Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak disangka
"Eh, kalian?" Pak Simon kaget, terutama melihat ada Nita disana.
Pak Simon bukan orang yang bodoh, ketika melihat bu Tere, pak Randy dan Nita, maka dia memastikan pasti ada sangkut pautnya dengan anaknya Ema.
"Masuk, duduk dulu" pak Simon mempersilahkan mereka semua masuk untuk duduk di ruang tamu.
Mereka melangkahkan kaki ke dalam rumah pak Simon dan menuju kursi yang ada di ruangan itu.
Nita hanya terbelalak melihat hanya 5 langkah dari pintu langsung ruang tamu, kecil sekali. Kursinya juga dari bambu yang sudah terlihat reot, bahkan ada yang miring, seakan dia yang remaja ini saja duduk bisa menghancurkan kursi itu.
Suasana di dalam rumah juga suram dan gelap, cahaya hanya masuk lewat jendela yang setengah terbuka itu. Bau kayu lembab juga menyeruak menusuk hidung begitu mereka masuk.
Nita langsung bergerak mengipas-ngipaskan tangan di depan hidungnya dan melangkah mengikuti pak Randy.
6 langkah sebelah kiri pintu masuk ada dapur, toilet dan juga kamar, di sebelah kanan juga ada kamar kecil yang merupakan kamar Ema.
Nita melihat perabot rumah itu yang bisa dibilang benar-benar rusak parah, lemari kayu yang kakinya sudah patah di bagian kanan depannya dan ditopang dengan 3 buku bekas supaya bisa tetap berdiri tegak. Cermin lemari yang sudah mulai kusam bahkan susah melihat diri sendiri.
Meja makan kecil yang meskipun dilapisi plastik tapi sudah berwarna kecoklatan. Bahkan kipas anginnya berderak-derak ketika dihidupkan.
Ya, pak Simon melihat gerakan Nita tadi dan berinisiatif menyalakan kipas.
"Agak panas ya, biar saya nyalakan kipas anginnya." ujar pak Simon.
"Dini, tolong ambilkan air 3 gelas. Kita kedatangan tamu." Teriak pak Simon ke arah kamar mereka.
"Iya, sebentar"
Sebuah suara seorang perempuan yang agak serak terdengar dari dalam kamar.
Nita agak penasaran ingin melihat wajah neneknya.
Dia memandangi wajah pak Simon dan sekarang dia paham, wajahnya mirip dengan pak Simon.
Hidungnya mancung dan matanya besar, bibirnya tipis. Persis sekali seperti pak Simon.
"Ada apa ini datang rame-rame?" tanya pak Simon.
"Ini, aku mau jelaskan garis besarnya dulu. Nita mendengar dari seorang nenek di jalan menuju ke empang tempat dia mau bermain, bahwa dia bukan anak aku. Nenek itu memberitahu bahwa Ema adalah ibu kandung Nita. Dan Nita marah karena hal ini dirahasiakan." jelas bu Tere.
"Makanya aku memberi saran, daripada Nita menuduh ibunya mengambil dia dari Ema, atau berniat membohongi dia, maka lebih baik bertemu langsung dengan kamu, Simon" sambung pak Randy.
"Oh, begitu." jawab pak Simon singkat.
"Begini ya Nita, kakek ini memang kakek kandungmu. Dan kami bukan membuangmu ataupun ibumu Tere memaksa mengambil mu. Keadaan saat itu, Ema yaitu ibu kandungmu sedang sekolah. Jadi tidak mungkin dia membesarkan seorang bayi, dan kami juga mengalami kesulitan ekonomi." jelas pak Simon tenang, tapi matanya mulai berkaca-kaca.
Bu Dini masuk membawa gelas berisi air, dia mendengar percakapan mereka dan airmatanya mulai mengalir. Pandangannya sedikit kabur karena air mata dan hampir menabrak pak Simon.
Beruntung pak Simon dengan cepat menahan tadah gelas. Akhirnya pak Randy mengambil alih dan meletakkan gelas itu di meja.
Bu Dini lalu memilih duduk di dekat suaminya dan menggenggam tangan pak Simon. Mereka saling menguatkan.
