Ada sebuah rahasia besar dibalik sosok M, seorang dance crew populer di Surabaya dan sekitar Jawa Timur. Sosok yang misterus dan di puja banyak kaum hawa itu nyatanya memilih menjadi pelampiasan sang selebgram cantik asal Surabaya, Miki namanya.
Miki yang baru saja ditinggal pergi pacarnya demi gadis lain pun menerima M sebagai pelampiasan. Ia mengabaikan berbagai macam rumor yang beredar tentang M yang selalu memakai masker hitam ditiap kemunculannya.
Tapi siapa yang akan menyangka, sosok asli dari M si dancer jalanan itu, dancer yang di rumorkan memiliki wajah yang buruk rupa hingga harus menyembunyikan wajahnya di balik masker hitam itu, nyatanya adalah seorang pewaris tunggal dari Misha Corp sebuah perusahaan raksasa yang terkenal di Indonesia. Emeris Misha.
Kisah cinta Miki dan sang pewaris pun memunculkan banyak rahasia besar yang telah terkubur dalam pada keluarga Misha.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nens, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
"Ya?" sapa Emeris sambil berjalan pelan, mengantri untuk keluar kelas.
"Presdir ada di penthahouse," sahut Thomas.
Kening Emeris mengerut. "Kamu di mana sekarang?" tanyanya sambil melangkah keluar kelas.
"Depan gedung kampusmu."
"Tunggu. Ini aku jalan."
"Ok."
Sambungan telfon pun dimatikan. Langkah Emeris melangkah dengan cepat. Menuruni tangga dan melesat keluar menuju Thomas yang sudah menunggu di dalam mobil putih yang terparkir di depan gedung.
"Tumben papi ke Surabaya nggak pakek bilang aku dulu?" tanya Emeris begitu ia masuk dan duduk di jok tengah.
"Semoga nggak akan terjadi hal yang buruk. Aku takutnya M ketahuan," Thomas memutar stang mobil. Membawa mobil melaju keluar area Kampus.
Mata Emeris langsung menatap Thomas. Ucapan orang kepercayaannya itu seketika membuatnya was-was.
Kalau sampai M ketahuan..., kalau sampai ia ketahuan dance street lagi.... Ia tidak tahu kali ini murka sang Papi akan seperti apa. Kemurkaannya yang terakhir kali benar-benar masih membekas di benak Emeris.
Papinya tidak memarahinya sama sekali. Ia hanya menghela napas. Lalu pergi dari ruangan. Kemudian keesokan harinya, semua teman-teman tim dancenya di DO dari sekolah masing-masing.
Papinya tidak pernah melukainya barang sekalipun, apabila ia melakukan kesalahan. Melainkan, ia akan melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang disekitarnya yang disinyalir sebagai penyebab anak semata wayangnya itu melakukan hal bodoh atau hal berbahaya. Sekalipun pada dasarnya kesalahan berada pada Emeris sendiri.
Mendadak Emeris merasakan pening di kepalanya. Sejujurnya ia tidak pernah takut kepada sang Papi. Hanya saja ia takut akan perbuatan semena-mena sang papi kepada orang-orang disekitarnya.
Ia sudah cukup banyak kehilangan teman, di benci dan dikucilkan karena perlakuan sang Papi. Hingga akhirnya ia benar-benar tidak memiliki seorang teman. Kecuali Thomas. Dan 1 orang lagi.
Sepanjang perjalanan Emeris hanya diam. Ia terlihat sedikit cemas. Itu karena ucapan Thomas. Benar-benar mengusik.
Mobil memasuki pelataran hotel, kemudian melaju turun ke tempat parkir basement. Begitu mobil berhenti, sang CEO muda itu segera turun tanpa menunggu Thomas membukakan pintu.
Semula Thomas ingin memberikan HP M yang diinginkan Emeris sedari tadi pagi. Tapi sepertinya sang bos muda itu tidak mengingat hal itu lagi. Buktinya kini ia meninggalkan Thomas yang tangannya tengah memegang Hp M dan mengambang di udara.
Thomas melengos tidak percaya dirinya ditinggalkan begitu saja di dalam mobil tanpa ada kata pamit. Ia pun akhirnya menyusul Emeris.
Keduanya naik lift ke lantai atas. Lift terbuka tepat di depan pintu Penthahouse Emeris.
"Presdir?" tanya Emeris kepada salah satu penjaga keamanan yang selalu standby di depan pintu Penthahouse-nya.
"Presdir ada di roof garden, tuan," jawab si penjaga.
"Ok. Makasih," Emeris berbalik dan kembali masuk ke dalam lift diikuti oleh Thomas.
Pintu lift terbuka dan Emeris langsung berpapasan dengan Julian, orang kepercayaan papinya.
"Tuan muda," sapa Julian sambil sedikit membungkukkan badannya. Ia berniat memberitahu bosnya akan keberadaan anak semata wayangnya, tapi Emeris melarangnya.
"Don’t," ucap Emeris lirih sambil mengangkat telapak tangannya.
Julian mengangguk.
Emeris pun melangkah maju dengan perlahan. Mendekati sang Papi yang tengah duduk di salah satu kursi roof ganden.
Thomas yang tahu diri tidak mengekori bos mudanya lagi. Ia ikut berdiri si samping Julian, menunggu bosnya dengan tenang.
