Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
School Festival
Hari yang dinantikan tiba. Matahari pagi ini bersinar malu-malu, menyisakan sejuk jejak embun yang juga masih menetap di dedaunan dan rerumputan.
Selena membaca ulang catatannya, ia sudah siap dengan seragam sekolahnya lengkap dengan jaket angkatannya. Hari ini ia akan mewakili kelasnya dalam lomba cerdas cermat yang diadakan di hari festival sekolah, bersamaan dengan pentas seni. Kemarin saat Dinia datang ke rumahnya, sahabatnya itu sempat menyampaikan kekhawatirannya.
- Flashback -
“Sebenarnya gue lagi pusing nih Kas, dari kelas lu belum ada perwakilan buat ikut lomba cerdas-cermat nanti, pada penakut semua. Biasanya emang elu sih yang paling kritis, tapi lu kan lagi pemulihan begini.” Dinia bercerita di ruang makan saat mereka makan fetuccini carbonara buatan Bi Esih, bersama dengan Hanif yang ikut makan tanpa mengikuti obrolan.
“Loh, Selena biasanya ambis soal pamer kecerdasan begitu?” Akasia mengherankan kejadian itu.
“Selena kan lagi sibuk sama ekskul Padus (paduan suara), mereka tampil di panggung PENSI (pentas seni) nanti jadi intensif banget latihannya.” Dinia menceritakan.
“Yaudah gue aja perwakilannya, kayaknya seru.” Akasia tersenyum, terbersit suatu rencana di pikirannya, ‘Selama ini Adrian meremehkanku dibandingkan dengan Kemuningnya itu. Akan kubuktikan kemampuanku yang sebenarnya, supaya dia paham bukan cuma Kemuning wanita yang cerdas.’ Batinnya dikuasai ego.
“Lu yakin Kas? Lu kan baru kecelakaan.” Dinia meragukan.
“Yang cidera kan badan gue, bukan otak gue.” Akasia menimpali sambil tertawa. Satu sisi di hatinya ingin mendapatkan perhatian lebih dari Adrian dengan kesempatan ini. Untungnya mereka membicarakan soal ini di ruang makan, jadi boneka Adri tidak akan tahu rencana ini. Ini akan menjadi kejutan untuk Adrian, “Mending lu daftarin nama gue deh! Harusnya lu senang, kan bantu lu juga supaya acara tersusun dengan baik. Toh gue tinggal duduk dan jawab pertanyaan kan?”
“Iya sih.” Dinia mengangguk, “Okay, jadi bisa ya? Jangan mendadak mundur ya!” Dinia memberi peringatan.
...oOo...
Dan hari inilah penentuannya, ia memasuki mobil ayahnya dengan tegang. Perjalanan menuju sekolah kali ini untuknya lebih menegangkan daripada di masa-masa ujian. Ia memeluk boneka Adri yang dibawanya. Begitu sampai ke sekolah dibawanya boneka itu ke sebuah sudut sekolah yang sepi, lalu ditunggunya beberapa saat agar Adrian berubah menjadi manusia.
“Sibuk banget orang-orang di sekolahmu hari ini.” Heran Adrian begitu sudah berubah menjadi manusia.
“Ini hari festival sekolah, makanya kamu kuajak. Nih kubawakan baju ganti supaya nggak kelihatan aneh, sana ganti baju di toilet!” Akasia menyodorkan goodie bag krem yang berisi pakaian pria yang telah terlipat rapi dan menunjuk toilet terdekat.
“Okay, tunggu ya.” Adrian beranjak ke toilet untuk berganti pakaian, saat kembali pemuda itu terlihat amat berbeda, hampir seperti berganti wajah. Rambutnya ditata dengan gel rapi dan disisir klimis, pemuda itu jadi terlihat lebih dewasa dan karismatik, seperti eksekutif muda perusahaan besar yang bersiap rapat dengan client-nya. Kemeja biru lautnya dikancing rapi berikut kancing lengan panjangnya, senada dengan warna matanya, celana formal hitam panjangnya dipadu sepatu pantofel berwarna senada yang berkilau tanpa goresan. Harumnya pun semerbak.
