Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DODIAKSU 26
Sehari setelah pemakaman Risma, Anton kembali ke rumah dengan langkah yang berat, memenuhi permintaan Halimah untuk datang sendirian. Ia meninggalkan Ariyani di kos, meskipun sang istri ingin menemaninya. Anton takut kehadirannya akan memperburuk keadaan dan menyakiti hati anaknya, Rafa.
Saat ia berhenti sejenak di depan pintu, matanya menangkap suasana tegang di dalam rumah. Halimah, Rafa, dan abangnya sudah menunggu, dengan wajah serius dan mata tajam. Anton mengambil napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk, merasakan atmosfer yang semakin memburuk.
Mata Halimah menatapnya dengan tajam, seolah-olah menuduhnya atas segala kesalahan. Rafa pun terlihat membenci ayahnya, dengan wajah yang murung dan tidak ada senyum. Anton duduk di samping kakak iparnya, dengan Halimah dan Rafa berhadapan dengannya. Suasana di ruangan itu semakin tegang, dengan kesunyian yang menyesakkan. Anton hanya menunduk, merasa bersalah atas segala yang telah terjadi.
Rafa menatap ayahnya dengan mata penasaran dan sedikit kemarahan. "Benarkah bapak sudah menikah lagi?" tanyanya dengan nada ketus.
Anton menelan ludahnya, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. "Iya, bapak sudah menikah lagi," jawabnya pelan, seolah-olah tidak ingin mengakui kesalahannya.
Rafa langsung meledak dengan emosi. "Kenapa Bapak tega! Bahkan Bapak tidak memberitahu aku terlebih dulu. Bapak selalu begitu, tidak pernah mempertimbangkan perasaan aku!" katanya dengan suara yang meninggi.
Anton hanya diam, tidak berani menjawab perkataan putranya. Ia merasa bersalah dan bingung, tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi ini. Ia teringat kembali bagaimana ia pertama kali bertemu Ariyani, dan bagaimana ia terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkannya.
Awalnya, ia hanya ingin menghilangkan rasa bosan dan kesepian karena jauh dari Halimah. Tapi siapa sangka jika Ariyani membawanya bertemu dengan kedua orang tuanya dan meminta dinikahi.
Saat itu, Anton tidak punya pilihan selain menikahi Ariyani. Tapi kini, ia menyesal karena telah memilih jalan yang salah. Ia menyadari bahwa ia telah mencintai Ariyani, tapi cintanya itu tidak tulus. Kini, ia harus menghadapi konsekuensi dari kesalahannya.
"Maafkan bapak, Le," ujar Anton dengan suara yang bergetar. "Bapak terpaksa menikah dengannya, tapi bapak masih sayang dan cinta dengan mamakmu."
Anton meraih tangan Halimah, dengan mata yang memohon. "Maafkan aku, Halimah. Aku tak bersungguh-sungguh dengan Ariyani. Aku hanya terpaksa saja menikahinya. Percaya padaku, sayang."
Halimah tertawa geli, tapi tidak ada kesenangan di dalamnya. "Setelah semua ini, kamu meminta aku percaya? Bagaimana bisa aku mempercayai mu, sedangkan kamu sudah menghianati aku?" katanya dengan suara yang tajam.
Mata Anton membelalak, dan ia berteriak, "Ya, itu semua juga karena kamu, Halimah! Kalau kamu tidak memulainya dulu, aku juga tidak akan melakukan ini padamu. Kita sudah impas, Halimah, jadi aku bisa kembali padamu."Suara Anton melembut, tapi Halimah tidak terpengaruh.
Ia berdiri dengan marah, dan bentakannya membuat Anton terkejut. "Mas! Bisa-bisanya kamu masih menyalahkan aku, padahal kamu jelas-jelas mencari alasan untuk menutupi kesalahanmu. Aku memintamu ke sini bukan untuk meminta kamu kembali, tapi aku minta kamu ceraikan aku!"
Abang Halimah terkejut dengan permintaan itu, dan ia hanya bisa diam, menjadi saksi atas keputusan Halimah. Anton sendiri seakan tidak bisa menerima keputusan itu, dan ia terlihat seperti orang yang kehilangan segalanya.
"Apa kamu serius dengan ucapanmu, Halimah? Kamu mau menjadi seorang janda?" pekik Anton, dengan suara yang penuh emosi.
Halimah bersendekap dada, dengan mata yang tajam. "Aku lebih baik menjanda daripada harus kamu madu, Mas. Aku tidak sanggup jika harus berbagi suami dengan wanita lain."
