Aya tak pernah menyangka sebelumnya, sekalipun dalam mimpi. Jika kepindahannya ke kota kembang justru menyeretnya ke dalam kehidupan 'ibu merah jambu'.
Kejadian konyol malam itu, membawanya masuk ke dalam hubungan pernikahan bersama Ghifari yang merupakan seorang perwira muda di kepolisian. Suka duka, pengorbanan dan loyalitas menjadi ujian selanjutnya setelah sikap jutek Ghi yang menganggapnya pengganggu kecil.
Sanggupkah Aya melewati hari-hari yang penuh dedikasi, di usia muda?
~~~~~
"Kamu sendiri yang bilang kalau saya sudah mele cehkan kamu. Maka sebagai perwira, pantang bagi saya untuk menjadi pengecut. Kita akan menikah..."
- Al Ghifari Patiraja -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Short Gun dan tusuk sate
Ghi tak bisa santai saja seperti tadi ketika mendengar seruan 'begal' yang ditujukan pada sebuah sepeda motor yang melintas dengan cepat diantara jalanan beraspal. Ia keluar dan segera berlari ke arah mobil, beberapa pengguna jalan bahkan terlihat ikut mengejar lajunya motor begal itu.
Ia segera berlari mengambil sesuatu yang ditinggalkan di mobil dan memakai itu si badannya, yang rupanya itu sebuah holster dada, lengkap dengan short gun yang tersarung rapi.
Dan entah sejak kapan, om Yudis sudah membawa sebuah motor disana.
"Kita kejar bang?" ia menghampiri Ghi.
"Iya." Ghi naik di boncengan dan keduanya menyatu di jalanan meninggalkan Aya sepaket sate yang belum dibayar bersama mobil.
Para begal itu tak teraih, jelas! Sebab mereka bersenjatakan clurit, membuat para pengejar dan warga ketakutan berada dalam jarak dekat.
Yudis melajukan motor lebih cepat, dan mendapati sasaran dari jarak yang lumayan jauh.
"Ambil lajur kanan, Yud." Pintanya diiyakan Yudis, "siap bang."
*Woy! Turun*!
*Woy! Tanggung jawab*!
*Berenti bank satt*!
Begitu teriakan para pengejar yang didominasi kaum adam. Namun balasan kasar diterima mereka begitupun acungan dan ayunan senjata tajam secara sembarang menyebabkan ketegangan massa. Bahkan laju mereka pun beresiko menyebabkan kecelakaan mengingat dengan seenaknya mengambil lajur kanan kiri ugal-ugalan.
Mengingat apa yang dilakukan mereka sudah termasuk tindak kriminal, Ghi menarik short gun miliknya lalu mengeceng dan membidik salah satunya.
Setelah menemukan moment yang pas, Ghi melesatkan itu dimana sebelumnya beberapa pengguna jalan raya yang telah mengetahui jika Yudis dan Ghi adalah personel polisi memberikan ruang untuknya menembak.
**Psyuth**!
**Dor**!
**Jleb**!
Satu---dua tembakan berhasil menembus dua kaki si pengemudi.
Seketika motor matic rakitan itu oleng dan terjatuh tepat di jalanan.
Berusaha bangkit, salah satu dari mereka yang memegang sajam justru melakukan aksi kriminal lain dengan mengacung-acungkan sajam di tangannya pada para pengguna jalan seraya mengeluarkan kata-kata ancaman, sementara si pengemudi tengah berusaha mati-matian untuk bangun.
Da rah segar seketika mengalir dari kakinya yang dilubangi peluru Ghi.
"Awasss!"
"Ada yang berani mendekat, gue tebas!" teriaknya berusaha membantu temannya dan membangunkan motor.
Ghi turun dari motor, memasukan kembali short gun ke dalam tenpatnya.
"Udah lah, percuma...udah terpojok." Ujar Ghi mendekat bersama om Yudis.
"Polisi cuy, polisi..."
"Ngga takut gue mah! Polisi pun gue tebas lah!" jeritnya lagi.
"Ngga kasian temen lu ketembak gitu? Sini gua bantuin..." Ghi kembali memperpendek jaraknya seiring ia yang bru tal mengibas-ngibaskan clu ritnya.
"Mana temen lu, yang bawa motor si ibu itu? Ngga kasian, itu si ibu bawa anak?" oceh Ghi lagi.
Ia terus saja mengeluarkan kata-kata kasar demi membalas Ghi dan justru menantang Ghi dengan mata merahnya.
Ghi hanya menatapnya prihatin, sebab ia tebak jika para pemuda ini usianya tak beda jauh dari Aya.
Ghi benar-benar mencari celah untuk melumpuhkan sembari terus mendekat dalam jarak aman.
"Liat, itu temen kamu udah perda rahan banyak gitu, ngga kasian kamu? Nyerah aja!" oceh Ghi lagi.
"Kaya engga. Mati iya..." tambah Yudis turut serta memancing. Dan benar....atas pancingan Ghi dan om Yudis ia lengah dengan menoleh singkat pada rekannya yang telah terkapar bersimbah da rah di bagian kaki sembari merintih kesakitan akibat timah panas. Bahkan kini, aliran da rahnya sudah menetes ke jalanan beraspal.
Kondisi tegang ini, dibantu serta oleh para pengguna jalan yang mengatur jalanan dan menutup sementara akses jalan.
Ghi mengangguk sejenak pada Yudis yang bersiap memancing kembali.
"Gini--gini..." pinta Ghi, "duel sama saya, kalau kamu yang menang, kamu sama temen kamu boleh pergi, saya kasih duit juga malah?!" tawar Ghi hanya memantik tawanya kencang, fix! Jika pemuda ini dipengaruhi oleh minuman keras dan obat-obatan.
