Wanita tegar dan nampak kuat itu ternyata memiliki luka dan beban yang luar biasa, kehidupan nya yang indah dan bahagia tak lagi ada setelah ia kehilangan Ayah nya akibat kecelakaan 10 tahun lalu dan Ibunya yang mengidap Demensia sekitar 7 tahun lalu. Luci dipaksa harus bertahan hidup seorang diri dari kejinya kehidupan hingga pada suatu hari ia bertemu seorang pria yang usianya hampir seusia Ayahnya. maka kehidupan Luci yang baru segera dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahayu Dewi Astuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memutuskan Hubungan
Sebuah paper bag berwarna coklat sudah berada didepan pintu kamar mandi, Sabrina yang baru selesai mandi dan akan keluar sontak kaget dengan adanya tas itu dihadapannya, ia kemudia melihat isi didalamnya dan ternyata ada satu set pakain dalam serta sebuah dress berwarna coklat.
"Mengapa ia tidak memberikan langsung kepadaku?" Ujar Sabrina sembari tersipu malu saat mengambil pakaian itu.
Simon hari ini tidak akan datang kekantor, karena tugasnya mengantarkan uang kepada Sabrina, padahal wanita itu kini sedang bersamanya.
Simon sedang memanaskan mobilnya, ia seketika melihat rumah ini lekat. Rumah yang awalnya mati kini terasa jauh lebih hidup hanya karena bertambah satu orang penghuni.
"Simon..." Sabrina memanggil pria itu sembari menunjukan dress yang pria itu berikan.
"Rupanya itu sangat cocok untukmu." Simon tersenyum kearah sabrina.
"Namun tetap saja aku merasa tidak terlalu nyaman." Ujar Sabrina yang membuat Simon bingung.
"Apa? aku rasa pakaian itu sangat pas dikenakan olehmu."
"Pakaian dalamnya, kau membelikan bra dua size lebih kecil dari yang biasa aku pakai."
Wajah Simon sedikit merah, bahkan pikiran nakalnya kembali muncul namun ia tak ada waktu jika harus melakukannya dipagi hari. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dan melaporkan semuanya pada William.
"Baiklah, nanti akan aku belikan sesuai size yang biasa kau gunakan." Simon agak sedikit malu.
Sabrina hanya tersenyum melihat pria yang tenang itu padahal jika digali lebih dalam ia sangat agresif.
"Ayo, kita pergi." Sabrina mengajak Simon untuk pergi menuju rumah orang tuanya.
Dijalan Sabrina tak banyak bicara, perjalanan selama dua jam ini sangat membosankan bagi Simon.
"Mengapa kau terdiam? apa ada hal yang mengganggumu." tanya Simon.
"Aku hanya sedang berpikir, setelah ini aku akan benar-benar sebatang kara." Sabrina menolehkan kepalanya menatap Simon.
"Bukankah lebih baik kau menjadi sebatang kara dan sembuh, dibandingkan berkeluarga namun kau sakit." Ujar Simon.
Sabrina menghela napas panjang, "Entahlah, mungkin sejak dilahirkan aku sudah ditakdirkan untuk sakit dan terluka."
"Jika kau menjadi wanita sebatang kara, maka tinggalah dengan pria sebatang kara ini."
Entah benar atau salah yang baru saja Simon katakan, tetapi ia begitu tertarik pada Sabrina. Wanita yang dipandang Simon tidak membosankan sama sekali. Bahkan dari banyak perempuan yang pernah ia tiduri tak ada kepuasan yang ia dapat seperti saat melakukan dengan Sabrina.
"Sejak pagi kau terus-terusan berbicara omong kosong, Simon." Sabrina menanggapinya sebagai omong kosong saja padahal Simon sedang bersungguh-sungguh.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, kini mereka telah sampai disebuah kawasan rumah susun. Simon memarkirkan mobilnya tepat menghadap gedung dimana orang tua Sabrina tinggal.
"Kau tak akan turun?" Tanya Simon kepada Sabrina.
"Tidak, aku sangat membenci mereka sampai-sampai tak bisa menahan air mata jika melihatnya." Ujar Sabrina.
mendengar hal itu Simon langsung paham, ia segera mengambil koper kecil berisi uang untuk diberikan kepada orang tua Sabrina.
Rusun ini tidak memiliki lift, sehingga kini Simon harus berjalan menaiki anak tangga hingga ke lantai 4, dimana orang tua Sabrina tinggal disana.
Ting...Tong...
Klik
Seorang Wanita berambut merah membuka pintu, ia nampak kebingungan melihat pria bertubuh tinggi dan kekar serta pakaian yang rapi datang ke unit mereka.
