NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Dicintai Manager yang dingin secara tiba-tiba padahal tidak mau buka hati buat siapa pun? Lalu dihantui oleh teror masa lalu sang kakak, bagaimana perasaan Ayuni selama bekerja di tempat barunya? Terlebih ternyata Manager yang perhatian dengan Ayuni memiliki rahasia besar yang membuat Ayuni hancur saat gadis itu telah memberikan hatinya. Bahkan beberapa teror dan hal tidak terduga dari masa lalu yang tidak diketahui terus berdatangan untuk Ayuni.

Kira-kira bagaimana Ayuni akan menghadapi semua itu? Dan masa lalu apa yang membuat Ayuni di teror di tempat kerjanya? Apa ada hubungannya dengan sang kakak?

Ikuti ceritanya untuk temukan jawabannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27. KEBENARAN

..."Katakan kalau yang kudengar ini salah...

...Katakan kalau yang kulihat ini tidak nyata...

...Jika cinta memang bukanlah lelucon...

...Lalu kenapa aku menangis sekarang...

...Saat aku tahu kalau dirimu tidak nyata...

...Kalau cintamu hanyalah sandiwara belaka."...

Aku sudah muak mendengar banyak rumor di sekitarku. Aku muak dengan teror yang tidak aku mengerti tujuannya. Aku butuh pembenaran, sebuah penjelasan yang akan membuatku dapat tidur nyenyak setiap malamnya. Aku lelah seolah berada di ruang hampa yang gelap, tidak tahu mau kemana, tidak tahu harus apa, dan buta akan segala hal.

Di dalam taksi menuju ke rumah Mbak Hana, aku meneleponnya—bertanya apakah ia ada di rumah atau tidak. Beberapa kali ia tidak mengangkat telepon, membuatku mengumpat dalam hati karena kesal. Hingga akhirnya suara sopran wanita terdengar saat panggilan berlangsung. Mbak Hana mengatakan dirinya ada di rumah, dan ia terdengar senang saat tahu kalau aku akan datang ke tempatnya.

Tak membutuhkan waktu lama menuju ke kediaman Mbak Hana, jaraknya cukup dekat dengan rumahku seperti yang ia katakan tempo hari.

Bergegas aku memasuki halaman rumah bercat kelabu itu, mengetuk pintu kayu berukir dengan tergesa-gesa.

Dan di sanalah Mbak Hana, membukakan pintu dengan raut senang saat melihatku datang. Namun, ekspresi senang itu tidak bertahan lama. Wajahnya langsung khawatir ketika melihat bagaimana air muka yang terpasang pada parasku. Ia menyuruhku masuk, dan mengatakan padanya ada apa. Ia sudah menjagaku cukup lama saat kakakku harus sibuk dengan pekerjaannya, jadi aku tidak meragukan empatinya terhadapku.

Begitu aku duduk berdampingan dengan Mbak Hana di sofa ruang tengah.

"Mbak, Ayuni boleh tanya sesuatu?" pintaku sopan.

"Tentu, kamu mau tanya apa? Kenapa kamu kayak orang ketakutan begitu? Apa terjadi sesuatu?" tanya Mbak Hana dengan air muka khawatir nan tulus.

Aku mengeluarkan foto yang diberikan Pak Raven padaku lalu menunjukannya pada Mbak Hanya.

"Mbak tahu apa yang terjadi di foto ini? Apa ini beneran? Dan Kak Siapa yang luka parah di samping Kak Indra ini," tanyaku dengan suara gemetar, hal memusingkan selama berminggu-minggu akhirnya kukeluarkan juga walau kepada orang yang tidak pernah kuduga, Mbak Hana.

Untuk sesaat ia terkejut—sangat terkejut—ketika mendapati aku memiliki foto-foto yang sepertinya tidak ingin aku ketahui. Wajahnya nampak cemas, ia bimbang apakah harus mengatakan yang ada di pikirannya atau tidak. Ia menatapku dengan pandangan sendu, pandangan yang mengisaratkan kalau aku harus bersiap dengan apa yang kudengar. Dan saat ia memandangku seperti itu, rasanya aku berharap kalau aku tidak pernah berlari ke rumahnya untuk mencari tahu. Rasa takut sudah menggelayuti bahkan sebelum Mbak Hana membuka mulutnya, takut kalau yang ingin kudengar tidak sesuai dengan kenyataan.

Pelan-pelan Mbak Hana menceritakan padaku siapa dan ada apa dengan semua foto-foto itu. Tenggorokanku seperti ada yang menggumpal, dadaku sesak saat mendengar kenyataan yang entah bagaimana disembunyikan dariku. Kenyataan bahwa ...

