Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersesat
"Kamu siapa?! Jangan mendekat!" serunya dengan suara bergetar, melangkah mundur hingga punggungnya menabrak bumper mobil.
Sosok wanita bergaun putih itu perlahan menoleh ke arah mobil Pak Tua, matanya seolah membara dalam kebisuan malam. Kusuma, dengan cepat, mengayunkan linggis ke arah bayangan dingin tersebut, namun seperti kabut yang menghindari sinar, sosok itu lenyap sebelum pukulannya tiba.
“Kamu pergi atau kubunuh!” teriak Kusuma, suaranya menggema di keheningan, seakan menantang bayangan malam itu sendiri.
Kusuma berlari menuju mobil Pak Tua, namun langkahnya terhenti ketika sosok mengerikan itu kembali muncul, berdiri menghalanginya, menatapnya dengan mata tajam yang penuh dendam, seperti api dingin yang tak pernah padam. Kusuma berteriak ke arah keluarga yang terjebak di dalam, “Bu, Pak! Cepat merunduk! Lindungi kepala kalian!”
“Pyaaaarrr!” Suara kaca mobil yang pecah terdengar memekakkan telinga, pecahan kecil berserakan seperti serpihan bintang jatuh. Tangisan anak kecil di dalam mobil pun kian nyaring, memantul dalam malam yang pekat. Kusuma membungkuk, separuh tubuhnya menembus kaca yang hancur itu, meraih gadis kecil yang ketakutan di kursi belakang.
“Dik, kamu duduk di sini dulu ya,” bisik Kusuma, mencoba menenangkan gadis kecil itu sembari membawanya ke kursi depan mobilnya. Saat hendak kembali ke mobil Pak Tua, ia tertegun, seluruh tubuhnya mendadak terasa dingin. Di atas atap mobil Pak Tua, merangkak sosok anak kecil yang aneh, tubuhnya hitam dan kurus, daun telinganya runcing, dan sepasang mata yang menatap dengan kilatan tajam yang tidak seperti manusia.
“Pak, hati-hati!” teriak Kusuma, tangannya meraih pemukul kasti dari mobil. Sosok kecil itu bergerak lincah, melompat dari sisi ke sisi, sebelum akhirnya Kusuma berhasil menghantam makhluk itu, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah dalam bayangan remang.
“Mbak, kamu tidak apa-apa?” Pak Tua akhirnya keluar dari mobil, membantu Kusuma yang kelelahan. Makhluk itu pun menghilang seperti asap, lenyap di bawah cahaya bulan.
“Pak, ada yang aneh dengan desa ini…” Kusuma mengucap dengan suara yang hampir tenggelam di balik kebisuan kabut malam. Namun, Pak Tua tiba-tiba tak menoleh, tak merespon. Suara nyaring besi dipukul tiba-tiba menggema.
Ting... Ting Ting...
Ternyata Pak Tua telah berada di belakang, mendongkel pintu belakang mobil untuk menyelamatkan istrinya yang terjebak. Kusuma segera mendekat dan membantu, meraih tangan wanita paruh baya itu. Dalam bayang-bayang yang memanjang, ia sadar bahwa ini bukan sekadar malam biasa, melainkan perjalanan yang membawa mereka ke perbatasan antara dunia yang nyata dan dunia yang terlupakan.
Mereka bergegas memasuki mobil, seolah-olah keheningan malam yang dingin itu bisa menelan mereka kapan saja. Detak jantung Kusuma terasa memburu, bergema dalam keheningan yang pekat.
“P-Pak, ambil jalan mana untuk ke Kampung Cermai?” tanya Kusuma, suaranya sedikit gemetar oleh rasa dingin dan takut yang menyelimutinya.
“Belok kanan, Mbak.” Pak Tua menjawab terburu-buru, kakinya menginjak pedal gas dengan penuh kegelisahan, berharap mereka bisa meninggalkan kegelapan yang menghantui di belakang.
Namun, tiba-tiba makhluk mengerikan merayap di atas mobil mereka. Kepalanya terjulur terbalik hingga rambut panjangnya menjuntai di kaca depan, menutupi pandangan mereka seperti tirai gelap yang penuh mimpi buruk.
“Cimitttzzz!”
Kusuma menginjak rem dengan keras, membuat mobil berguncang hebat. Gadis kecil di kursi belakang menjerit ketakutan, suaranya menggema bersama suara rem yang melengking.
Makhluk itu bergerak mundur dengan gerakan yang tak wajar, seolah sedang menantang Kusuma, memperlihatkan senyum bengis di wajahnya yang pucat. Kusuma menjerit, menginjak klakson keras-keras hingga bunyinya memecah kesunyian malam. Makhluk itu terkejut, beringsut mundur lalu menghilang, merayap ke atas pohon dan lenyap di balik semak dedaunan yang lebat.
“Mbak, sebentar lagi pagi. Kita harus segera pergi,” ujar Pak Tua, menengadah ke arah langit yang mulai merona jingga.
Kusuma mencoba menarik napas, tapi ketegangan di dadanya masih menggulung. Ia melajukan mobil lagi, namun tangannya yang gemetar dan kepalanya yang penuh dengan bayangan mengerikan membuatnya kehilangan kendali. Mobil berbelok liar dan menghantam pohon besar di tepi jalan, suaranya bergemuruh memecah sunyi.
Brakkkk!
Kusuma tersentak, pemandangannya berputar, dunia seolah terbalik, dan tubuhnya terhempas keras ke setir. Saat membuka matanya yang buram, Kusuma melihat Pak Tua bersandar tak bergerak, wajahnya penuh darah. Di tengah pusing dan rasa nyeri yang menusuk, Kusuma perlahan mengangkat kepalanya dari setir. Pandangannya mengabur, tetapi ia mencoba mengenali keadaan di sekitarnya. Suara napasnya terdengar parau, tenggorokannya kering, dan jantungnya berdegup pelan namun keras, bergema di antara rasa sakit.
Pintu mobil tiba-tiba terbuka, dan seorang pria berkulit langsat, tinggi, dan berwajah asing membantunya keluar. Dengan sisa tenaganya, Kusuma menatap wajah pria itu yang samar-samar diterangi oleh cahaya pagi. Detak jantungnya semakin berderap ketika ia menyadari di mana ia berada di tengah hamparan batu nisan yang berdiri tegak di atas tanah merah yang basah.
“Aduh.. sakit sekali..” batinnya lirih, nyaris tak terdengar.
Pintu mobil terbuka dengan sendirinya, seperti mengundang Kusuma keluar dari kegelapan yang mengurungnya. Seorang pria tinggi berkulit langsat, bak bayangan pahlawan dari alam mimpi, segera meraih lengannya, membantunya turun dari kendaraan yang seolah terjebak dalam waktu. Sekilas, pandangan Kusuma tertuju pada wajah pria asing itu, yang seakan mencerminkan cahaya harapan di tengah badai ketidakpastian. Detak jantungnya bergetar lemah, dan nafasnya tersengal-sengal, seperti irama lagu yang terlambat mengiringi gerak.
"M-Mas, ini siapa?" suara Kusuma serak, meluncur keluar dari bibirnya yang kering, bagai daun kering yang jatuh dari pohon di musim gugur.
"Saya Andi, Mbak. Warga Kampung Bancak," jawab pria itu dengan suara tegas, sambil memapah Kusuma menjauh dari tempat di mana batu nisan berdiri tegak, seakan melindungi rahasia masa lalu.
"Mbak, jangan banyak bicara dulu. Tunggu warga lain datang kemari!" tegas Andi, suaranya bergetar dalam keseriusan yang tak dapat dipungkiri.
"Tapi, Mas. Di dalam mobil masih ada sepasang suami istri dan anak kecil," Kusuma menyampaikan, suara kepanikannya menyelinap di antara nada kesedihan yang mengisi ruang di sekeliling mereka, seakan merayakan kebingungan yang melanda.
Andi hanya diam, senyumnya tersembunyi dalam kerutan wajahnya, seolah memahami kepanikan Kusuma lebih dalam daripada yang dia ucapkan. Seiring waktu berjalan, beberapa warga berdatangan, terheran-heran melihat mobil gadis itu terparkir di tengah Pemakaman Umum Desa Bancak. Jalan setapak yang biasa digunakan pelayat kini terhalang oleh mobil Innova, menciptakan ketidaknyamanan yang merayap di antara keheningan yang biasanya menghormati yang telah pergi. Warga pun mengalami kesulitan untuk mengeluarkan mobil, sementara siang itu, mereka sudah bersiap untuk menguburkan seorang warga yang telah berpulang.
"Ndi... Andik. Bawa dia ke rumah kamu dulu, nanti aku sama Pak Lurah menyusul ke sana!" perintah Pak Rofi, ketua RT, suara autoritatifnya mengalun di antara desakan kerumunan. Kata-katanya bergetar seperti petir di langit, mengatur langkah para warga yang masih terperangah, menempatkan Kusuma dan Andi dalam pusaran realitas yang tak terduga.
Dalam perjalanan menuju rumah Andi, Kusuma terbenam dalam kesunyian, pikirannya seperti ombak yang tak henti-hentinya memukul karang, mengingat kembali kejadian semalam yang membekas di relung hatinya.
"Sudah sampai, Mbak," ujar Andi, motornya berhenti dengan lembut, seolah ingin menjaga kenyamanan Kusuma. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah mengangkat beban dari dunia yang penuh kesedihan. Ia berjalan di antara para pelayat, seolah memasuki arena kesedihan yang tidak pernah ia pilih. Tangisan keluarga mengalun, pecah seperti gelembung yang mendadak meletus, saat mereka melihat jenazah yang sudah dikafani, terbungkus dalam kain putih yang menutupi harapan yang telah sirna.
"Mas, yang meninggal itu saudara kamu?" tanya Kusuma, suaranya bergetar bagai daun di tengah angin kencang, sambil menatap Andi yang memapahnya melangkah.
"Tetangga sebelah, Mbak. Kemarin kecelakaan tragis bersama istri dan cucunya," Andi menjawab, suaranya berat seperti kabut tebal yang menyelimuti pagi. Ia menghela napas sejenak, menahan kepedihan yang mengendap di dada. "Pemakaman tertunda karena mobil Mbak berada di dalam makam yang tanahnya akan digali," tambahnya, seraya menemani Kusuma duduk di tempat yang disediakan.
Kusuma memilih untuk duduk di antara pelayat lain, hatinya terbungkus dalam kerisauan yang dalam. Ia lebih memilih diam, tak ingin bercerita tentang malam yang penuh misteri yang baru saja ia lalui. Ketika foto ketiga jenazah terpajang di depan peti, hatinya serasa terhantam badai. Dia terkejut setengah mati, melihat wajah-wajah yang semalam ia selamatkan kini terbaring kaku, tak bernyawa. Dari penuturan Andi, ia mengetahui bahwa kemarin sore terjadi bencana tanah longsor yang memutus akses jalan ke kampung Bancak, membawa kesedihan mendalam bagi setiap jiwa yang terlibat.
Kini, Kusuma sadar bahwa hidupnya telah diselamatkan oleh Pak Tua, sosok yang datang bagai sinar fajar di tengah malam yang gelap. Walaupun mobilnya harus terparkir di pemakaman, ia tahu bahwa ada kekuatan tak terlihat yang membimbingnya untuk melangkah maju, menjauh dari kegelapan dan menuju harapan baru yang tersisa.