“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A ~ Bab 19
......................
“Loo … loo, kok mati lampunya? Tadi sudah kau periksa belum minyak lampunya, Tia?” tanya Wahyuni di kegelapan malam berbintang tanpa bulan.
“Malas. Tia lagi tak enak hati, jadi enggan mengikuti skenario apalagi perintah!” Sosoknya memang tidak tampak, tetapi suaranya sudah menggambarkan kalau gadis nakal itu tengah mencebik.
“Astagfirullah, Nak! Macam mana nanti bila kau bersuami, Meutia? Apa Nya tak frustasi melihat tingkah mu ni?!” Nyak Zainab yang biasanya selalu sabar, kini mengelus dada.
“Semua ni gara-gara Abang! Bukannya diperbaiki, malah Samson hendak dijual! Macam mana Tia tak sedih cobak, Nyak.”
“Apa betul Abang hendak menjual motornya, Meutia? Tolong jangan terlalu keras kepadanya, Bang! Semenjak Wahyuni menikah dan tinggal jauh dari sini, hanya benda tu yang menemani Tia!” Amala berbisik begitu lirih.
Agam menghidupkan korek kayu, posisinya memunggungi lainnya, dan berhadapan dengan Nur Amala. ‘Masya Allah, sungguh cantik ciptaan-Mu ya Rabb.’
Mala yang terkejut otomatis menutup matanya, dia tidak menyadari sedang dipandangi, begitu mengerjap sudah kembali gelap lagi.
“Bang Agam sedang apa? Udah macam jaga lilin babi Ngepet saja! Kita gelap-gelapan, nya malah asik menghidupkan sebatang kayu korek api!” Meutia sudah bersiap berdiri, dia mau menghampiri abangnya.
Eheum.
Dhien berdehem, dia ngode Agam, beruntung mereka duduk pas di siku ruangan yang hanya ada dirinya, Amala, Dzikri dan kepala keluarga Siddiq.
“Duduk saja kau disana, Tia! Bergerak dirimu, bakalan terguling macam kapal terbalik barang-barang yang ada di atas tikar!” Dhien berseru cukup keras.
“Alhamdulillah!” Seru beberapa orang, kala Hasan membawa lampu petromak yang ada di dalam rumah Agam.
Kembali acara yang tertunda tadi dilanjutkan lagi, mereka menikmati menu lumayan mewah.
“Saya hanya menggertak saja, Nur! Agar Meutia lebih hati-hati dalam berkendara,” ucapnya lirih sekali, tentu saja Dhien dan Dzikri dapat mendengar.
“Modelan Meutia mana mempan digertak, Bang! Sedangkan kita takuti hantu saja langsung nya tantang. Apalagi cuma gertakan sambal, ya membal!” ucap Dhien, yang langsung disambut tawa lirih Mala serta Dzikri.
Dulu, saking nakalnya Meutia, mereka pernah mengurung gadis berumur 16 tahun itu di rumah tidak berpenghuni, dan mencoba menakuti. Bukannya takut, Meutia malah melempari orang yang menyamar jadi pocong, berakhir wajah salah satu anak buah Agam Siddiq memar-memar.
“Dhien … berikan padaku cepokak nya! Ini ikan terinya untuk kau saja!” Dzikri menyodorkan wadah makannya, meminta Dhien mengambil sambal teri cabai hijau yang sudah disisihkan di pinggir piring.
Dhien pun menurut, lalu memberikan sayur bulat berwarna hijau yang bagus untuk kesehatan mata itu kepada Dzikri. “Terima kasih.”
“Tumben kau ucap lembut? Biasanya selalu ngajak adu urat leher!” sindir Dzikri.
“Menyesal ku cakap manis, dasar Dzikri Paok!” Dhien menggerutu seraya memakan ikan teri.
‘Aku lebih suka kau bermulut pedas, daripada banyak diam dan berwajah muram. Kau tak pantas bersedih Dhien … kuharap kedepannya hanya ada binar bahagia di manik indah mata mu tu.’
“Mbak, pulang yuk! Ternyata Nyamuk nya lebih ganas, Autan pun tak mempan! Kulitku sudah bentol-bentol di keroyok mereka!” Nirma yang sedari tadi menggaruk lengan dan anggota badannya, tidak tahan lagi bila lebih lama disana.
“Kan … kan, apa kubilang! Pasti kau mengeluh seperti sudah-sudah!” cibir Meutia.
“Macam mana aku tak mengeluh, Tia! Tak nya kau tengok, kulit ku sudah macam terkena ulat bulu!” Nirma masih saja menggaruk bagian lehernya.
Amala pun mengalah, sebenarnya dia segan karena tidak membantu mencuci peralatan makan yang kotor.