Kakakku membunuh Jodi, kakak kandung Bos Juna.

Aku mengerti sekarang. Aku paham dengan jelas apa yang terjadi, walau tidak sepenuhnya.

"Jujur Mbak nggak tahu sepenuhnya yang terjadi. Saat itu Indra menelepon Mbak dan bilang kalau Jodi meninggal di tangan Indra karena kesalahan dia. Indra nggak cerita semuanya. Cuman bilang kalau dia dipenjara dan minta Mbak buat jaga kamu saat SMA waktu itu. Dan sebenarnya Mbak juga nggak tahu dengan jelas soal pekerjaan kakakmu dan dimana dia kerja, karena yang paling dekat dengan Indra itu Jodi. Indra bilang kalau dirinya membunuh Jodi tapi Mbak sendiri nggak yakin akan hal itu," jelas Mbak Hana dengan air muka suram. Mengingat Kak Indra dan pria bernama Jodi ini adalah sahabat baik Mbak Hana sejak mereka sekolah.

Aku terdiam mencoba mencerna informasi baru yang tidak pernah kuduga akan kudengar. Jadi foto itu memang asli.

"Mbak mau tanya, kamu dapet foto itu darimana?" tanya Mbak Hana cemas.

"Nggak sengaja ketemu pas lagi beresin rumah belum lama kemarin," dustaku, tak ingin Mbak Hana tahu apa yang terjadi padaku selama aku pindah ke kota ini. Tak ingin melibatkan Beliau di saat Mbak Hana telah memiliki keluarga yang damai. Tentu aku tidak ingin merusak kebahagiaannya dengan masalahku.

"Mungkin ada baiknya kamu tanya langsung ke Indra biar lebih jelas," saran Mbak Hana.

Aku hanya mengangguk.

Dengan pikiran setengah melayang entah kemana, aku pamit pada Mbak Hana. Tidak peduli ketika berkali-kali Mbak Hana memintaku untuk tetap tinggal sebentar dan menenangkan diri. Aku hanya ingin meninggalkan rumahnya. Aku hanya ingin merasakan udara di luar agar aku dapat sadar dari segala hal ini. Terkadang mendengar kebohongan lebih baik dibandingkan mendengar kenyataan yang tidak sanggup didengar. Seperti saat ini contohnya.

Semua ini terlalu berat untuk kuterima. Aku tidak tahu bagaimana aku akan bertemu dengan kakakku nanti, memikirkan akan bertatap pandang dengannya saja sudah membuatku ingin menangis. Rasanya tidak mungkin. Tidak mungkin kakakku yang baik dan begitu menyayangiku itu membunuh seseorang terutama teman dekatnya. Ia hanyalah pria menyebalkan yang sibuk mengurusi adik perempuannya. Walau terkadang sikap dan pikirannya sedikit gila yang sering membuatku kesal, tidak mungkin kalau ia melakukan hal sehina itu.

Dadaku seperti terhantam puluhan kilo batu ketika aku melihat sosok yang menungguku di luar pagar rumah Mbak Hana. Sosok yang tidak ingin kulihat kehadirannya saat ini. Sosok yang tidak seharusnya kutemui dalam hidupku.

Kutabahkan diriku dan berjalan mendekati sosok yang terus menatapiku sejak aku keluar dari rumah. Wajahnya datar, cuek, dan terlalu dingin untuk bisa kuajak bercanda. Ia benar-benar seperti orang asing, dan aku tidak mengenal sosok yang kini ada di hadapanku.

"Kayak mana Mas bisa tahu aku ada di sini?" tanyaku padanya.

"GPS kamu. Dan jangan tanya kenapa bisa, karena saya nggak mau jawab," katanya yang terdengar sinting untukku.

"GPS?" Sejak kapan dia menguntitku seperti itu?

“Kurasa kamu sudah mengetahui semuanya,” tuduhnya tanpa mengubah ekspresi. Dingin dan seolah kehilangan emosi.

Aku memandangnya penuh ketidakpercayaan. Mata hitam legam itu begitu dingin saat menatapku dari balik kacamatanya, membuatku tidak bisa menebak apa yang saat ini ia pikirkan.

“Benarkah? Apa benar kalau Mas sudah tahu saya sejak pertama kali kita bertemu?” suara lirih, terdengar memelas berharap kalau jawabannya adalah tidak.

