"Mulai sekarang gue yang jadi tutor lo sampai ujian kenaikan kelas."
Awalnya Jiwangga hanya butuh Keisha sebagai tutornya, itupun dia tidak sudi berdekatan dengan anak ambis seperti Keisha.
Sayang seribu sayang, bukannya menjauh, Jiwangga malah dijodohkan dengan Keisha.
Lantas bagaimana kelanjutan kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mashimeow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanggung Jawab
Chaos Brotherhood (7)
Harvey Wibisono: Harvey sent a picture
Harvey Wibisono: Ada yang rusakin motor lo nih @Jiwangga Abram
Harvey Wibisono: Kebetulan gue tadi ke parkiran ambil barang dan nggak sengaja lihat nih lubang gede banget lagi.
River Benjamin: Gue cari di sekitar parkiran juga sepi nggak nemu siapa yang lakuin.
Joshua Sagam: Anjir sampai dalam gitu lubangnya.
Joshua Sagam: Yang lakuin punya dendam apaan sama Jiwangga?
Jiwangga Abram: Bangsat motor gue.
Jiwangga Abram: Ada nyali juga dia cari masalah sama gue!
Lucas Damarlangit: Dilihat dari gambarnya tuh kayaknya disayat cutter juga dah.
Tristan Gamalael: Gak mungkin juga kalau yang lakuin asal-asalan gini Cas.
Julian Gistara: Pertanyaan gue satu, siapa yang lakuin?
Jiwangga Abram: Wkwkw anjing, gue nggak nyangka kalau dia bakal bertingkah sejauh ini.
Harvey Wibisono: Dia siapa?
Joshua Sagam: Lo udah tahu siapa orangnya?
Tristan Gamalael: Gue bantu ngantemi lah anjing, kudu dikasih paham biar gak cari masalah lagi sama Chaos Brotherhood.
Julian Gistara: Spill buruan siapa orangnya Jiw.
Lucas Damarlangit: Kata gue sih sekarang lo ke parkiran dulu aja ngecek motor lo gimana.
Jiwangga Abram: Iye gampang.
Jiwangga Abram: @Tristan Gamalael nggak usah, gue bisa nanganin sendiri.
Joshua Sagam: Lo yakin?
River Benjamin: Minimal kasih tahu dulu siapa yang lakuin itu ke motor lo.
Jiwangga Abram: Keisha.
Julian Gistara: Kocak, nggak mungkin lah Keisha lakuin itu.
Lucas Damarlangit: Lah yang benar aja lo Jiwa? Gak usah ngadi-ngadi napa.
Jiwangga Abram: Gue nggak bohong jing. Gue terlalu nyepelein dia kemarin. Biar gue sendiri yang kasih dia perhitungan.
Tristan Gamalael: Seorang Keisha Zievanna tuh buat lakuin hal kayak gitu rasanya masih aneh aja.
Lucas Damarlangit: Tapi kalau emang benar dia ya cegil sih. Gara-gara Jiwangga nggak datang tutor nih jadi begini.
Jiwangga Abram: Mending lo semua diam. Nggak usah banyak bacot sebelum mulut lo gue tonjok satu-satu.
Tristan Gamalael: Ampun ketua.
Jiwangga bertindak impulsif dengan menendang meja di hadapannya kasar untuk menyalurkan amarah yang kian menggunung. Rahangnya mengatup rapat menandakan jika pemuda itu sedang dalam keadaan tidak bisa diajak bercanda. Perubahan aura yang cukup kentara membuat hawa di sekelilingnya menjadi kurang nyaman. Jiwangga melihat segalanya dengan tatapan setajam serigala yang seperti siap menghabisi mangsanya kapan saja.
Joshua dan Julian sampai tidak berani mengusik. Mereka lebih memilih untuk diam dan mendekam dalam zona aman untuk keamanan bersama. Mengusik Jiwangga yang tengah dibalut api emosi ini bukanlah langkah yang bijak. Lebih baik keduanya menunggu sampai pemuda itu tenang dengan sendirinya.
Tetapi sebelum hal itu terjadi, saat bel istirahat pertama berbunyi, Jiwangga langsung berlari keluar dari kelas. Tujuan pemuda itu tidak lain adalah mendatangi satu-satunya perempuan yang berani mencari masalah dengannya. Kebetulan kelas Jiwangga dan Keisha ini sebelahan. Mudah untuk si tuan mendatangi gadis itu kapan saja.
“Mana Keisha? Panggilin cepat,” perintah Jiwangga pada salah satu teman kelas Keisha.
“Keisha nggak ada di kelas,” balas anak itu.