Akasia tercengang melihat pemuda itu menghampirinya, “Wah, siapa nih? Kok nggak kenal ya.” Godanya.
“Ah bisa aja!” Adrian tertawa malu, “Biar nggak malu-maluin kamu. Ceritanya kan aku guru les bahasa Belandamu. Setelan guru seperti ini kan?” Ia berpose melipat tangannya.
‘Nggak sekeren ini sih, tapi ini justru jauh lebih bagus.’ Akasia nyengir, “Habis ini mungkin aku nggak bisa bareng kamu terus karena ada yang harus aku kerjain. Kamu tunggu aja di ruangan aula sekolah pukul sepuluh, akan ada acara menarik, kita ketemu disana aja.” Pesan Akasia sebelum pergi.
“Loh, kok gitu sih?” Protes Adrian, belum selesai ia bicara Akasia sudah pergi meninggalkannya, “Kirain bakal diajak keliling bareng,” gumamnya kecewa.
Adrian berkeliling sendiri di tengah keramaian sekolah. Berbagai makanan dan barang dijajakan di lapak dadakan, tapi itu tidak berhasil mengusir kekecewaan Adrian, “Cari cemilan enak aja deh buat hiburan.” Gumamnya sambil mengamati masing-masing stand makanan yang didirikan. Sekilas ia merasa melihat sosok seseorang yang dikenalnya lewat, seseorang dari masa lalu yang sama dengannya. ‘Itu kan...Hayashi Taisho?’ Ia melongok-longok untuk mencari lagi sosok yang dikenalnya tadi, namun ia kehilangan jejak. ‘Mungkin aku salah lihat, atau cuma mirip?’ Herannya.
...oOo...
“Watashi no gakkou e youkoso (selamat datang di sekolahku)!” Selena memamerkan sekolahnya dengan bangga kepada Hayashi yang berjalan bersamanya. Di kesempatan festival sekolah ini memang tepat sekali untuk mengajak orang dari luar untuk masuk dan menunjukkan keadaan seluruh area sekolah, “Kamu harus nonton aku pentas nanti!” Pesannya.
Hayashi tersenyum dan mengangguk, “Baik, Ohime-sama. Saya akan menjadi pendukung utama anda. Apa perlu saya mencari penonton pendukung yang lain agar sorakannya lebih ramai?” Responnya kaku.
“Eh, nggak perlu! Jangan, kamu aja udah cukup.” Selena melarang dengan panik.
“Aku juga bercanda kok.” Hayashi menertawakan respon Selena.
Selena mendorong Hayashi kesal, “Hiih, kirain beneran!” Dumalnya, “Sebelum pentas puas-puasin jajan dulu yuk!” Selena berjalan antusias di depannya.
Hayashi tersentak dengan sosok pria tinggi berambut pirang yang menarik perhatian, kelihatan eksentrik di tengah lautan manusia, ‘Seperti Adrian?’ Herannya sambil mengucek matanya. Begitu ia selesai mengucek mata sosok itu sudah menghilang, ‘Mungkin aku hanya salah orang.’ Hayashi menepis pikiran sebelumnya.
Selena berjalan santai di depan Hayashi dengan tentengan jajanannya ketika Endry terlihat berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi ketidaksukaan. Kedua tangannya dilipat dengan kesal.
“Santai dong Dry, ini kan acara festival sekolah. Sekali-sekali doang gue ajak Hayashi kesini, kapan lagi?” Selena menjelaskan tanpa diminta.
“Lu bukannya harus persiapan buat naik panggung nanti? Anak Padus udah kumpul tuh!” Endry mengingatkan.
“Iya sih, ya udah. Hayashi, kita pisah disini ya! Kamu jajan-jajan aja dulu, nanti jangan lupa tonton panggung pentas seni, aku akan tampil disana. Sampai ketemu disana.” Pesan Selena sebelum berlari bersama Endry ke tempat para anggota Padus bersiap.
Hayashi menghela napas. Sekarang ia harus sendiri di tempat yang baru disinggahinya ini.
...oOo...