“Sudah tak apa. Pulang lah! Kasihan juga dengan Mak Syam, kalau kalian tinggal terlalu lama!”
Nyak Zainab membungkus beberapa kue dan ada juga nasi berserta lauknya. “Ini bawa pulang! Kue nya bisa untuk sarapan besok pagi, kalau nasinya langsung dimakan malam ini ya, biar tak basi!”
“Terima kasih ya, Nyak!” ucap dua bersaudara itu secara bersamaan, mereka datang tanpa sang ibu yang sedang tidak enak badan.
Tidak lama kemudian Dhien pamit pulang dengan Mak Inong, dia juga dibekali bontot yang sama seperti Amala.
***
Pagi hari.
“Dhien, kau hendak pergi kemana?” Emak Inong bertanya seraya memperhatikan sang anak.
“Pergi ngarit rumput, Mak!” jawabnya sambil mengenakan sepatu boots berwarna hitam.
“Mengapa bawa tas besar? Biasanya kalau pergi cari rumput, kau hanya membawa arit, karung dan tas pinggang!”
Dhien menggendong tas ransel yang sudah usang, lalu memperhatikan ibunya. “Hari ini agak jauh nyari pakan Kambing dan Lembu nya, Mak! Jadi, butuh bawa bekal lebih! Doakan sukses anakmu ngarit nya ya, Emak!”
Walaupun masih dipenuhi oleh tanda tanya besar, Mak Inong tetap menerima uluran tangan putrinya yang mau salim.
‘Apa sebenarnya yang direncanakan oleh putri hamba, ya Rabb?’
.
.
Hari sudah mulai beranjak siang, Dhien keluar dari tempat persembunyiannya. Dia hendak menyebrang jalan, tetapi terhenti kala melihat mobil kijang hendak lewat.
Sang sopir membuka kaca jendela mobil, sangat sopan dia mengajukan pertanyaan. “Kak, boleh kami bertanya? Tau tak, dimana rumahnya Bapak Abdul Siddiq?”
“Siapa kau?” Dhien menatap tajam sosok pria berkaos pas badan, berkulit bersih dan berwajah rupawan.
“ Perkenalkan, nama saya Ikram Rasyid.” Ikram menangkupkan kedua tangannya. “Ini teman saya, Yudi.”
Dhien hanya memperhatikan sekilas, sama sekali tidak tertarik berkenalan. “Kau mencari tempat tinggal Bapak Abdul Siddiq, atau rumah keluarganya?”
Tanpa berpikir terlebih dahulu, Ikram langsung menjawab. “Hunian Bapak Abdul Siddiq, Kak.”
“Lurus saja, jangan belok-belok! Nanti setelah ketemu lahan bekas pembakaran, kira-kira dua ratus meter dari sana ... kalian akan melihat sepasang pohon beringin besar di sebelah kanan, disitulah tempat tinggal Bapak Abdul Siddiq.”
“Betulan lurus terus, Kak? Tak ada kelokan atau persimpangan nya kah?” Yudi bertanya, sedikit terpesona oleh sosok Dhien yang terlihat berbeda dari wanita kota.
“Terserah kalian saja! Mau belok pun jadi, palingan cuma terjun bebas ke sungai.”
“Oh, maaf … kami tak tahu. Terima kasih banyak atas informasinya ya, Kak!” Ikram dan Yudi kembali menangkupkan telapak tangan, lalu mulai melajukan mobilnya.
Dhien mengedikkan kedua bahunya, tanda tidak peduli. Dirinya kembali memasuki area perkebunan karet, terus berjalan sampai bertemu padang rumput tanah lapang luas, dimana banyak kawanan Lembu yang sedang makan.
“Kalian menukar ku dengan dua ekor Kambing jantan. Jadi, jangan salahkan diri ini membalas berkali-kali lipat!” Dhien tersenyum culas, melepaskan tas ranselnya dan membuka resleting, mengambil tali tambang.
"Ini baru permulaan, kedepannya akan banyak kejutan lagi! Ah … senangnya, mengapa tak dari dulu saja aku melakukan hal gila macam ni.” Dirinya sudah selesai menyimpul tali tambang, berjalan tenang mendekati Lembu incarannya.
.
.
Sementara di tempat lain.
“Ini lahan bekas pembakarannya, berarti tinggal sekitar dua ratus meter lagi ‘kan, Yud?” Ikram bertanya sambil memperhatikan tempat dimana Meutia terlempar dan guling-guling lalu mandi abu.
“Betul. Tapi, mengapa tak ada satupun rumah?” Yudi terlihat bingung.
“Ikram itu pohon beringin nya! Lantas, dimana rumah nya …?”
.
.
Bersambung.
semangat Thor..