulang, Ma. Kakinya terkilir, tadi nolongin Aydin yang hampir tertabrak motor," jawab Emran.
"Aydin nggak papa?" Karina mendekati Aydin dan memeriksa tubuhnya.
"Aku nggak papa, Oma," sahut Aydin.
"Hanya lututnya tadi yang berdarah, Yasna yang nolongin malah terkilir, untungnya tidak terlalu parah, tapi tetap saja dia tidak boleh banyak bergerak," ujar Emran.
"Besok Mama mau jenguk Yasna," ucap Karina.
"Alin ikut Oma," sela Afrin.
"Iya, kita jenguk Bunda sepulang sekolah," ujar Karina.
"Asik!" pekik Afrin.
"Kalian mandi sana lalu istirahat ... Afrin mau Oma mandikan?" tanya Karina.
"Alin mandi sendili, Oma." Afrin berlari menuju kamarnya.
*****
Tiga hari telah berlalu, keadaan kaki Yasna sudah membaik, meski sedikit ngilu jika dibuat berjalan. Hari ini ia akan kembali mengajar, ia juga sudah menghubungi Nadin karena sebelumnya Emran meminta izin pada Nadin agar memberi izin satu minggu untuk Yasna.
Pagi sekali Tisya sudah berada di rumah Emran. Ia berniat meminta maaf pada Emran dan akan berusaha kembali mengambil hatinya.
"Ini masih sangat pagi? Tumben kamu sudah di sini?" tanya Karina.
"Saya bawakan makanan Tante, biar Tante tidak perlu susah-susah masak." Tisya memperlihatkan rantang makan yang ia bawa pada Karina.
"Tante nggak masak, yang masak Bik Ima," sahut Karina.
"Biasanya kan Tante yang masak sendiri?" tanya Tisya.
"Lagi malas," jawab Karina.
"Emran sudah bangun belum, Tan?" tanya Tisya.
"Belum," jawab Karina.
"Biar aku yang membangunkannya." Tisya berlalu tanpa menunggu jawaban karina.
"Wanita macam apa dia? Main masuk kamar laki-laki seenaknya," gumam Karina.
Tisya mengetuk pintu kamar Emran beberapa kali. Namun, tidak mendapat sahutan, ia memutuskan masuk saja. Sudah beberapa kali Tisya datang ke rumah ini, jadi tidak heran jika ia tahu di mana kamar Emran.
Saat Tisya memasuki Kamar Emran, ia tidak melihat sipapun ada di kamar. Suara gemericik air di kamar mandi menjawab keberadaan Emran. Ia yang melihat kasur Emran yang berantakan segera membereskannya.
"Sedang apa kamu di sini?" Emran terkejut mendapati Tisya berada di kamarnya, untung saja ia tadi membawa kaos dan celana ke kamar mandi.
"Aku bawain sarapan buat kamu," jawab Tisya.
"Sebaiknya kamu keluar, tidak pantas seorang wanita berada di dalam kamar pria," ujar Emran.
"Aku akan menunggumu di sini, kita keluar sama-sama," sahut Tisya.
"Kamu keluar dulu, aku--
"Lebih baik kamu segera bersiap, dari pada harus berdebat denganku, aku akan menunggu di sini, barang kali kamu membutuhkan bantuanku," sahut Tisya
Tidak ingin berdebat, akhirnya Emran membiarkan Tisya, karena ia tahu Tisya orang yang sangat keras kepala. Seberapa keras ia berusaha mengusir wanita itu, sekeras itu pula Tisya akan memberontak.
Usai bersiap, Emran dan Tisya keluar dari kamar menuju ruang makan, di sana Emran dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita, siapa lagi kalau bukan Yasna.
Begitupun dengan Yasna, ia sangat terkejut dengan kehadiran Emran yang ditemani seorang wanita. Ia mengalihkan pandangannya untuk menutupi rasa sakit yang sama, seperti dulu pernah ia rasakan. Dulu suaminya bersama wanita lain ia berhak marah, tetapi kini Emran bukan siapa-siapa untuknya, rasanya tak pantas jika ia marah.
Sementara Karina merasa sangat bersalah, tak seharusnya tadi ia membiarkan Tisya masuk ke kamar Emran, tetapi ia mana tahu kalau Yasna hari ini ke sini untuk mengambil motornya.
"Ayo, sarapan! Nanti kalian terlambat," ucap Karina dengan suara yang sengaja dikeraskan.
"Ayo, Emran! Aku tadi masak ayam goreng sama sambal kesukaan kamu." Tisya menarik tangan Emran untuk duduk.
Emran sangat berharap Yasna akan marah. Namun, Yasna sepertinya biasa saja, apa rasa yang wanita itu miliki tak sebesar yang ia rasakan padanya? Sungguh Emran sangat kecewa. Saat Tisya akan mengambilkannya nasi, Emran mencegahnya.
"Aku makan nasi goreng saja." Emran segera mengambil sendiri nasi goreng ke piringnya.
Tisya terlihat kecewa, padahal ia berharap Emran mau memakannya, ia sudah susah payah membuatnya.
"Bik! Kenapa nasi gorengnya asin?" tanya Emran.
"Maaf, Den. Saya tidak masak nasi goreng," jawab Bik Ima.
"Lalu ini--
"Maaf, mungkin tadi saya salah memasukkan bumbu," ucap Yasna.
Memang Yasna tadi yang sengaja datang pagi agar bisa membawakan nasi goreng untuk Emran. Namun, sepertinya hanya untuk mempermalukan dirinya.
"Lebih baik kamu makan ayam ini saja." Tisya mengambilkan Emran nasi, Ayam beserta sambalnya.
"Saya harus segera berangkat, nanti terlambat. Terima kasih jamuannya, Bu. Assalamualaikum." Yasna pergi tanpa menunggu jawaban dari Karina.
"Waalaikumsalam," gumam Karina.
Karina mengaduk nasi goreng yang dibawakan Yasna, ia mengambil bagian yang paling bawah dan mencobanya, ternyata rasanya sangat enak, yang terasa asin hanya bagian atasnya dan ia tahu siapa pelakunya.
Emran yang mengerti maksud Mamanya, hanya bisa mengembuskan nafasnya kasar. Aydin memang selalu saja membuat masalah dengan para wanita yang berusaha mendekatinya. Kenapa harus Yasna? Padahal Yasna sudah menolongnya waktu itu.
.
.
.
.
.