Namun ia menggangguk, pertanda kalau dugaanku benar. “Jadi benar kalau pertemuan kita bukan kebetulan? Kalau Mas memanfaatkanku?”

Ia kembali mengangguk, pandangan matanya lurus tak sedikit pun berniat untuk berpaling. “Mungkin, itu benar.”

Sesuatu seperti mencekik leherku saat mendengar pengakuannya langsung. Bertanya-tanya kenapa ia bisa berbuat demikian, menjatuhkanku dalam perangkap akan masalah yang aku tidak tahu.

“Kamu orang yang polos dan berpikiran cenderung sederhana. Keinginan kamu juga nggak muluk-muluk dan mudah ditebak. Tempat kerja, teman-teman dekat, pola pikir, aku sudah tahu bahkan sebelum kita bertemu,” jawabnya santai, seakan yang dikatakannya barusan bukan masalah besar.

“Pekerjaanku di Queen? Itu juga ulah Mas? Jangan bilang kami bertiga bisa masuk ke Queen karena Mas Juna yang buat kami diterima di sana?” Mataku sudah basah, walau secuil aku berharap kalau ia tidak melakukannya.

“Benar, semua yang kamu pikirkan benar. Semua ulah saya, kedatangan kamu di Queen, pekerjaan kamu, kedekatan kita, semuanya sudah kurencanakan,” paparnya.

“Apanya yang benar?! Mas bilang semuanya benar, kayak mana Mas bisa tahu apa yang saya pikirkan?!” seruku kalut, aku tidak bisa menahannya lagi. “Bahkan Mas menyuruh orang untuk menguntit saya, nyulik saya?! Apa itu yang Mas sebut benar?!”

Kali ini ekspresinya sedikit berubah, ada keterkejutan dan juga raut sedih yang terpancar. Mungkin ia terlalu takut kalau aku akan berteriak-teriak layaknya orang gila dan menarik perhatian orang.

Tubuhku limbung. Kepalaku rasanya pening, ini pertama kalinya dalam hidupku mengeluarkan segala amarah dan berteriak seperti orang tidak waras, aku kehilangan siapa diriku.

Kakiku gemetar, tidak sanggup menahan tubuhku saat ini. Aku terduduk, merasakan paping jalanan yang hangat akibat sengatan matahari sore. Rasanya seluruh nyawa keluar dari ragaku. Aku tidak menyangka kebaikan dan kelembutan yang ia berikan hanyalah sandiwara. Andre benar, aku dipermainkan.

Bos Juna memanfaatkanku sebagai ajang balas dendamnya kepada kakakku atas kematian kakakknya. Ia telah mengikutiku sejak aku kuliah, ia menguntitku hingga aku masuk dalam rencananya hingga melamar pekerjaan yang sepertinya ditujukan atas permainannya.

Tubuhku kebas, air mata tidak lagi keluar, seolah lelah akan masalah berat ini hingga menangis pun tidak lagi sanggup. Entah sudah berapa lama aku terduduk di pinggir jalan depan perumahan Mbak Hana tinggal ini, diam tak lagi bisa memikirkan apa pun.

Pelan-pelan aku bangkit berdiri, kemudian berjalan menuju arah jalan raya. Kurasa aku bisa menemukan taksi di sana. Masa bodo dengan Bos Juna yang sejak tadi masih diam, menungguiku entah karena apa.

Sepasang tangan besar memegangi pundakku ketika aku nyaris terjerembab menghantam trotoar. Kutepis tangannya, tidak ingin mendapatkan perhatian palsu darinya lebih dari ini. Sudah cukup ia memerlakukanku bagai orang idiot selama ini.

Dengan perasaan kebas, aku menghentikan jalanku. Berbalik dan berjalan beberapa langkah ke hadapan Bos Juna, dan menamparnya dengan keras. Kuharap dengan ini ia mengerti kalau yang ia lakukan benar-benar membuatku gila.

Bergegas aku pergi, membiarkan kakiku yang lemas berjalan menjauh, tak peduli jika berkali-kali aku harus terjatuh. Aku tidak tahu kesalahan apa yang telah aku lakukan hingga aku mendapatkan hukuman seperti ini. Ternyata aku salah, aku bukanlah pemeran utama, aku bahkan bukan pemeran figuran, aku hanya boneka tak berarti dalam drama yang dibuatnya. Menyedihkan.

1
Amelia Putri
cerita x berptur tentang itu2 saja.tidak ada ujung pangkal x.dan permasalahan pun tidak ada jalan keluar x.seakan ceritanya stak di tempat
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!