Emeris terus melangkah dengan pelan dan hati-hati. Ia tengah menyiapkan hatinya untuk mengahadapi kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi tiba-tiba.
Namun, langkah Emeris terhenti ketika ia melihat apa yang tengah di lakukan papinya sembari duduk santai di kursi besi berwarna putih susu itu.
Rahang Emeris mengatup rapat. Tangannya mengepal perlahan dan mengengam erat.
Foto itu lagi, batin Emeris jengah dalam hati.
Hampir di sepanjang hidupnya, selama yang ia ingat..., foto itu selalu dan selalu di pandangi sang papi ketika ia seorang diri. Menyepi dari keramaian. Dimanapun ia berada. Foto yang selalu di simpan di dalam dompet sang papi tidak akan pernah dilupakan oleh pemiliknya.
Foto wanita dalam warna hitam putih. Dan itu bukan foto almarhum sang mami. Yang jelas..., foto itu, telah menyiksa maminya dan dirinya sejak kali pertama ia dapat mengingat.
Dan sampai detik ini Emeris benar-benar merasa muak dengan wanita dalam foto itu. Yang ia sendiri tidak tahu siapa sebenarnya wanita itu. Yang ia tahu, wanita itu adalah salah satu penyebab kematian maminya.
"Hhhh...," Emeris menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Ia kembali menata emosinya. Memasang wajah datar dan kembali berjalan mendekati sang Papi.
"Pap...," sapa Emeris begitu ia akan semakin mendekati papinya.
Guan Misha pun terlihat kaget dan segera menutup dompetnya. Ia lalu menoleh kearah sang anak.
"Oh, Emer! Come!" seru Guan sambil berdiri dari duduknya.
Emeris tersenyum tipis dan melangkah sedikit cepat ke arah papinya.
"Lama ya nunggunya?" tanya Emeris seraya membalas pelukan sang papi.
"Nggak kok. Lagian nunggu disini nggak kerasa. Hawanya enak, pemandangannya juga lumayan. Sekalian nostalgia ngingetin mamimu. Haha...," Guan terkekeh sambil menepuk-nepuk punggung Emeris.
Emeris memalingkan wajahnya kearah lain kemudian tersenyum menyungging dengan muaknya. Ia tidak percaya dengan apa yang diucap papinya, walaupun memang benar di roof garden ini tersimpan banyak kenangan tentang sang mami. Karena dialah yang menata dan membuat taman indah ini. Selama ini Emeris tidak pernah merubah tatanan atau menambahi tanaman, ia hanya merawat dan menjaga. Mengganti tanaman yang mati dengan tanaman yang baru yang sama jenisnya.
Mengenang mami katanya?? Sejak kapan mamiku jadi gitu mukanya,batin Emeris kesal bila ingat wajah siapa yang baru saja dipandangi oleh sang papi.
"Gimana kuliahmu? Abis kuliah kan?" tanya Guan lagi.
"Ah, ya..., biasa aja Pap," Emeris kembali mengenakan topengnya.
"Ya udah kalo nggak ada masalah. Cuma papi ini sebenernya berharap banget, kamu mau kuliah keluar negeri kayak temen-temenmu yang lain. Anak-anak temen papi itu. Semuanya lulusan luar," Guan mulai kembali mengungkit sikap Emeris yang keukeh tidak mau meninggalkan kota Surabaya.
Emeris tersenyum tipis. Enggan menanggapi.
Guan pun hanya bisa menghela napas menerima penolakan halus sang anak. Ia memang tahu, sebagaimana pun dibujuknya si Emeris ini, ia tetap tidak akan mau keluar dari Surabaya. Ia juga sudah tahu alasan apa yang membuatnya sangat enggan berpisah dengan kota berkembang ini.
Hanya saja, ia masih berharap Emeris bisa dirayu barang sedikit. Ia ingin anaknya tinggal di Jakarta bersamanya karena ia sudah merasa kesepian tinggal seorang diri di Jakarta. Ia tidak bisa tinggal di Surabaya karena kenangan buruknya tentang almarhum istrinya.
Semakin ia mengenang sang istri, semakin ia merasa sangat bersalah. Lain dengan Emeris, sang anak. Semakin Emeris mengenang ibunya, semakin ia merasa tenang dan damai.
Kenyataan inilah yang membuat keduanya tidak bisa tinggal bersama dalam 1 atap yang sama.
"Hhhh...," Guan menghela napas, ia menyadari sikap Emeris yang tidak ingin membahas masalah kuliah keluar negeri. Ia pun mengajak duduk putranya.
"Gimana MCKO?" kini Guan mengubah topik pembicaraan.
"It's ok, Pap. Semua lancar," jawab Emeris dengan senyum tenangnya. Menandakan bahwa memang semua urusan tentang perusahaan sang Mami terkendali dengan baik.
"Kamu nggak kesusahankan, jalanin dua perusahaan sekaligus?"
"Nggak kok, Pap. Semuanya bener-bener terkendali."
"Hmm.... Terus soal proyek game MCKO gimana? Papi denger kalian masih ngelobby pihak China buat animasinya?"
"Iya. Kita masih perundingan sama perusahaan China buat gravis karakternya, Pap."
"Nanti Papi coba bantu. Papanya Ruby, dia punya banyak koneksi bagus sama pihak China. Kamu coba hubungin Om Chandra."
"Iya, Pap."