Mawar Kuning Berdarah
Langit senja di pinggiran kota berwarna kelabu, mencerminkan perasaan Detektif Arka yang duduk diam di kursi penumpang mobil tua milik kantor polisi setempat. Desa Karangjati, tempat pembuangan dirinya, sunyi dan tak bersahabat. Hamparan sawah, pepohonan, serta deretan rumah kayu yang sederhana seolah berbicara, kau tidak diterima di sini.
Bagi Arka, desa ini adalah kuburan karirnya sebagai seorang detektif. Skandal kegagalan penyelamatan seorang sandera di kota besar telah menodai reputasinya. Daripada dipecat, para petinggi memutuskan untuk memindahkannya ke tempat terpencil, jauh dari sorotan publik.
"Selamat datang di Karangjati, Pak Arka," ujar Bayu, polisi muda yang menyetir.
Arka hanya mengangguk dingin, tak berniat membalas basa-basi. Mobil berhenti di depan kantor polisi kecil. Komandan Rahmat, kepala polisi setempat, menyambutnya dengan ramah, meski wajahnya lelah.
"Arka, aku tahu ini bukan yang kau harapkan. Tapi percayalah, desa ini butuh orang sepertimu," ujar Rahmat sambil menepuk bahunya.
"Terima kasih, Pak," jawab Arka singkat. Namun dalam hati, ia mengutuk nasibnya.
---
Pagi berikutnya, ketenangan desa pecah. Seorang warga melaporkan penemuan mayat di tepi hutan. Dengan enggan, Arka pergi bersama Bayu ke lokasi.
Mayat seorang pria tergeletak di tanah lembab, lehernya digorok dengan presisi. Darah telah mengering, tetapi yang menarik perhatian adalah bunga mawar kuning yang diletakkan rapi di dada korban.
Arka jongkok, memeriksa luka itu. "Potongannya bersih, pelaku tahu apa yang dia lakukan," gumamnya.
"Siapa yang menemukannya?" tanya Arka kepada Bayu.
"Pak Giman, petani mawar. Dia sering mencari kayu bakar di hutan," jawab Bayu.
"Kita perlu bicara dengannya," kata Arka sambil bangkit berdiri.
Suara langkah kaki mendekat dari belakang. "Arka, ini Dokter Kirana, dokter forensik kita," ujar Komandan Rahmat.
Arka menoleh, dan waktu seolah berhenti.
Wanita itu memiliki aura memikat. Rambut hitam panjang yang terkuncir rapi, mata tajam penuh kehangatan, dan gerak-geriknya memancarkan profesionalisme.
"Selamat pagi, Pak Arka," sapanya lembut, tersenyum tipis.
Arka, yang jarang kehilangan kendali, tiba-tiba merasa canggung. "Pagi juga," balasnya dengan suara yang tak biasa.
Kirana mengenakan sarung tangan lateks dan mulai memeriksa mayat itu. "Lukanya sangat presisi. Pelaku kemungkinan memiliki pengetahuan medis atau pengalaman menggunakan alat bedah," katanya sambil menunjukkan luka di leher korban.
"Jadi, pelaku mungkin seorang dokter?" tanya Arka.
"Atau seseorang yang punya akses ke pengetahuan itu," jawab Kirana. "Namun, kita tidak bisa menyimpulkan terlalu cepat."
Beberapa jam kemudian, Kirana menyerahkan laporan awal autopsinya kepada Arka di kamar mayat kecil desa itu. "Korban meninggal sekitar delapan jam sebelum ditemukan, kemungkinan tengah malam. Dan lihat ini," katanya sambil menunjuk luka di dada korban. "Tidak ada tanda perlawanan. Mungkin korban mengenal pelakunya."
Arka mengangguk, pikirannya sibuk. Jika korban tidak melawan, pelaku pasti seseorang yang dikenalnya atau mampu menenangkan korban sebelum menyerang.
"Bagaimana dengan mawar kuning itu?" tanyanya.
Kirana menggeleng. "Hanya bunga biasa. Tapi menarik jika ini menjadi ciri khas pembunuhnya."
Sore menjelang, Arka berdiri di luar kamar mayat, memandangi langit kelabu. Desa ini tampak tenang, namun ia tahu ada kegelapan yang mengintai. Dalam pikirannya, wajah Kirana terus muncul.
"Dia menarik, bukan?" suara Bayu tiba-tiba memecah lamunannya.
"Apa?" Arka menoleh, berusaha tidak terlihat terkejut.
