aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak yg belum usai
Saat mata Rama bertemu dengan mata karina, dunia seakan berhenti sejenak. ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Karina di sini, di tengah hiruk-pikuk pabrik, dengan keadaan yang sangat jauh dari apa yang ia harapkan. dan meskipun ia berusaha keras untuk tetap profesional, hati kecilnya terasa seolah menolak hal itu.
Karina tersenyum ramah, mencoba menyapa. "Rama, lama tidak bertemu," ujarnya dengan nada yang sedikit canggung namun penuh harapan.
Rama, meskipun merasa gugup di dalam, segera menegakkan tubuhnya dan menggantikan ekspresinya dengan profesionalisme. "iya, Karina. ternyata, kita bertemu di sini," jawabnya, nada suaranya dingin dan terjaga.
Karina menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, seolah sedang mencari jawaban atas sesuatu yang mengganggu pikirannya. "ternyata kamu masih... kamu masih bekerja di sini?" tanyanya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih dari sekadar hubungan profesional antar pekerjaan.
"ya, saya masih di sini. saya bertanggung jawab atas produksi," jawab Rama singkat, menghindari pembahasan yang lebih dalam tentang dirinya. ia berusaha menjaga jarak dari semua perasaan yang tiba-tiba muncul.
Karina tidak menyerah. "aku ingin bicara tentang Nayla. aku tahu kejadian itu.... membuatmu sakit"
Rama terdiam sejenak. ia menahan nafas, mencoba menenangkan dirinya agar tidak terbawa perasaan. "Karina, kita di sini untuk pekerjaan. ini bukan tempat yang tepat untuk membahas masalah pribadi," jawabnya dengan nada suara agak lebih tajam.
namun, Karina tetap tidak mundur. "Rama, kamu salah paham, tolong beri waktu dulu untuk Nayla, kamu harus sabar. aku tahu dia pasti... pasti akan kembali. aku yakin itu," katanya dengan penuh keyakinan, matanya penuh harapan.
namun, perkataan itu hanya membuat hati Rama semakin berat. Rama menarik napas dalam-dalam dan dengan tenang, mengangkat tangan kanannya. dari balik jaketnya, ia menunjukkan cincin yang terpasang di jari manisnya. "Nayla... sudah pergi," katanya dengan tegas. "dan kemarin, saya menikah."
Karina menatap cincin itu dengan terkejut. "Ram?.. tapi... nayla?" suaranya terdengar kaget, seolah tidak bisa menerima kenyataan itu.
Rama menatapnya dengan mata yang jauh. "saya menikah kemarin, Karina. saya mengambil keputusan ini karena... ulah sahabat mu sendiri," jawabnya, suaranya serak, seolah menahan beban yang besar.
Karina terdiam, wajahnya berubah mendung. namun, keyakinan di matanya masih tak terbendung. "tapi... kamu masih mencintainya, kan? aku tahu kamu masih mencintainya, Rama. itu pasti bukan keputusan mu untuk menikah dengan wanita lain," katanya dengan lembut, menatap Rama dengan harapan yang masih ada.
Rama menatapnya lama, berusaha menahan emosinya yang mulai memuncak. "Karina... itu bukan tentang cinta lagi. ini tentang apa yang sudah terjadi, dan keputusan yang harus saya ambil," jawabnya, suaranya lebih berat. "saya tidak bisa terus menunggu seseorang yang tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan."
suasana yang sebelumnya canggung semakin terasa tegang lagi, Karina masih terlihat sedikit bingung, hingga akhirnya mencoba membuka pembicaraan kembali. "rama," ujarnya dengan suara yang lebih lembut, "aku tahu ini pasti berat buatmu, tapi Nayla sangat menyesal atas semuanya"
Rama tetap menatap ke depan, mencoba mengendalikan diri. ia merasa terjebak di antara kewajiban profesional dan kenangan yang tak kunjung hilang. Rama menunduk sejenak, menahan napas panjang. "Karina, ada hal-hal yang lebih penting yang harus kita fokuskan sekarang, mari kita selesaikan pekerjaan ini dulu"
Karina merasa ada tembok yang terbentuk di antara mereka. ia mencoba meredakan ketegangan dengan lebih profesional. "baik, jika kamu merasa begitu. tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku di sini hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Nayla."
