Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusasaan
Sienna melangkah tertatih-tatih di jalan setapak yang gelap dan sepi. Udara malam menusuk kulitnya, tapi dia tidak peduli. Langkahnya terseok-seok, tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena ketakutan yang masih mengendap dalam benaknya. Suara Bayangan Hitam masih terus berputar di kepalanya, seperti gema yang tidak mau berhenti.
Tangannya yang bergetar meraih ponselnya. Layar retak itu menyala samar di tangannya. Jari-jarinya berusaha keras menekan nomor yang dia hapal di luar kepala. Nomor Naya. Suara gemetar Sienna mulai terisi rasa panik saat nada sambung terdengar.
"Detektif Naya... angkat, tolong, angkat," bisiknya dengan suara serak.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, panggilan itu terhubung.
"Sienna? Ada apa?" suara Naya terdengar tegas di ujung sana, namun ada nada khawatir yang samar.
Sienna menghela napas pendek, suaranya terdengar terputus-putus.
"Detektif... Naya... saya... saya butuh bantuan. Saya... saya bertemu dengannya. Bayangan Hitam," katanya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Di seberang sana, Naya langsung terdiam. Jantungnya seolah berhenti sejenak sebelum kemudian berpacu dengan cepat.
"Apa maksudmu? Kau bertemu Bayangan Hitam? Di mana kau sekarang?" tanyanya cepat.
"Saya tidak tahu..." Sienna tersedak, air matanya mulai mengalir tanpa henti.
"Saya berlari... saya berhasil kabur... dia hampir... dia hampir membunuh saya...” Suaranya pecah di antara isakan.
Naya berdiri dari kursinya, tubuhnya tegang. Perasaan tidak enak langsung menyelimuti dirinya. Dia tahu Sienna sedang dalam bahaya besar.
"Dengar aku, Sienna. Tenang. Beri tahu aku apa yang kau lihat di sekitarmu. Aku akan menemukamu."
Sienna mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
"Ada... ada gudang tua... jalan sempit... dan... saya tidak tahu... mungkin dekat pelabuhan... saya—” kalimatnya terhenti oleh suara isak yang semakin menjadi.
"Sial! Sienna! Sienna!" teriak Naya melalui telepon itu.
Naya langsung memberikan isyarat kepada rekan detektifnya, Evan, yang sedang duduk di meja sebelah.
"Evan! Lacak lokasi panggilan ini. Cepat!" ujarnya sambil menggenggam ponselnya lebih erat.
"Jangan putuskan teleponnya, saya akan melacak keberadaannya," kata Evan, segera mengetik sesuatu di laptopnya.
"Detektif Naya..." suara Sienna kembali terdengar, kali ini lebih lemah.
"Saya... Saya takut..."
Naya menahan napas, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak.
"Aku akan datang, Sienna. Tetap bertahan. Jangan tutup teleponnya. Aku butuh kau tetap sadar," katanya, suaranya penuh ketegasan.
Namun, sebelum Sienna bisa menjawab, telepon itu tiba-tiba terputus. Naya menatap layar ponselnya dengan cemas, lalu beralih pada Evan.
"Kau mendapatkannya!?" teriak Naya panik.
Evan mengangguk cepat. "Saya menemukannya. Lokasinya sekitar dua kilometer dari sini, dekat pelabuhan tua. Tapi kita harus bergerak cepat."
Naya dan Evan langsung melompat ke mobil mereka, meluncur ke lokasi yang telah dilacak Evan. Perasaan gelisah terus menghantui Naya sepanjang perjalanan. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan wajah Sienna yang penuh ketakutan.
"Sienna, tunggu aku. Aku tahu, kamu tidak akan mudah menyerah," gumam Naya, lebih kepada dirinya sendiri.
"Jika dia sampai meneleponku dengan suara seperti itu... sesuatu yang mengerikan pasti terjadi."
"Tapi, dia siapa, senior?" tanya Evan melirik pada Naya.
"Junior Jonas. Beberapa hari yang lalu dia menemuiku, sekedar bertukar informasi, dan bercerita tentang Jonas. Tapi... tapi, aku tidak menyangka akan terjadi seperti ini," ujar Naya menutup wajahnya dengan tangannya merasa penuh penyesalan.
Evan meliriknya sekilas, lalu berkata, "Kita akan menemukannya, senior. Tapi anda harus tenang. Dia butuh kita untuk tetap fokus."
Naya mengangguk, mencoba menenangkan dirinya, meski dalam hatinya, rasa khawatir terus menggerogoti.
Ketika mereka sampai di lokasi, suasana di sekitar pelabuhan tua itu terasa sunyi dan mencekam. Lampu jalan hanya menyala sebagian, menambah kesan angker pada tempat itu. Mereka mulai menyisir area tersebut, memeriksa setiap sudut dengan senter di tangan.
"Senior! Di sini!" seru Evan tiba-tiba.
Naya segera berlari menuju suara Evan. Dia menemukan Sienna tergeletak di tanah, tubuhnya kotor dan penuh luka. Napas Sienna terdengar lemah, dan matanya tertutup rapat.
"Sienna!" Naya berlutut di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin.
"Sienna, ini aku, Naya. Kau aman sekarang."
Sienna tidak merespons, hanya erangan kecil yang keluar dari bibirnya. Naya melihat wajahnya yang pucat dan lecet-lecet di tangannya.
"Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang," kata Evan dengan nada mendesak.
Naya mengangguk cepat. Bersama Evan, dia mengangkat tubuh Sienna ke dalam mobil, memastikan dia dalam posisi yang aman.
Di ruang gawat darurat, Naya mondar-mandir di depan ruangan tempat Sienna dirawat. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang tidak bisa dia sembunyikan. Tangannya terus mengepal, kukunya hampir menembus kulit.
Evan duduk di kursi tunggu, memperhatikan Naya yang tidak bisa diam. "Dia akan baik-baik saja, senior," katanya, mencoba menenangkan.
Naya berhenti sejenak, lalu menatap Evan dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Semua ini salahku. Aku seharusnya menghentikan Sienna dari awal. Mengentikannya yang terus menggali kasus ini, dan lihat sekarang, aku tidak bisa melindunginya."
"Anda tidak bisa menyalahkan diri anda sendiri," balas Evan.
"Dia pasti tahu risiko yang dia ambil. Kita hanya bisa memastikan dia selamat sekarang."
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari ruangan. Naya langsung menghampirinya, wajahnya penuh harap.
"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanyanya cepat.
Dokter mengangguk pelan. "Dia mengalami kelelahan parah dan beberapa luka ringan. Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah trauma psikologisnya. Dia perlu istirahat total dan pengawasan ketat."
Naya menghela napas lega, meski rasa khawatir masih menghantuinya. "Terima kasih, Dok."
Beberapa jam kemudian, Sienna akhirnya membuka matanya. Cahaya di kamar rumah sakit terasa terlalu terang, membuatnya memicingkan mata. Dia merasakan tubuhnya lemah, namun suara yang familiar membuatnya merasa sedikit tenang.
"Sienna," suara Naya terdengar lembut di sampingnya. Dia duduk di kursi dengan wajah yang penuh perhatian.
Sienna mencoba berbicara, tapi suaranya terdengar serak. "Detektif Naya... saya..."
"Jangan memaksakan diri," kata Naya, menggenggam tangan Sienna dengan lembut.
"Kau aman sekarang," ujarnya menenangkan gadis itu.
Namun, air mata mulai mengalir di pipi Sienna. "Saya hampir mati, detektif Naya. Dia... dia hampir membunuh saya. Saya tidak tahu harus bagaimana...” Suaranya pecah, menggambarkan rasa takut yang masih menghantuinya.
Naya menggenggam tangannya lebih erat, mencoba menenangkan. "Kau tidak sendirian, Sienna. Aku di sini. Kita akan melewati ini bersama. Tapi aku butuh kau untuk kuat."
Evan masuk ke kamar dengan wajah lega. "Akhirnya kau sadar. Kau membuat senior Naya sangat khawatir."
Sienna menatap mereka berdua dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Bayangan Hitam... dia tahu aku. Dia tahu terlalu banyak."
Naya menatap Evan dengan serius, lalu kembali memandang Sienna. "Kau tidak perlu khawatir soal dia sekarang. Yang penting adalah kesehatanmu. Kami akan menangani sisanya."
Namun, Sienna menggoyangkan kepalanya lemah. "Dia bilang aku sudah tahu terlalu banyak. Dan dia tidak akan berhenti sampai aku dihentikan. Saya... saya takut, detektif Naya."
Naya merasa hatinya sakit melihat Sienna yang biasanya kuat menjadi begitu rapuh.
"Kamu memiliki kami," katanya dengan suara penuh keyakinan.
"Kita akan menghadapi ini bersama, Sienna. Bayangan Hitam mungkin mengira dia tidak terkalahkan, tapi aku berjanji, dia akan mendapatkan balasannya."
Malam itu, ketika Sienna tertidur kembali, Naya berdiri di samping ranjangnya, menatap wajah sahabatnya yang penuh luka. Di dalam hatinya, Naya bersumpah bahwa dia tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Sienna lagi. Bayangan Hitam telah melangkah terlalu jauh, dan kali ini, Naya tidak akan membiarkan dirinya kalah.
Evan berdiri di pintu, mengawasi Naya. "Apa yang rencana anda selanjutnya, senior?" tanyanya pelan.
Naya menatap Evan dengan mata yang penuh tekad. "Kita akan memburu Bayangan Hitam. Kita akan membawanya ke pengadilan, hidup atau mati."
Evan mengangguk, tahu bahwa pertempuran yang mereka hadapi akan sulit. Tapi melihat tekad di mata Naya, dia tahu mereka akan memberikan segalanya untuk melawan.
Kini, semuanya bukan lagi tentang kasus atau penyelidikan. Ini adalah perang untuk kebenaran, dan mereka tidak akan berhenti sampai menang.
...To be continue ...