"Ada apa?" Tanya Ibu Sabrina pada Simon.
"Apa anda ibu kandung Sabrina?"
"Iya, kau siapa?"
"Izinkan aku masuk, ada hal yang perlu aku sampaikan."
Saat masuk rumah itu cukup berantakan, bahkan terdapat beberapa botol beer dan miras disudut ruangan.
Saat kedua orang tua Sabrina sudah duduk berhadapan dengan Simon, ia segera meletakan koper kecil dan membukanya. Betapa berbinarnya mereka melihat uang yang cukup banyak.
"Me..mengapa kau membawa uang sebanyak ini pada kami? Siapa kau sebenarnya?" Tanya Ayah Sabrina.
"200 juta, ambil uang ini dan jangan pernah mencari keberadaan Sabrina lagi." Ujar Simon.
"Tentu saja, bawa anak sialan itu yang terpenting kami memiliki uang." Ujar sang ibu yang tak sabar ingin menyentuh uang itu.
Namun saat tangan mereka akan menyentuh uangnya tiba-tiba Simon menutup koper itu dengan kencang, sontak hal itu membuat dua orang tua tak berhati itu merasa terkejut.
"YA!!! Kau hampir saja membuat jari kami putus." Ayah Sabrina meneriaki Simon.
"Jika aku sampai tahu kalian menghubungi Sabrina, aku pastikan kalian akan sangat menderita seumur hidup." Simon memberikan penekanan yang membuat mereka justru yang kini takut kepada pria misterius itu.
Sabrina yang sejak tadi menunggu merasa khawatir karena Simon sangat lama keluar dari unit kedua orang tuanya. Ia khawatir jika terjadi sesuatu karena Sang ayah merupakan pemabuk berat dan selalu bersikap kasar pada siapapun kecuali ibunya.
Namun rasa cemas itu seketika mereda saat Sabrina melihat Simon sedang menuruni anak tangga untuk kembali kedalam mobil menghampiri Sabrina.
Simon telah melipat gandakan uang yang diberikan oleh William tanpa sepengetahuan Sabrina hal ini sebagai simbol jika Simon telah membeli Sabrina secara langsung kepada orang tuanya.
Simon masuk kedalam mobil, ia menatap Sabrina yang nampak tegar, karena tak ada koper uang yang Simon bawa kembali yang artinya memang orang tua Sabrina lebih memilih uang dibandingkan anaknya sendiri.
"Aku membenci senyuman itu." Simon seketika menarik tubuh Sabrina mendekat dan melumat bibir Sabrina dengan begitu ganas.
Sabrina tentu saja membalasnya, meskipun air mata tak biasa ia tahan untuk tidak jatuh, ini akan berat bagi Sabrina namun ia percaya segala luka dan kepedihan yang ia rasakan akan berakhir manis apa lagi saat ini ia sedang bersama Simon.
Setelah semua tenang, kini mereka berdua akan pulang kembali kekota. Sabrina sedari tadi masih memeluk tangan Simon, dan pria itu tetap fokus menyetir.
"Aku akan mengantarkanmu pulang, sepertinya kau butuh beristirahat." Ucap Simon.
"Apa kau akan kembali bekerja? tidak bisakah William memberimu libur satu hari?" Tanya Sabrina.
"Tentu saja aku harus bekerja, sepertinya aku tidak bisa libur begitu saja karena aku sudah berjanji akan mengabdi sampai kapanpun pada William." Jawab Simon.
"Menyebalkan sekali, pasti ini akan menjadi hari yang sangat membosankan." Gumam Sabrina.
"Aku akan sebisa mungkin pulang lebih awal, dan mengajakmu makan malam diluar."
"Benarkah? baik jika begitu pastikan jika kau menepati janjimu."
Simon tersenyum, kemudia ia melihat pergelangan tangan Sabrina yang masih memerah, tadi pagi ia lupa tidak mengoleskan salep kepada luka itu.
"Apa pergelangan tanganmu masih sakit?" Tanya Simon yang kini mengelusnya pelan.
"Hmm ya, sedikit agak perih mungkin tidak lama lagi akan cepat sembuh, dan aku bisa pulang." Ujar Sabrina.
Entah mengapa ucapan Sabrina barusan membuat dirinya kesal. "Entah mengapa aku berharap luka itu tak cepat sembuh, agar kau tak cepat meninggalkan rumah. Hmmm apa aku perlu melukaimu lagi malam ini?" Tanya Simon dengan tatapan nakalnya.