"Dokter Kirana. Kalau dia menyapamu tadi, itu sinyal hijau," goda Bayu sambil tersenyum.
Arka hanya menghela napas panjang. Ia tahu, terlibat secara emosional bukanlah ide bagus. Tapi ada sesuatu dalam diri Kirana yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
---
Keesokan paginya, Arka dan Bayu pergi ke rumah Pak Giman, si penemu mayat. Rumah itu sederhana, dikelilingi kebun mawar yang harum semerbak.
"Pak Giman, kami dari kepolisian ingin menanyakan tentang mayat yang Anda temukan kemarin," ujar Arka.
Giman, pria tua dengan tubuh ringkih, mempersilakan mereka masuk. "Saya sering ke hutan mencari kayu bakar. Kemarin, saya melihat sesuatu di tanah. Awalnya saya pikir itu binatang mati, tapi ternyata manusia," jelasnya.
"Apa Anda melihat seseorang di sekitar lokasi?" tanya Arka.
"Tidak, Pak. Hutan itu sepi," jawab Giman. Namun, wajahnya tampak ragu.
Arka memperhatikan gelagat Giman. "Ada yang ingin Anda sampaikan?"
Giman menghela napas berat. "Malam sebelumnya, saya melihat cahaya dari arah hutan. Seperti senter. Tapi saya takut mendekat."
"Cahaya?" Arka mengulang dengan nada penasaran.
"Ya, seperti seseorang sedang berjalan di sana," kata Giman.
Arka mencatat informasi itu. Setelah pamit, ia dan Bayu kembali ke mobil.
"Cahaya di hutan. Menarik," gumam Arka.
"Kurasa itu bukan kebetulan," komentar Bayu.
Arka hanya diam, pikirannya mulai menyusun potongan teka-teki.
Di kantor polisi, Komandan Rahmat mendekati Arka dengan raut wajah serius. "Arka, ini mungkin lebih besar dari yang kita kira. Beberapa tahun lalu, ada kasus serupa di desa tetangga. Mayat ditemukan dengan bunga mawar kuning, tapi kasus itu tidak pernah terpecahkan."
Arka mendengarkan dengan seksama. "Apa ada informasi lain tentang kasus itu?"
Rahmat menggeleng. "Sayangnya, arsipnya hilang. Tapi jika ini pelaku yang sama, dia kembali setelah bertahun-tahun."
---
Malam itu, Arka duduk di mejanya, memandangi laporan autopsi. Potongan luka, bunga mawar, cahaya di hutan, semua ini membentuk pola yang samar. Namun, saat ia mencoba memfokuskan pikirannya, ketukan di pintu membuatnya tersentak.
"Masuk," katanya.
Kirana muncul, membawa setumpuk berkas. "Ini hasil tes tambahan dari korban," ujarnya.
Arka menatapnya. Dalam cahaya lampu kantor, Kirana tampak lebih menawan dari biasanya. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya ke berkas.
"Ada sesuatu yang menarik?" tanyanya.
"Kadar alkohol dalam darah korban sangat rendah. Dia kemungkinan dibius sebelum dibunuh," kata Kirana.
"Dibius? Jadi dia tidak sadar saat dibunuh?" tanya Arka.
"Benar. Itu juga menjelaskan kenapa tidak ada tanda perlawanan," jawab Kirana.
Saat mereka berbincang, telepon di meja Arka berdering. Ia mengangkatnya.
"Arka, ada laporan warga tentang suara aneh dari arah hutan," ujar suara di seberang.
Arka menatap Kirana. "Kita harus ke sana."
Malam itu, Arka, Bayu, dan Kirana menuju hutan dengan senter di tangan. Suara burung hantu dan gemerisik dedaunan menciptakan suasana mencekam.
Tiba-tiba, mereka menemukan sesuatu, bekas api unggun yang masih hangat.
"Pelaku mungkin baru saja pergi," bisik Arka.
Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, suara langkah kaki terdengar dari kegelapan.
"Siapa di sana?" teriak Arka, menyorotkan senter ke arah suara.
Dari bayangan pohon, sosok tinggi muncul, membawa sesuatu di tangannya.
"Berhenti, atau saya tembak!" ancam Arka.
Sosok itu berhenti, lalu perlahan melangkah ke depan, memperlihatkan wajahnya.
Kirana menahan napas. Arka mempersempit matanya, mencoba mengenali siapa dia.
Namun, sebelum ada yang bisa bergerak, sosok itu menjatuhkan benda yang dibawanya, seikat mawar kuning.
To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments