"Apa yang Dipisahkan Tuhan takkan pernah bisa disatukan oleh manusia. Begitu pula kita, antara lonceng yang menggema, dan adzan yang berkumandang."
- Ayana Bakrie -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Venus Earthly Rose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jumat 27 Oktober 2016
Duka, perasaan nestapa yang timbul karena kehilangan. Perasaan dimana hati sedang sedih, saat hati sedang tidak baik-baik saja. Perasaan yang menyakitkan. Dalam lukanya ada duka. Duka yang terasa begitu merusak pikirannya, yang membuat ia merasa dunianya hancur. Duka yang muncul dalam waktu dekat di tengah-tengah lukanya yang masih belum mengering.
Saat Ayah Andra berkunjung bulan lalu, ia bilang untuk pertama kalinya dia melihat sisi sejati ayahnya. Ia bilang ayahnya yang sekarang bisa mengungkapkan perasaannya apa adanya, tak terhalang dengan tuntutan apapun. Ayahnya bisa tertawa dengan lepas. Ia tak bisa memungkiri jika tawa ayahnya adalah tawa yang selalu terlihat di wajahnya ketika ia tertawa. Tatapan matanya, gestur tubuhnya, dan suara tawanya, ia bilang begitu bebas. Seakan ayahnya merupakan orang lama yang pertama kali ia temui setelah waktu yang lama. Bukan, ayahnya seakan orang yang lama ia tahu namun bukan orang yang ia kenal. Ia suka itu. Ayahnya terasa lebih hidup, seakan tak ada beban yang menggelayut di pikirannya. Ayahnya sudah bahagia. Kini Andra hanya perlu fokus untuk menyembuhkan lukanya. Lukanya yang masih basah.
Ayahnya tak egois. Ia memastikan Andra dan saudaranya baik-baik saja. Menanyakan apa yang mereka butuhkan. Bagi Andra, orang tuanya masih tetap yang terbaik. Mereka tetap yang terbaik. Mereka orang tua yang baik walaupun bukan suami istri yang baik. Andra tak menginginkan rumah yang seperti itu. Ia ingin pasangan yang mencintai dia sama besarnya dengan ia mencintainya, dan ia ingin membesarkan anak-anaknya sebaik mungkin, kelak. Ia masih terlalu muda untuk memikirkan sesuatu seperti itu sekarang, namun itu cita-citanya. Yang pastinya akan ia wujudkan.
Di malam pertama ayahnya menginap, ia bilang ia bingung harus membicarakan apa dengan ayahnya, semuanya terasa begitu canggung. Ayahnya juga terlihat bingung ingin membicarakan apa. Jadi mereka memasak bersama. Bukan masakan yang sulit, hanya spageti bolognese. Andra bertindak sebagai kokinya sedangkan sang ayah hanya menjadi asisten, ayahnya sama sekali tak bisa memasak. Mereka memakai apron sepasang. Yang dipakai Andra berwarna biru sedangkan yang dipakai ayahnya berwarna merah muda. Andra tertawa melihat ayahnya, ia pikir ayahnya terlihat lucu dengan warna merah muda. Suasana yang tadinya canggung seketika penuh tawa, mereka juga makan bersama. Andra bilang spageti yang ia masak terasa sedikit keasinan.
Ayah Andra lalu mengajak ia bicara serius. Ia hafal betul, sama seperti mamanya yang saat itu menatapnya dalam-dalam. Akhirnya mereka mengungkapkan pemikiran dan perasaan mereka. Andra menumpahkan semua emosi yang selama ini tahan. Anehnya kali ini ia tak menangis. Ia terus berbicara mengeluarkan semua keluh kesahnya yang selalu ia pendam ke ayahnya sedangkan ayahnya hanya mendengarkan. Ayahnya lalu menangis. Meminta maaf atas segalanya. Andra sudah memaafkannya, bukan salah ayah dan ibunya jika mereka tak bisa saling mencintai satu sama lain meskipun sudah bersama sekian lama. Cinta tak bisa dipaksa.
Mereka banyak diam setelahnya, namun Andra sama sekali tak masalah akan hal itu. Andra selalu berharap orang tuanya selalu sehat dan diberkati kebahagiaan dimana pun mereka berada. Ayah Andra lalu membuka pembicaraan tentang adik tiri dan Tante Maria. Andra menolak, ia tak ingin mendengar tentang mereka. Ia tidak bisa menerima mereka. Ia juga meminta maaf kepada ayahnya atas keegoisan dirinya yang masih membenci mereka. Ayahnya tak memaksa. Bahkan Andra menolak mengetahui nama adik tirinya. Ia tak ingin punya hubungan dengan orang-orang itu di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Biar saja mereka jadi orang asing satu sama lain. Ia tak masalah. Andra ingin memutuskan hubungan dengan mereka berdua.
Di hari kedua ayahnya menginap, mereka tak saling bicara. Ia tahu mungkin ia sudah melukai hati ayahnya dengan tak ingin mendengar tentang adik tirinya maupun Tante Maria. Ia tak masalah. Untuk kali ini, ia tak bisa menerimanya. Ia bisa terima perceraian orang tuanya meski ia sangat terluka akan hal itu. Namun untuk perihal Tante Maria, ia masih sangat membencinya. Ayahnya berusaha mengajak Andra bicara dan ia hanya menjawab sekenanya. Entah mengapa ia bisa melihat sekelebat bayang-bayang Tante Maria dan adik tirinya setiap ia melihat ayahnya. Andra meminta maaf, mungkin ia akan sering meminta ayahnya untuk datang ke Jakarta karena ia tak ingin berkunjung ke Surabaya. Ia mengatakan jujur terus terang jika ia membenci Tante Maria dan adik tirinya. Ia bisa melihat kesedihan di mata ayahnya namun ayahnya memaklumi hal itu. Perihal Om Roy, mungkin Andra juga akan sama bencinya seperti ia membenci Tante Maria. Namun, sampai kini, ibunya tak pernah berhubungan dengan orang itu lagi. Meskipun Andra tahu, jika mungkin suatu hari nanti Om Roy akan menikah dengan ibunya. Mungkin, suatu hari nanti. Ia sudah mempersiapkan hatinya untuk itu, sama seperti saat ayahnya memutuskan untuk menikah dengan Tante Maria karena jatuh cinta saat itu, ia tak masalah dengan merasakan rasa sakit itu sekali lagi.
Di hari selanjutnya, ia memutuskan menurunkan egonya, ia tetap menyayangi ayahnya. Mereka kembali bercakap-cakap tanpa melibatkan obrolan tentang Tante Maria dan anaknya sama sekali. Ayahnya tahu Andra benci membahasnya. Andra merasa lebih baik dengan kehadiran ayahnya, dia ayah yang baik bagi Andra, dan bukan suami yang baik, ibunya juga sama, bukan istri yang baik. Andra senang melihat ayahnya tersenyum, lebih dari saat masih bersama dengan ibunya saat itu. Ayahnya mengabarkan kapan persidangan akhir ayah dan ibunya dilaksanakan. Andra bilang hatinya sesak. Namun ia sudah mulai terbiasa. Hidup tak selalu memberikan apa yang kita inginkan, kadang hanya memberikan kekecewaan. Ia mulai terbiasa merasa dikhianati kenyataan.
Hari ini hari persidangan perceraian orang tua Andra di Semarang. Andra dan kedua kakaknya datang. Ia bilang langit terasa lebih gelap dari biasanya dan hujan memang deras mengguyur bumi dari pagi hingga siang di tempatnya. Ujung celana jins yang ia pakai basah oleh lumpur, begitu pula sepatu yang ia kenakan, meninggalkan jejak kaki berlumpur dimanapun dia melangkah. Ia dan Koh Liam tak menangis, hanya Ci Mel. Ia sudah puas menangis tadi malam. Siang ini pernikahan orang tuanya akan berakhir. Dinginnya angin yang berhembus sedingin perasaan hatinya. Lukanya basah, dan dukanya semakin besar.
Saat ia masuk ke ruangan sidang, ia melihat banyak wajah yang familiar. Bahkan wajah yang paling ia benci juga ada di sana, menatapnya dengan tatapan menusuk sambil menggendong anak yang tak ingin ia lihat sama sekali. Ia ingin mengutuk orang itu, namun ia berusaha bersabar. Waktu berjalan lambat, dan pikirannya kosong, ia hanya duduk sambil mendengarkan hakim membaca sesuatu yang ia tak begitu mengerti. Perutnya bahkan terasa mual meski ia sudah sarapan pagi tadi. Ia sesekali melihat ke arah dan ibunya yang duduk berdampingan, berusaha menguatkan satu sama lain di hari perceraian mereka. Mereka tetap teman baik. Mereka tetap orang tua yang baik untuk anak-anaknya. Saat palu diketuk oleh hakim ayah dan ibunya menangis berpelukan, suasana ruangan begitu sepi, ia dan kedua kakaknya menghambur menghampiri orang tuanya, mereka berlima berpelukan menangis tersedu-sedu. Kedua orang tuanya juga berpamitan kepada mantan mertua mereka masing-masing. Suasana begitu sedih. Andra langsung menarik ibunya saat akan bersalaman dengan Tante Maria. Hari ini hari duka bagi Andra. Hari yang paling ia benci seumur hidup.
Ia menelfon ku namun tak terjawab siang tadi, saat sore aku baru membuka ponsel, aku langsung balik menghubunginya, dia kembali menangis, meluapkan seluruh duka yang ada di hatinya.