Rama mengangguk dengan pelan, namun tidak mengatakan apa-apa lagi.
suasana di tempat ini menjadi canggung. Karina hanya bisa menerima keputusan dari Rama, menyadari bahwa usaha untuk berbicara tentang masa lalu Rama hanya akan memperburuk keadaan.
***
setelah beberapa jam bekerja dengan fokus, suasana di pabrik akhirnya mulai mereda. semua tim telah menyelesaikan tugas mereka, dan saat itu juga Karina dan Rama merasa bahwa pertemuan mereka tidak bisa berlarut-larut dalam ketegangan yang terasa semakin berat. pekerjaan yang mereka lakukan selama beberapa waktu akhirnya selesai, dan saat ini mereka sedang berada di ruang rapat yang telah dipenuhi dengan dokumen dan catatan.
Rama, yang semula terpaksa menjaga jarak emosional dengan Karina, kini merasa sedikit lega karena pertemuan itu telah berakhir. meskipun hati kecilnya masih dipenuhi dengan keraguan, Rama tahu bahwa dia harus melangkah ke fase berikutnya dalam hidupnya.
Karina mengatur dokumen di meja rapat, sementara Rama memeriksa laporan dari timnya. tiba-tiba, suasana yang agak hening itu terpecah oleh suara kepala divisi yang memimpin pertemuan. "Rama, tugas ke petani kopi di kota Murni, yang terkenal sebagai penghasil kopi terbaik di negara ini, harus dilakukan segera. kami butuh laporan lapangan sesegera mungkin," kata kepala divisi tegas. "kamu akan berangkat besok sore bersama tim mu, ada Andre juga, dan kalian harus berada di sana selama beberapa hari."
Rama terkejut. ini terlalu mendadak baginya, terutama mengingat betapa beratnya perasaan yang masih menggelayuti dirinya. "besok sore? tapi saya belum siap pak, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu," jawab Rama, suara agak tergesa-gesa, mencoba mencari alasan untuk menunda keberangkatannya.
namun, pihak pabrik dan klien yang hadir dalam pertemuan itu tidak memberi celah untuk menunda. seorang perwakilan klien, yang tampaknya sangat mendesak, berkata dengan percaya diri, "kami memerlukan kehadiranmu di lapangan segera. kamu tahu seberapa pentingnya proyek ini. bahkan kami siap menanggung kenaikan gaji dua kali lipat jika kamu bisa melaksanakan tugas ini dengan cepat."
Karina, yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama, akhirnya mengangkat suaranya. "Rama, ini keputusan yang harus kita ambil bersama. kami di sini untuk memastikan proyek ini berjalan lancar. kamu akan sangat dibantu oleh dukungan yang ada di sana," ujarnya dengan nada yang tenang namun penuh tekanan.
Rama semakin merasa seperti terjepit. ia bisa merasakan tekanan dari segala arah. bagaimana bisa ia menolak? sedangkan semua atasan menekan nya dalam satu waktu.
Rama menatap atasan nya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "pak Herman, apakah ini benar-benar keputusan yang harus diambil?" tanya Rama, mencoba mengukur situasi.
laki-laki itu berucap teguh. "percayalah, ini untuk kebaikan semua pihak, termasuk kamu, Rama. tugas ini tidak bisa ditunda. lagipula, kamu akan mendapatkan banyak keuntungan, selain kenaikan gaji, kamu akan mendapat cuti tambahan" jawabnya dengan nada lebih lembut, namun jelas ada niat di balik kata-katanya.
setelah keputusan final diambil, suasana ruang rapat mulai sedikit mereda. namun, sebelum semua pihak keluar, kepala divisi menambahkan satu hal lagi yang cukup mengejutkan bagi Rama. "oh, ada satu lagi," katanya, sambil mengambil sebuah amplop dari meja dan memberikannya kepada Rama. "ini hadiah untukmu, sebagai bentuk apresiasi atas kesediaan mu untuk segera menyelesaikan tugas ini"
Rama menerima amplop itu dengan ragu, dan begitu membukanya, ekspresi wajahnya kembali terkejut. di dalam amplop itu ada dua buah tiket pesawat yang tertera untuk penerbangan ke Kota Mangli, sebuah kota kecil yang dikenal dengan keindahan alamnya yang menakjubkan dan kota itu juga terletak satu arah dengan tempat yang akan Rama tuju. "ini... tiket untuk apa pak? bukankah tujuan kita kota Murni? kenapa sampai ke kota Mangli?" tanya Rama, kebingungannya semakin jelas.