Shhhh----
"Cuy.."panggil rekannya.
"Itu liat temen kamu kehabisan da rah." Tuduh om Yudis yang kemudian memancing si pemegang sajam menoleh, dan disaat itulah...Ghi langsung meraih pergelangan tangan dan memutarnya, menepis clurit itu hingga ia terjatuh ke jalanan. Lalu menendang sendi kaki demi melumpuhkan pemuda itu.
Yudis langsung meraih dan mengamankannya sementara Ghi telah berhasil meringkus pemuda itu, beberapa pengguna jalan bersorak bersamaan dengan dua orang meringkus seorang lainnya yang terluka bersama motornya.
"Woaahhhh!"
Tak sedikit pula warga dan pengguna jalan yang geram mencuri-curi memukul si pelaku meski ia tengah berada dalam ringkusan Ghi.
"Bapak-bapak, ada yang bisa tolong saya?!" Ghi meminta beberapa pemotor tadi.
Lama Aya menunggu, sementara si ibu, korban pembegalan sudah ditolong dan dibawa ke rumah sakit terdekat bersama putranya untuk mendapatkan pertolongan medis atas luka yang ia dapatkan.
Ramai, Aya menoleh ke arah datangnya beberapa motor bersama Ghi dan om Yudis yang membawa pemuda di dekapannya. Belum lagi salah satu pemuda yang dibawa dalam kondisi tertembak. Ia bahkan meringis saat dipaksa turun dan berjalan, hingga terpaksa di gotong.
Aya cukup dibuat speechless saat itu, melihat sosok Ghi dalam balutan aparat.
Huuuu!
Huuu!
"Abisin aja lah pak!"
"Dasar bank sat!"
"Sampah masyarakat!"
Teriak mereka mencerca, bahkan tak sedikit yang hendak melakukan hakim sendiri dengan menyarangkan jambakan dan pukulannya.
Ghi meminta tali pada warga dan mengikat kedua tangan para pembegal ini dengan itu.
Om Yudis bahkan tak segan menjambak rambut salah satunya hingga ia mendongak, "kamu minum?! Ngobat!"
Ia menggeleng, "engga pak, sumpah."
"Sumpah---" tawa Ghi sumbang, "jangan bawa-bawa sumpah, dari liat kamu aja saya udah bisa tebak kamu minum sama ngobat, oplosan? Arak? Tra m44 dol?" tanyanya judes, galak dan penuh intimidasi.
"Dicampur ini mah bang." Jawab om Yudis melepaskan jambakannya dengan kasar.
Ghi lantas kembali menginterogasi si pelaku yang ditaruh di bahu jalan ini agar mengaku dengan sikap intimidasi, garang dan ketajamannya. Bahkan ia tak segan menekan luka tembakan itu agar ia mengaku.
"Kemana dijualnya?!"
"Berapa orang kawanan kamu?!"
"Yang tadi temen-temen kamu, geng motor?!"
Hingga tak lama satu unit personel kepolisian membawa serta mobil dan dua motor akhirnya sampai di tempat, dimana kerumunan orang-orang masih mengerubungi, tak sedikit pula yang mem-video kejadian itu.
Aya begitu seksama menatap Ghi. Sikap keras dan kejam Ghi itu, memang dibutuhkan untuk profesinya, Aya menunduk paham. Bahkan, dibanding Ghi...personel polisi yang baru saja berdatangan lebih sadis lagi, dengan menggusur para pelaku dan memberikan salam perkenalan meninju wajah para perlaku terlebih dahulu, dengan dalih biar ada seni ditangkapnya. Setidaknya mereka meninggalkan kesan bekerja.
Dari tempatnya, netra hazel Aya melihat Ghi berjabat tangan dan mengobrol penuh santai dengan salah satunya. Hingga kemudian ia berjalan kembali ke arah tenda sate, dimana Aya duduk memakan sate terakhirnya.
"Masih makan?" ia duduk di samping Aya yang mengangguk, "tadi keselang liat si ibu yang jadi korbannya." Jawabnya.
Ghi mengangguk, "udah dibawa ke RS?"
Aya kembali mengangguk, "udah tadi." Ia mendadak pendiam, tak secerewet dan se sewot tadi.
"Berapa mas?" tanya Ghi hendak membayar sate.
Netra bulat Aya mengikuti gerak gerik Ghi, dan kini jatuh menyelami pikirannya sendiri.
"Om Yudis tadi pake motor siapa?" tanya Aya.
"Punya si mas tukang sate." Jawabnya.
"Oh..."
"Mas," panggil Aya dimana ia tengah menerima uang sate dari Ghi, "ya neng?"
"Kok dikasih sih, kalo ternyata motornya di bawa kabur gimana? Mana belum pada bayar lagi..." tanya Aya memantik tawa si mas pedagang sate.
"Wong tadi si bapak yang itu bilangnya, jaminannya neng..." akuinya nyengir.
"Hah?!" Aya terkejut, "ih kurang aj ar om Yudis...tusuk juga nih pake tusuk sate!" Aya sudah mengacungkan tusuk sate dari piringnya.
Yudis tertawa renyah begitupun Ghi, "ampun bu."
Aya mendelik sinis dengan wajah sewotnya, "pantes aja si masnya barusan nyuruh Aya buat diem aja di warung...si alan ih!"
Ghi terkekeh dan kembali, "yuk, pulang."
lanjut
lanjut
lagi sedihhh pengen ketawa ngakak