NovelToon NovelToon
Izin Menikah Mengubah Takdir

Izin Menikah Mengubah Takdir

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami
Popularitas:112.5k
Nilai: 4.7
Nama Author: Minami Itsuki

Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5 UJIAN RIDHO

Ibu menghela napas panjang, lalu menatap Aisyah dengan tatapan penuh makna.

"Aisyah," ucapnya lembut, tapi tegas. "Kamu tahu kan, jika seorang istri ridho saat suaminya berpoligami, maka Allah menjanjikan surga untuknya?"

Aku melihat Aisyah diam, wajahnya tetap tanpa ekspresi.

Ibu melanjutkan, suaranya semakin dalam seolah ingin menyadarkan Aisyah. "Perempuan yang ikhlas menerima takdir suaminya, yang tidak membantah dan tetap berbakti, akan mendapat pahala yang besar. Dunia ini hanya sementara, Nak. Yang kita kejar adalah kehidupan akhirat."

Aku menatap Aisyah, berharap kata-kata Ibu bisa sedikit meluluhkan hatinya.

Namun, yang kulihat hanyalah senyum tipis yang begitu asing di wajahnya.

“Ridho?” Aisyah mengulang kata itu dengan nada pelan, hampir seperti membatin.

Ibu mengangguk mantap. "Ya, ridho. Kalau kamu menerima ini dengan hati lapang, insya Allah, Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Kebahagiaan yang lebih besar di akhirat."

Aisyah menunduk sejenak, seakan berpikir. Kemudian, dia mengangkat wajahnya dan menatap langsung ke arah Ibu.

“Saya mengerti, Bu,” katanya akhirnya. “Tapi, apakah ridho itu bisa dipaksakan?”

Ibu terdiam sejenak. “Tentu saja tidak, tapi—”

“Saya ingin ridho, Bu,” potong Aisyah dengan suara yang tetap lembut. “Saya ingin menjadi istri yang baik, menantu yang baik, dan seorang wanita yang bisa masuk surga seperti yang Ibu katakan. Tapi…”

Dia menghela napas, lalu tersenyum. Kali ini, senyum yang benar-benar mengandung kesedihan.

“Hati saya tidak bisa dibohongi, Bu. Saya bukan wanita suci yang bisa menerima semuanya dengan mudah. Saya hanya manusia biasa yang merasa sakit saat dikhianati.”

Aku merasa dadaku mencelos mendengar kata 'dikhianati'.

"Aisyah..." panggilku pelan.

Dia menoleh ke arahku, menatapku dengan mata yang begitu kosong.

"Maaf, aku tidak bisa memberikan ridho yang Ibu harapkan," lanjutnya. "Aku mungkin bisa tetap tinggal di rumah ini, tetap menjalankan tugasku sebagai istri dan ibu. Tapi jangan pernah berharap aku akan tersenyum dan berpura-pura bahagia atas pernikahan ini."

Ibu tampak terkejut dengan jawaban itu. Ayah menggelengkan kepala, jelas-jelas kecewa.

Sementara aku…

Aku mulai sadar bahwa keputusan yang kupikir hanya akan membawa kebahagiaan untukku, ternyata justru perlahan menghancurkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku.

Aisyah berdiri dari duduknya dengan tenang, merapikan ujung bajunya sebelum menatap Ibu.

Senyum tipis terukir di wajahnya, bukan senyum bahagia, tapi senyum yang penuh arti. Ada ketegasan di matanya, sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Ibu,” katanya lembut, tapi ada ketajaman dalam nada suaranya. “Ibu bilang kalau seorang istri ridho suaminya berpoligami, maka ganjarannya adalah surga, benar?”

Ibu mengangguk, meskipun ekspresinya tampak sedikit ragu dengan arah pembicaraan ini.

Aisyah tersenyum lebih lebar. “Kalau begitu, kenapa Ibu tidak memulai duluan?”

Aku bisa melihat bagaimana wajah Ibu menegang seketika. Ayah yang sejak tadi diam juga langsung menoleh, menatap Aisyah dengan kening berkerut.

“Apa maksudmu?” tanya Ibu, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.

Aisyah tetap tersenyum, tapi aku tahu itu bukan senyum yang menyenangkan. “Ibu juga seorang istri, bukan? Kenapa Ibu tidak menyarankan Ayah untuk menikah lagi? Bukankah itu kesempatan bagi Ibu untuk mendapatkan surga lebih dulu?”

Ruangan mendadak sunyi.

Aku bisa melihat rahang Ayah sedikit mengencang, sementara Ibu tampak terkejut dan tidak langsung bisa menjawab.

Aisyah melanjutkan, “Atau… jangan-jangan, menerima poligami itu memang bukan perkara yang mudah? Jangan-jangan, meskipun seseorang sudah berbicara soal ridho dan surga, tetap saja hati tidak bisa dibohongi?”

Aku menelan ludah. Kata-kata Aisyah begitu tajam, menusuk ke tempat yang seharusnya tidak disentuh.

Ibu akhirnya bersuara, meskipun terdengar tidak sekuat tadi. “Itu… berbeda, Aisyah.”

“Berbeda bagaimana?” Aisyah menatapnya lurus. “Karena ini tidak terjadi pada Ibu, jadi lebih mudah bagi Ibu untuk menyuruh orang lain menerimanya?”

Ibu tampak kehilangan kata-kata.

Aisyah menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Terima kasih atas nasihatnya, Bu.”

Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia membalikkan badan dan berjalan meninggalkan ruang tamu.

Aku hanya bisa duduk terpaku, sementara di hadapanku, Ibu tampak terdiam dengan wajah sulit dibaca.