"memang, kamu perlu 3 jam dari kota Murni menuju ke Mangli. dan itu bapak berikan sebagai hadiah bulan madu kamu," jawab kepala divisi dengan senyuman. "kamu bisa mengajak istrimu untuk ikut. ini adalah hadiah dari perusahaan karena sudah siap menerima tantangan besar ini. Jadi, setelah tugas di Kota Murni, kamu bisa menikmati waktu santai di kota Mangli."
Rama terdiam sejenak, mencoba mencerna semuanya. "saya akan berangkat besok sore," kata Rama akhirnya, menegaskan keputusan yang sudah dibuat meski hati kecilnya masih penuh dengan ketidak setujuan.
Karina memberikan senyum tipis, yang tampak seperti sebuah kemenangan tersembunyi. "kami yakin kamu akan melakukannya dengan baik, Rama."
akhirnya dengan keputusan yang sudah diambil, pertemuan pun selesai, Rama lebih dulu pamit keluar ruangan, sedangkan yang lain bersiap untuk kembali ke tugas masing-masing.
namun tidak perlu waktu lama, Karina juga perlahan berdiri dari kursinya. dengan ekspresi yang terlihat tenang, ia melirik sekeliling sebelum berkata, "saya izin ke toilet sebentar."
tak ada yang mencurigai niatnya. ia berlalu begitu saja meninggalkan ruang meeting. sementara itu, Rama yang sudah lebih dulu meninggalkan ruangan, berjalan dengan langkah cepat keluar dari pabrik.
saat ia sampai di parkiran, ternyata dibelakang Rama, Karina mengikutinya dari kejauhan, memastikan tidak ada orang lain di sekitar sebelum akhirnya mempercepat langkahnya. "Rama!" serunya, menghentikan langkah lelaki itu yang hendak menuju mobilnya.
Rama menoleh dengan ekspresi lelah. "Karina?" tanyanya dengan nada sedikit malas. "ada apa lagi?"
Karina menarik napas dalam, berusaha menahan ketegangan yang ia rasakan. "aku cuma butuh waktu sebentar," ujarnya dengan nada lebih lembut. "aku tahu kamu mungkin muak dengan semua ini, tapi aku benar-benar ingin kamu percaya padaku."
Rama mengusap wajahnya, mencoba mengendalikan emosinya. "percaya untuk apa?"
Karina melangkah mendekat. "aku bisa membawa Nayla kembali," katanya penuh keyakinan. "aku tahu betapa berartinya dia untukmu, dan aku yakin dia pasti juga masih mencintaimu."
mata Rama menyipit, ekspresinya semakin sulit dibaca. "kenapa kamu tetap bersikeras tentang ini?" suaranya terdengar tajam. "kamu pikir semua bisa kembali seperti dulu hanya karena kamu berusaha?"
Karina menggigit bibirnya. "karena aku tahu Nayla hanya mencintaimu!. aku tahu dia hanya butuh waktu. dan aku yakin, dalam hatimu, kamu juga masih menunggunya Ram!"
Rama menatap Karina dengan sorot mata dingin, tanpa sedikit pun keraguan di wajahnya. "Karina, saya tidak punya alasan untuk percaya pada ucapanmu," katanya dengan nada datar. "Jika Nayla memang masih peduli, seharusnya dia tidak pergi sejauh ini."
Karina menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya. "tapi, Rama..."
Rama langsung menyela tanpa ragu. "saya sudah menikah, Karina." tatapannya tajam, menusuk. "dan jika kamu masih tidak percaya, nanti saya akan mengenalkan istri saya langsung di depanmu."
Karina terdiam, dadanya terasa sesak. "kamu serius?"
sebuah senyum tipis muncul di wajah Rama, tapi bukan senyum ramah, lebih seperti bentuk ketegasan yang tidak bisa digoyahkan. "kenapa tidak? supaya kamu melihat sendiri bahwa saya sudah tidak ada urusan lagi dengan Nayla."
Karina merasa dadanya semakin berat. ia ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Rama hanya menatapnya sekilas sebelum akhirnya berbalik dan melangkah menuju mobilnya tanpa sedikit pun niat untuk melanjutkan percakapan ini.
tanpa menoleh lagi, Rama masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin. dalam hitungan detik, kendaraan itu melaju meninggalkan Karina yang masih berdiri diam di tempatnya, menatap kepergian Rama dengan perasaan campur aduk.
namun, satu hal yang tetap Karina yakini, ini belum selesai!