Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.
Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.
Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.
Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sehari Untuk Naya
Pagi datang dengan tenang. Matahari baru saja naik, sinarnya yang hangat mengintip dari balik tirai kamar Lisa. Naya membuka mata perlahan, sejenak lupa di mana ia berada, sampai suara Lisa yang sibuk memilih baju dari lemari mengingatkannya.
"Nay, kamu udah bangun?" tanya Lisa tanpa menoleh.
Naya mengusap wajahnya, mencoba mengusir kantuk. "Iya... udah."
"Good! Hari ini aku udah rancang itinerary buat kita berdua. Gak ada seminar, gak ada Kak Brian, gak ada yang bikin kamu anxious. Pokoknya kita healing!" kata Lisa penuh semangat.
Naya menarik napas panjang. Baginya, kata "healing" terdengar aneh. Sudah lama sekali ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Rasanya ada semacam rasa bersalah yang mengintip di sudut hatinya — karena ia tahu Sean, putranya, sedang bersama Alvin, mantan suaminya, sementara ia di sini berusaha menikmati waktu luangnya.
Namun, Naya tahu ia butuh ini. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.
BRUNCH DAN OBROLAN RINGAN
Kafe yang Lisa pilih terlihat hangat dan tenang. Tanaman hijau merambat di beberapa sudut, dipadukan dengan interior kayu yang membuat suasana menjadi nyaman. Tidak terlalu ramai — tepat seperti yang Naya harapkan.
“Kamu mau minum apa?” tanya Lisa sambil sibuk melihat menu.
Naya melirik daftar minuman, pikirannya sedikit buntu. "Apa aja deh, Ca. Aku ikut kamu aja."
Lisa tersenyum tipis. “Aku pesenin matcha latte buat kamu. Katanya bagus buat calming.”
Tak lama, pesanan mereka datang. Avocado toast, croissant, dan beberapa hidangan manis tersaji di meja. Lisa langsung memotret makanan itu, sementara Naya hanya duduk diam, menggenggam gelasnya sambil memperhatikan sekitar.
“Nay, kamu gak foto makananmu?” goda Lisa sambil tertawa kecil.
Naya menggeleng. “Buat apa?”
Lisa menatap sahabatnya itu lekat-lekat. "Nay, kamu kapan terakhir kali makan di luar sambil santai begini?"
Naya terdiam. Ia memikirkan jawabannya, namun yang muncul di benaknya hanyalah potongan memori tentang makan terburu-buru sambil menyuapi Sean, atau sekadar menyantap roti seadanya saat mengurus keperluan rumah.
“Entahlah... mungkin sejak Sean lahir.”
Lisa menghela napas. “Nay… aku ngerti kamu ibu yang hebat, tapi kamu juga manusia. Kamu gak bisa terus-terusan mengabaikan dirimu sendiri.”
Naya hanya tersenyum kecil. Tapi hatinya sedikit bergetar — bukan karena Lisa menghakiminya, tapi karena Lisa benar.
SHOPPING TIME
Setelah brunch, mereka melanjutkan agenda ke sebuah mall besar. Lisa tampak bersemangat, sementara Naya sedikit cemas. Keramaian mulai membuat dadanya sesak, meski ia berusaha menutupinya dengan menarik napas panjang berkali-kali.
"Ca, kalau aku tiba-tiba ngerasa panik lagi, tolong bilang kita pulang, ya," bisik Naya lirih.
Lisa langsung meraih lengan Naya, menggenggamnya lembut. "Aku di sini. Kalau kamu gak nyaman, kita langsung keluar."
Mereka masuk ke sebuah toko pakaian. Lisa langsung bergerak lincah, memilih baju satu per satu, sedangkan Naya berdiri canggung di sudut toko, matanya sekadar mengikuti gerakan Lisa.
"Nay, ini bagus gak?" Lisa mengangkat dress pastel ke arah Naya.
Naya menggeleng pelan. “Aku kayaknya gak butuh.”
Lisa mendesah pelan, lalu menatap Naya lekat-lekat. “Kamu tuh selalu mikirin apa kamu butuh atau enggak. Tapi kapan kamu mikirin apa yang kamu mau?”
Kata-kata Lisa kembali menghujam hatinya.
Setelah hening beberapa saat, Naya akhirnya meraih dress itu dari tangan Lisa. "Aku coba, ya..." bisiknya, nyaris tak terdengar.
Lisa tersenyum lebar. “Akhirnya!”
Saat keluar dari ruang ganti, Naya berdiri di depan cermin. Dress pastel itu terlihat sederhana, tapi membingkai tubuhnya dengan indah. Ia menatap pantulan dirinya — seorang wanita muda, bukan hanya seorang ibu.
"Aku kayak bukan aku," gumam Naya pelan.
Lisa tersenyum, lalu berdiri di belakang Naya, menatap bayangan mereka berdua. "Itu kamu, Nay. Bukan cuma Naya, ibunya Sean. Tapi Naya... wanita kuat yang aku kenal sejak SMA."
Hati Naya menghangat. Ia akhirnya membeli dress itu — bukan karena butuh, tapi karena ia ingin.
DINNER DAN CURHAT
Setelah puas berkeliling mall, mereka memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran rooftop. Angin malam yang sejuk, pendar lampu kota, dan suasana yang tenang menjadi latar sempurna untuk mengakhiri hari.
Naya duduk diam, menatap teh hangat di hadapannya. Lisa memperhatikannya.
“Sekarang gimana? Udah lebih baik?” tanya Lisa lembut.
Naya mengangguk. “Iya… meski awalnya berat.”
Lisa tersenyum. “Aku tahu kamu gak terbiasa. Tapi aku seneng kamu mau nyoba.”
Hening sejenak, sampai akhirnya Naya berkata, “Ca… aku sering ngerasa bersalah.”
Lisa mengernyit. “Bersalah kenapa?”
Naya memandangi lampu-lampu kota yang berkedip. “Aku ninggalin Sean buat tiga hari aja rasanya kayak aku ibu yang buruk.”
Lisa meletakkan sendoknya, menatap Naya serius. “Nay, kamu bukan ibu yang buruk. Kamu butuh waktu buat diri kamu sendiri juga.”
Naya menghela napas panjang. “Aku tahu… tapi rasa bersalah itu tetap ada.”
Lisa meraih tangan Naya, menggenggamnya erat. “Sean gak akan bahagia kalau kamu terus-terusan capek dan cemas. Kamu perlu sehat — bukan cuma fisik, tapi juga mental.”
Air mata hampir tumpah dari pelupuk mata Naya, tapi ia segera menghapusnya.
"Aku cuma takut Sean ngerasa kekurangan kasih sayang karena aku dan Alvin udah gak bareng..." suara Naya bergetar.
Lisa menggeleng lembut. “Justru karena kamu sayang sama Sean, kamu ada di sini sekarang. Kamu tahu kamu perlu sembuh juga, biar kamu bisa jadi ibu yang lebih baik.”
Hati Naya menghangat. Lisa benar — ia harus sehat untuk Sean.
Saat mereka berjalan kembali ke mobil malam itu, Naya merasakan beban di hatinya sedikit berkurang.
Hari ini mungkin tidak menghilangkan semua kegelisahannya, tapi setidaknya, ia sudah memberi ruang kecil untuk dirinya sendiri.
Dan besok pagi, ia akan pulang — kembali menjadi ibu yang lebih kuat untuk Sean.