“Ke mana?” tanya Jiwangga dingin seraya menatap ke arahnya tajam.
“Gue lihat tadi mau ke koperasi, coba aja lo susulin ke sana,” sahut seorang siswi dengan bagde nama Luna Geraldine.
Jiwangga menoleh pada siapa yang mengajaknya berbicara. Sekilas pemuda itu menelisik penampilan Luna dari atas kepala hingga ujung sepatunya. Ia ingat sekarang, dia adalah perempuan yang sama saat Keisha menemuinya di lapangan tempo hari lalu. “Thanks,” kata Jiwangga.
Pemuda bertubuh tinggi besar itu lalu melangkahkan kakinya menuju area koperasi yang berada tidak jauh dari koridor kelas XI. Cukup mudah menemukan Keisha di tengah kerumunan. Keberadaan gadis itu terlihat mencolok dengan warna rambut kecoklatannya. Jiwangga menarik kasar tangan Keisha dan membawa si puan ke tempat yang jauh lebih sepi.
Keisha terkejut karena tangannya ditarik oleh seseorang. Hampir saja dia melemparkan kue surabi ke wajah orang itu kalau tidak tahu yang menariknya adalah Jiwangga. Si cantik berusaha melepaskan cekalan tangan Jiwangga tetapi kekuatan keduanya jauh berbeda. Mereka memutuskan untuk mengobrol di belakang ruang UKS.
“Tanggung jawab!” sentak Jiwangga dingin.
“Tanggung jawab apa sih, Jiwa? Santai aja dulu gitu loh nggak usah marah-marah. Lo tuh kalau ngomong yang jelas, apa konteksnya, kalau langsung minta tanggung jawab begini ya gue nggak paham,” balas Keisha santai sambil membuka bungkus permen tusuk dari saku roknya.
“Pasti lo kan yang ngempesin ban motor gue? Ngaku aja!” seru Jiwangga tidak bisa santai. Wajah tampan pemuda itu masih memerah sebab amarahnya belum juga mereda.
Keisha melahap permen rasa lemon dan susu itu kemudian. Ia menatap ke arah pemuda di hadapannya ini kelewat santai. “Emang lo yakin kalau gue yang beneran kempesin motor lo? Nuduh orang tanpa bukti itu nggak bagus loh, Jiwa,” tanya Keisha.
Jiwangga tersenyum remeh. Ia mendekat beberapa langkah sampai jarak di antara keduanya sedikit menipis. “Jangan bikin gue ngulang dua kali apa yang udah gue bilang Keisha Zievanna! Don’t cross your line and messed up with me if you won’t get a problems,” ucap Jiwangga dengan suara beratnya.
“Gue nggak main-main sama omongan gue dan lo pilih buat nggak datang kan? Ya terima konsekuensinya dong.” Keisha mendongak balas menatap ke arah Jiwangga langsung pada sepasang netra wolf eyes pemuda itu. Tanpa sungkan tangan si puan terulur untuk merapihkan kerah seragam milik Jiwangga yang berantakan. Tindakan impulsifnya ini membuat gadis itu bisa mencium aroma maskulin dari parfum yang Jiwangga pakai. “Gue bisa lakuin apa pun. Sekali lagi gue garis bawahi, gue bisa berbuat apa saja buat dapat apa yang gue mau, Jiwangga. Bukan perkara besar bikin lo ada di jalan yang seharusnya lo lewati sama gue,” jelas Keisha panjang lebar.
“Gila lo!” umpat Jiwangga.
“Siapa yang bikin gue jadi gila kayak gini, Jiwa? Terserah lo mau sebut gue apa, tapi bukannya lo bisa berbuat jauh lebih nekat ya? Seharusnya lo nggak ada masalah dong. Terkadang, kita harus menjadi kurang waras ketika dihadapkan sama lawan yang nggak punya otak. Harusnya setelah ini lo paham buat datang ke kelas gue pulang sekolah nanti,” kata Keisha sarkas.
Keisha menepuk pundak Jiwangga perlahan lalu berbalik arah dan pergi menjauh. Sambil memakan permen tusuk tentunya. Gadis itu tidak ingin terjebak lebih lama bersama dengan si biang onar. Semoga saja gertakan kecilnya ini bisa membuat ketua dari Chaos Brotherhood itu paham.
Jiwangga memandang lurus pada siluet punggung Keisha yang semakin menjauh. Kekehan ringan pemuda itu lepaskan saat ia tak lagi melihat presensi keberadaan si puan. Satu pukulan telak mengenai tembok Jiwangga beri untuk melampiaskan amarahnya. Lantas Jiwangga pergi dengan arah yang berlawanan menuju pintu belakang sekolah.