Adrian duduk di salah satu bangku penonton yang tersedia di ruangan aula sekolah yang disulap menjadi tempat pertunjukan. Sudah mendekati waktu janjian dengan Akasia, Adrian sendiri tidak mengerti acara apa yang akan diadakan disini. Adrian menunggu tapi Akasia belum kunjung terlihat.
“Selamat pagi semuanya, selamat datang di acara Class of Champion! Disini masing-masing perwakilan kelas akan bertarung memperebutkan juara untuk membuktikan kepintarannya mengenai pengetahuan umum, baik science, sosial, politik, maupun pengetahuan lainnya.” Terdengar MC sudah mulai membuka acara, sementara Adrian masih melongok kesana-kemari, mencari keberadaan Akasia, “Mari kita perkenalkan peserta lomba dari perwakilan semua kelas, silakan masuk!”
Dan tampaklah Akasia muncul ke depan panggung kecil dengan disaksikan banyak pasang mata, Adrian terkesiap. Akasia berbaris bersama siswa-siswi lain yang menjadi peserta lomba, mereka lalu duduk di bangku yang telah disediakan, menjadi bintang pertunjukan mewakili kelas mereka, siap memperebutkan poin untuk meraih kemenangan.
Adrian terperangah, kemudian ia menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Akasia Akasia...pantas aku disuruh kesini. Ini ternyata.” Gumamnya, kejutan ini cukup menghiburnya.
Ia bisa melihat Akasia menunjukkan aksinya, mengeluarkan tajinya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan MC. Akasia memberikan jawaban demi jawaban cerdas bagaikan peluru yang melesat membantai targetnya. Tatapannya tajam, jawabannya lugas dan tepat, Adrian terkesima melihat Akasia bertahan hingga ia lolos sampai ke babak final. Adrian tertegun, tidak menyangka gadis yang biasa bersamanya itu ternyata teramat pintar.
Ia semakin terpesona dengan kemampuan gadis itu, ia bisa merasakan kekaguman yang familiar. ‘Aku terlalu meremehkan Akasia selama ini.’ Pikirnya. Ini membuatnya mengingat Kemuning, pikirannya berkelana, ‘Apa mungkin mereka pada dasarnya jiwa yang sama, hanya berbeda jaman dan gaya hidup?’ Adrian mulai membandingkan Kemuning dan Akasia. Ia menggelengkan kepala menepis pikirannya, ‘Tidak boleh Adrian, tidak boleh menyamakan begitu. Aku tidak boleh terpesona kepada gadis SMA ini.’ Ia mengingatkan dirinya kembali.
Di tahap final pertarungan menjadi lebih panas. Akasia harus cepat-cepat memencet bel jika ingin menjawab pertanyaan. Sayangnya Akasia terlihat mulai tidak fokus, seperti terganggu akan sesuatu. Ia terus memegang bahunya yang sempat cidera. Ia menjadi lebih lambat dalam menekan bel, padahal tampaknya ia pasti tahu jawabannya. Adrian meringis, merasa kasihan dengan kondisi gadis itu. Ini yang ia takutkan karena Akasia seringkali memaksakan diri dan mengesampingkan keadaannya sendiri. Perlombaan selesai dengan baik, Akasia membawa kelasnya mengantongi juara dua. Gadis itu mendatangi Adrian yang menyambutnya dengan tatapan bangga.
Adrian mengucek-ucek kepalanya, “Sepertinya aku terlalu meremehkan kamu, ternyata kamu lebih pintar dari yang kukira! Jadi bangga.” Adrian menyanjung.
Akasia tersenyum lemah, “Tapi cuma juara dua. Padahal aku tahu jawabannya, tapi tanganku kalah cepat.” Ia menyayangkan.
“Kamu kan masih cidera, wajar. Ambisius banget sih? Juara dua juga hebat tahu!” Adrian membangun semangatnya, “Justru kasihan badanmu. Kamu jangan memaksakan diri dong. Sekarang bahunya masih sakit?” Adrian menyuarakan kekhawatirannya, “Apa kita istirahat aja? Mau pulang?”
“Jangan dong, puas-puasin dulu! Panggung pentas seni belum ditonton.” Akasia menolak tawaran itu.