Untuk pertama kalinya, aku merasa keputusan yang kupikir benar… ternyata mulai terasa seperti kesalahan besar.

Ibu menghela napas panjang, tapi aku bisa melihat bagaimana matanya menyala dengan ketidaksenangan. Wajahnya mulai memerah, dan tangannya yang bertumpu di pangkuan mengepal erat.

“Aku tidak menyangka kau bisa berkata seperti itu, Aisyah.” Suara Ibu terdengar sedikit bergetar, bukan karena sedih, tapi karena marah yang ditahan.

Aisyah, yang sudah hampir mencapai pintu, berhenti. Dia menoleh perlahan, masih dengan ekspresi yang tenang.

“Kau bukan istri yang baik,” lanjut Ibu. “Seharusnya kau mendukung suamimu, bukan malah bersikap seperti ini. Aku kira selama ini kau menantu yang baik, tapi ternyata aku salah menilaimu.”

Aku menegang di tempat dudukku.

Aisyah tetap diam, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Aku melihat bagaimana matanya berkedip pelan, seolah sedang menyerap setiap kata yang baru saja diucapkan Ibu.

Lalu, dia tersenyum. Senyum yang entah kenapa membuat dadaku semakin sesak.

“Selama lima belas tahun, saya sudah menjadi istri yang baik,” katanya lembut. “Menjadi menantu yang patuh. Menghormati Ibu dan Ayah. Saya selalu berusaha mengikuti apa yang keluarga ini inginkan.”

Ibu hanya menatapnya tajam, seakan menantikan kelanjutan kata-katanya.

“Tapi ternyata, itu semua tidak cukup.” Aisyah tersenyum pahit. “Karena bagi Ibu, menantu yang baik bukan hanya harus patuh. Dia juga harus rela berbagi suami. Harus bisa menekan perasaannya, harus menerima sakit tanpa boleh mengeluh.”

Aisyah menghela napas pelan, lalu mengangguk kecil. “Kalau begitu, maafkan saya, Bu. Mungkin saya memang bukan istri yang baik.”

Setelah itu, dia benar-benar pergi meninggalkan ruangan.

Hening.

Aku menatap Ibu, yang masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak. Ayah hanya menghela napas berat dan bersedekap, seolah enggan ikut campur dalam pertengkaran ini.

Sementara aku…

Aku semakin sadar bahwa aku telah kehilangan sesuatu yang berharga, dan yang lebih buruknya lagi—aku mungkin tidak akan bisa mendapatkannya kembali.

...****************...

Pagi itu, saat aku turun ke ruang makan, pemandangan yang biasa menyambutku terasa berbeda.

Aisyah dan anak-anak sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan mereka seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang aneh—tidak ada aroma nasi goreng yang biasa tercium setiap pagi. Mataku langsung tertuju ke meja makan, memastikan apakah aku hanya tidak melihatnya.

Ternyata tidak ada.

Aku duduk di kursiku, mencoba berpikir positif. Mungkin Aisyah lupa, atau mungkin dia memasaknya sedikit terlambat hari ini. Aku menoleh ke arahnya yang sedang menyuapi anak bungsu kami.

“Aisyah,” panggilku pelan. “Nasi gorengnya mana?”

Aisyah tidak langsung menjawab. Dia hanya melanjutkan kegiatannya dengan tenang, seolah tidak mendengar pertanyaanku.

1
Ambo Nai
silaras pelakor sok bijak.pelakor murahan.
Arin
/Heart/
Arin
Sokor.....
Arin
Sudah nikmati saja pilihanmu sekarang Reza..... Apalagi didukung kedua orang tua mu. Manjakan istri barumu kan dirimu punya duit. Menikah kedua saja orang tuamu sudah membedakan dengan pernikahan pertamamu. Tapi nanti jangan menyesal jika istri keduamu tidak seperti yang kamu inginkan
Arin
Biar-biar dia menyesal Raka. Reza kan cuma nurut sama kedua orang tua nya. Tanpa memikirkan perasaan istrinya....... sakit
Arin
Makanya jangan sekali2 mengusik seorang istri dengan izin untuk poligami. Kalau aku di kayak gituin sih terus terang bilang..... Silahkan jika ingin menikah lagi aku izinkan, tapi syaratnya ceraikan aku.

Dikira gak sakit apa istri pertama harus menerima suami menikahi orang lain???
Sri Rahayu
Luar biasa
martina melati
terima kasih thor atas karyamu ini. tetap semangat berkarya y.

mohon berkenan jika komentar saya terlalu tajam /Pray/
martina melati
menyesal kemudian tiada guna
martina melati
gk usah menghargai orang, sama menantu aplg cucu perempuan aja gk sayang... mauny sm cucu laki2 aja
martina melati
astagaaa... nih yg perlu diobati ibuny reza, terlalu obsesi cucu laki2
martina melati
turut prihatin y...
martina melati
maksudny? syndrom 1000wajah?
martina melati
br komen nih... pdhl drpd nikah cari istri br jaman skrg canggih bisa program bayi dg jenis kelamin.
martina melati
astagaaaaa
martina melati
bgm jika lahiran nti bayi perempuan y
martina melati
kasihan nti jabang bayiny lahiran bisa ngileran krn bumil ngidam gk ksampean
martina melati
jd suami bukanny mengerti malah mengintimidasi
martina melati
bahaya nih... bisa mengganggu perkembangan janin jika bumil stress ato depresi
martina melati
bukan lupa lagi... tp benar2 sdh lupa, malah pergi keluar dari rumah ktimbang berjumpa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!