Anton membentak, dengan wajah yang merah. "Kamu pikir hidup menjadi janda itu enak? Siapa yang akan mencarikanmu nafkah? Siapa yang akan menghidupi Rafa, anakku?"
Halimah tersenyum sinis, dengan suara yang dingin.
"Heh... Kamu pikir selama ini kamu menafkahi kami? Kamu sudah lupa tanggung jawabmu sejak mengenal wanita itu, Mas. Selama ini aku yang banting tulang cari uang untuk makan, Rafa juga sudah mampu untuk cari uang, jadi kamu tidak perlu menghawatirkan itu."
Anton mengutuk, dengan suara yang keras. "Kamu memang keras kepala, Halimah! Baiklah, aku akan melakukan apa yang kamu inginkan. Aku ceraikan kamu dengan talak tiga, Halimah, dan aku juga akan segera mengurus surat perceraiannya."
"Tapi Rafa akan pergi bersamaku!" tambah Anton, dengan suara yang penuh harapan.
Halimah menggelengkan kepala, dengan mata yang tajam. "Silahkan, Mas. Dia sudah besar, Rafa bisa memilih dengan siapa dia ingin tinggal."
"Kamu akan ikut bapak kan, Le?" tanya Anton dengan suara yang penuh harapan.
Rafa menghindar dari bapaknya, dengan mata yang tajam. "Tidak, Pak. Aku tidak mau tinggal dengan wanita itu. Bahkan aku tidak mengenal istri baru bapak. Apa bapak yakin dia bisa menerima aku?"
Ucapan Rafa tajam dan membuat Anton terkejut. "Tentu saja dia mau menerima mu, Le. Dia harus mau karena kamu anak bapak!" tambah Anton dengan suara yang keras.
Rafa menggelengkan kepala dengan keras, dengan mata yang berapi. "Bapak sudah ada wanita itu, sedangkan mamak sendiri. Jadi maaf, Pak. Rafa lebih memilih tinggal dengan mamak."
Anton kesal dan berdiri dengan marah. Ia melotot ke arah Rafa dan Halimah, dengan suara yang keras. "Baiklah, kalau itu mau kalian. Kalian akan menyesal telah melakukan ini padaku!"
Abang Halimah menahan tangan Anton, dengan suara yang tenang. "Hentikan, Nton. Kamu yang sudah memulai semua ini, jadi terima keputusan mereka."
Anton mengeratkan gigi, ia tak berani bertindak lebih jauh karena ada abang Halimah. Ia dengan terpaksa menerima keputusan Halimah dan Rafa, dan meninggalkan rumah dengan kesal.
Halimah merasa lebih lega dan plong, seperti beban di hatinya berkurang. Ia tidak lagi menangis, karena ia sudah lebih kuat untuk menghadapi suaminya.
Abang Halimah mendekati Halimah, dengan suara yang hangat. "Yo wes, kalau memang itu keputusanmu, Halimah. Abang hanya bisa mendukung setiap keinginanmu. Semoga kelak kalian bisa hidup nyaman dan damai."
Halimah mengangguk dan memeluk singkat abangnya, dengan senyuman yang terukir di wajah cantiknya.
"Kalau begitu, Abang pulang dulu ya." ucap abangnya.
"Iya, Bang, terima kasih sudah mau mengerti aku," ujar Halimah dengan suara yang lembut.
Abangnya hanya tersenyum dan pergi keluar dari dalam rumah, meninggalkan rumah yang kini nampak sepi dan sunyi. Hanya suara langkah kaki abang Halimah yang terdengar, semakin menjauh dan menghilang.
Rafa mendekati ibunya, dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Mak, e baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan suara yang cemas.
Halimah tersenyum lembut dan mengelus kepala Rafa. "Iya, sayang, Mak e enggak apa-apa kok... Malah hati Mak e sedikit lega sekarang. Sepertinya Mak e sudah bisa merelakan bapak mu."
Halimah memeluk Rafa erat, dengan suara yang penuh kasih sayang. "Maafkan Mak e, kamu harus mengalami ini semua."
Rafa terkejut dengan ucapan emaknya , dan ia memandang Halimah dengan mata yang penuh kekaguman. "Kenapa Mak e bilang begitu, Mak e gak perlu minta maaf sama Rafa. Bukan Mak e kok yang buat kesalahan," ucap Rafa dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan.
Ucapan Rafa sangat menenangkan hati Halimah, dan ia merasa bahwa anaknya telah tumbuh menjadi seorang pria yang kuat dan bijak.