“Akasia keren banget, terima kasih ya sudah bikin kelas kita juara dua.” Selena menghampiri Akasia sambil menyalaminya, membuat Akasia bingung sekaligus waspada dengan kehadirannya, “Gue juga udah daftarin nama lu buat unjuk bakat perwakilan kelas kita, siap-siap naik ke panggung pensi ya.” bisiknya tengil saat bersalaman.
“Sel, kok mendadak gini sih? Parah lu!” Akasia panik mendengarnya.
“Ya maaf, habisnya dari kelas kita nggak ada yang berani naik ke panggung. Gue cuma ingat elu yang paling percaya diri, jadi gue tulis nama lu aja. Gue juga nanti naik panggung buat penampilan Padus, masa gue lagi sih?” Selena beralasan meski tak terlihat menyesal, “Gue daftarkan lu buat nyanyi lagu bahasa Jepang nanti. Good luck ya!”
“Lah kenapa harus bahasa Jepang?” Akasia semakin kewalahan.
“Supaya kelas kita nggak kalah, ada wow factor-nya, begitu. Lu bisa lah, gue yakin.” Selena menenangkan dengan santai.
“Wah parah lu, gue belum persiapan apa-apa nih. Baju juga gue cuma bawa ini.” Keluh Akasia, “Jam berapa tampilnya?”
“Masih lama kok, kelas kita kebagian jam dua siang kemungkinan.” Jawab Selena.
“Waduh dua jam lagi…” Akasia kelabakan.
“Udah ya, gue latihan dulu. Kita ketemu di panggung.” Selena menarik diri tanpa ambil pusing, sementara Endry yang berada di dekat sana ikut menggaruk kepalanya, pusing dengan kenakalan sahabatnya sendiri. Ia memilih membantu Akasia.
“Akasia, aku coba batalin ya ke panitia panggung.” Endry menawarkan bantuannya.
“Eh jangan, Dry.” Akasia melarang, “Kalau bukan aku, nanti nggak ada yang tampil mewakili kelasku. Nggak apa-apa deh, masih ada waktu persiapan, bisa kok.” Gadis itu tersenyum meyakinkan.
“Gini aja, kamu pilih aja lagu Jepang yang kamu hapal, kamu fokus latihan nyanyi. Soal kostum, musik, biar aku yang atur. Musik pengiring aku bisa download online, nanti kukasih ke panitia belakang panggung, yang penting kamu kasih tahu judulnya ke aku.” Pemuda itu menenangkan Akasia.
...oOo...
Dinia memulas wajah Akasia dengan seksama, memastikan makeup-nya on point.
“Emang harus didandanin gini ya?” heran Akasia. Pasalnya begitu tahu Akasia akan naik ke panggung, keperluan yang Dinia utamakan adalah makeup-nya.
“Ya harus lah, performer di panggung itu harus kelihatan menonjol, kelihatan cantik meskipun dilihat dari jauh, makeup-nya pun kalo bisa kelihatan sampe langit ketujuh.” Dinia menjelaskan.
“Ebuset, cahaya Ilahi kali?” Respon Akasia tengil, “Lah itu baju dapat dari mana?” Akasia melirik dress putih berlengan balon dengan rok tile tebal mengembang indah, manik-manik berkilauan menghiasi beberapa bagiannya, mirip kostum ibu peri. Dress itu digantung di dekatnya.
“Endry nemu di gudang ruang AVA, bekas pertunjukan teater.” Dinia menjawab singkat sambil memulas bibir Akasia dengan lipcream bergaya ombre, “Selesai, tinggal hair-do rambutnya.” Dinia terlihat puas dengan hasil kerjanya, selanjutnya tangannya mengepang rambut Akasia dari sisi kanan depan dan kiri depannya dan mempertemukan kedua kepangannya dengan ikatan di belakang kepalanya, menjadi semacam sanggul gaya romanian. “Begini aja biar kelihatan klasik kayak dewi Yunani. Sekarang ganti bajunya!” Suruhnya ke Akasia. Akasia segera pergi ke toilet terdekat dan mengganti kostumnya.
Dinia menyuruh Akasia menukar sepatunya dengan sepatu mary-jane berwarna putih dengan hiasan mutiara cantik yang didapatnya entah darimana.