"Kamu bisa lihat kondisi rumah ini, kondisi ekonomi kami. Bagaimana mungkin kami bisa membesarkan mu. Jika kami mengantarkanmu ke panti asuhan, kami tidak tahu siapa yang akan merawatmu. Seandainya orang itu baik, tentu kami juga bahagia, tapi kalau jahat? Hidupmu pasti akan tersiksa, nak." lanjut pak Simon menahan tangis, tapi suaranya bergetar hebat.
Bu Dini sudah berkali-kali menghapus airmatanya yang terus mengalir deras. Sejak Ema ketahuan hamil hingga saat ini, bu Dini sudah terlalu banyak menangis. Kelakuan Ema selalu membuatnya pusing. Padahal semasa kecil Ema adalah anak yang penurut.
"Makanya kakek bertanya kepada pak Simon, apakah ada yang bisa merawat mu. Keluarga baik-baik yang bisa mendidikmu." pak Simon menahan tangisnya.
"Om ini teringat akan ibumu Tere, makanya om bilang, coba kita tanya sama ibumu. Toh, memang dia rindu punya anak perempuan. Dia dulu suka sekali menemani Ema. Makanya lebih baik kasih kamu ke ibumu Tere." potong pak Randy, dia tahu pak Simon sudah sulit melanjutkan kata-katanya.
"Sama kan jawaban kami? Jika kami mau berbohong, tidak mungkin juga bisa sama. Karena sudah sekian lama berlalu. Siapa yang bisa ingat janji belasan tahun" lanjut pak Randy.
"Simon, dia mempertanyakan dimana Ema. Apa kau tau dia dimana?" tanya pak Randy.
"Jika saja kami tahu, tidak mungkin kami meratapi dia setiap harinya, Randy."
"Bahkan sepucuk surat pun tidak pernah dia kirim. Dengan kondisi kami begini, darimana uang kami untuk mencari dia?" kali ini Bu Dini yang menjawab.
"Nita, baik-baik lah kamu tinggal dengan ibumu Tere. Tidak ada tempat yang lebih baik daripada di rumah ibumu Tere. Jangan kamu harapkan bisa bertemu dengan ibumu, belum tentu juga dia menyayangimu dengan sepenuh hati seperti ibumu ini." saran bu Dini.
Nita hanya diam tidak menjawab.
"Huh, rugi aku minta balik ke kakek kandungku, kalau seperti ini bobrok rumah mereka. Bisa-bisa makin menderita aku. Ibu kandung juga nda tau dimana. Jangan-jangan nanti malah aku yang dijadikan budak buat nyuci, nyapu. Iiiissssh" batin Nita merasa jijik melihat kondisi rumah itu.
"Aku hanya mau tau kebenaran. Aku juga tidak mau tinggal disini." Nita menjawab setelah memikirkan kerugian dia jika dia ngotot minta tinggal bersama kakek dan nenek ini.
"Sekarang kamu sudah tahu kebenarannya. Lalu mau apa lagi?" tantang pak Randy.
"Umm..ngga ada. Ya sudah." jawab Nita sembari mengangkat kedua bahunya dengan gaya cuek.
"Masih kamu persalahkan juga ibu yang mengambil paksa kamu?" tanya bu Tere dengan sedih.
"Ngga tuh, kan aku ngga ada bilang lagi soal itu. Kenapa ibu ungkit-ungkit?" jawab Nita tidak merasa bersalah. Malah seakan menyalahkan bu Tere mengungkit hal lama yang terjadi setengah jam lalu.
"Jadi kamu mau tinggal bersama kakek dan nenekmu disini?" tanya pak Randy langsung.
"Ngga tuh, aku kan ngga pernah minta tinggal disini." jawab Nita seenaknya.
"Huuufff...ya begitulah Simon, kami membawa dia ke sini hanya untuk bertanya kebenaran soal kelahiran dia saja." pak Randy menghela nafas panjang.
"Jadi dia puas dan paham alasan mengapa dia dibesarkan oleh Tere dan bukan oleh Ema."
"Bagaimana? Masih ada yang mau dipertanyakan?" tanya pak Randy lagi kepada Nita.