“Ini sepatu siapa lagi?” Akasia heran.
“Punya temen kelas gue, gue pinjem dulu.” Dinia menginformasikan, “Udah pakai aja, gue udah suruh dia pakai sendal dulu sementara.”
Endry masuk ruangan kelas tempat mereka bersiap dan sempat terpaku saat melihat penampilan Akasia.
“Malah bengong, sini lu! Ada ape?” Dinia menyentaknya untuk menyadarkannya.
“Oh iya, Kas. Soal performance kamu nanti, selain musik pengiring, apa lagi yang kamu perlukan di panggung untuk penampilan kamu? Properti apa gitu?” Endry menanyakan.
“Yang pasti bangku, sama…” Akasia mendekat untuk membisikkan ke Endry mengenai idenya.
...oOo...
Akasia duduk tenang di tengah panggung memegang mic, tetap menarik perhatian dengan gaun putih panjang dan hiasan topi kecil berjaring warna putih mirip sosialita Eropa di masa lalu. Musik berputar dan ditampilkan gambaran masa penjajahan di layar panggung di belakangnya. Terlihat kondisi masyarakat di jaman dulu baik dari bangsa Belanda, bangsa pribumi, dan juga tentara jepang yang sesekali muncul. Mereka beraktivitas di negeri ini meski masing-masih terlihat drastis perbedaannya. Akasia tersenyum, ini konsep yang dia inginkan.
- Flashback -
“Jadi begini Dry, lagu ini tentang kesedihan akibat peperangan. Untuk proyeksi di panggung, aku mau minta tolong kamu cari gambaran bangsa kita sewaktu di jaman penjajahan dulu, baik video maupun foto. Tampilkan perbedaan kondisi yang drastis dari orang-orang yang berasal dari golongan berbeda. Ini mau aku jadikan propaganda perdamaian untuk stop perang dan penjajahan, karena perang dan penjajahan itu buruk apapun alasannya. Sekaligus perenungan atas masa lalu yang pernah dilalui tanah air kita ini.” Pinta Akasia berbisik saat Endry menanyakannya sebelum naik ke panggung tadi.
...oOo...
Akasia mendekatkan mic-nya ke bibirnya dan mulai bernyanyi.
"Saita no no hana yo
(Oh bunga liar yang mekar)
Aa douka oshiete okure
(Tolong beritahu aku)
Hito wa naze kizutsukeatte arasou no deshou?"
(Kenapa manusai saling menyakiti dan bertarung dengan yang lainnya?)
Adrian tertegun di barisan penonton, tubuhnya terpaku menatap Akasia di atas panggung yang terlihat bagai dewi. Seluruh tubuhnya merinding mendengar suara indah Akasia, seolah makna lagu itu dapat merasuk ke dalam hatinya meski tidak dimengerti bahasanya. Gambaran masa lalu negeri ini di layar belakang Akasia semakin membawa suasananya ke masa yang ia kenal, terbersit rasa kerinduan di hatinya.
“Rin to saku hana yo
(Oh bunga yang anggun)
Soko kara nani ga mieru?
(Apa yang kau lihat dari sana?)
Hito wa naze yurushiau koto dekinai no deshou?”
(Kenapa manusia tidak bisa saling memaafkan?)
Di tempat lain tidak jauh dari sana seorang pemuda berwajah oriental tersentak mendengar lantunan lagu itu. Bulu tengkuk Hayashi berdiri. Ia langsung memahami makna lagu itu, ditambah lagi ia merasa mengenal suara yang menyanyikannya. Segera ia berbalik mencari sumber suara, ia mendesak maju melawan kerumunan orang-orang di sekitar panggung.
Suara itu seakan memanggilnya, menggerakkannya untuk melihat siapa yang menyanyikannya dengan indah dan menyentuh seperti ini. Ketika melihat gadis itu di atas panggung ia semakin terkesima.
Ia benar-benar mengenal sosok wanita itu. Bukan cuma suara, wajah, bahkan postur tubuhnya pun sama, “Kemuning?” Gumamnya terkejut namun juga bahagia.
semangat /Good/