Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ironis
Keesokan harinya, tribun Colosseum penuh sesak oleh manusia. Sorak-sorai mereka menggema, wajah-wajah dipenuhi antusiasme yang tak sabar menyaksikan pertumpahan darah. Ada sesuatu yang primitif, bahkan keji, dalam semangat mereka yang haus akan hiburan brutal ini.
Di lorong arena, Leon berdiri dengan santai, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Ia memandang penonton dengan tatapan dingin, bibirnya melengkung dalam senyum tipis. "Pada akhirnya, di zaman mana pun, manusia tetap makhluk yang keji. Mereka bersorak di atas penderitaan orang lain, menemukan kebahagiaan dalam tragedi yang bukan milik mereka," ucapnya datar.
Di sampingnya, Fiona tersenyum tipis. "Aneh sekali mendengarmu bicara seperti itu. Apa kau sedang mencoba jadi filsuf sekarang? Tidak seperti dirimu, yang jelas menikmati setiap detik saat kau membunuh," katanya sambil menggoda.
Leon terkekeh kecil, namun matanya tetap dingin, tanpa emosi. "Aku hanya merasa kasihan pada mereka. Kebahagiaan semu mereka hanya ada karena penderitaan itu bukan milik mereka sendiri. Ironisnya, pada akhirnya mereka semua akan memiliki akhir yang menyedihkan," katanya dengan nada santai, meski setiap katanya penuh ketajaman.
Fiona mengangkat alis, hendak menjawab, namun sebuah suara pria memotong pembicaraan mereka. "Pendapat yang menarik," kata suara itu dari kejauhan.
Leon menoleh, matanya bertemu dengan pria yang pernah ia lihat sebelumnya. "Kau peserta dari Grup 1, bukan?" tanya Leon dengan senyum penuh arti. "Jadi, bagaimana pendapatmu tentang apa yang kukatakan?"
Pria itu mendekat, balas tersenyum. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam. "Menurutku, ironis semacam itulah yang membuat manusia menjadi makhluk yang unik. Mereka ahli dalam menghina orang lain, tapi begitu bodoh dalam melihat diri sendiri. Bukankah itu yang membuat mereka... menarik?"
Leon mengangkat alis, mendengar pria itu melanjutkan dengan nada lantang. "Setiap manusia adalah bukti nyata keberadaan makhluk hidup. Mereka punya pemikiran, tapi setiap pemikiran itu berbeda. Dari situ, pentingnya sebuah kasta menjadi jelas. Yang pintar bertahan, yang bodoh tersingkir. Bukankah itu hukum alami yang tak terelakkan?"
Leon menyipitkan matanya, senyumannya makin lebar. "Pendapat yang panjang, tapi intinya jelas. Kau percaya pada seleksi alami. Kau ingin mengatakan bahwa manusia harus dikelompokkan, dibagi sesuai kemampuan mereka. Itu pendapat yang menarik, sangat jarang aku mendengar hal seperti ini," katanya, dengan aura angkuh seorang raja.
Pria itu membungkuk, menundukkan kepalanya dalam sikap hormat. "Sebuah kehormatan jika seseorang seperti Anda memahami pemikiran saya. Orang lain sering mengatakan bahwa pendapat saya terlalu radikal, bahkan gila," katanya dengan nada penuh penghormatan.
Leon mengangkat dagunya, memandang pria itu dengan penuh wibawa. "Setiap pendapat itu berharga. Yang penting hanyalah memilih mana yang terbaik, dan membuang yang tidak berguna," katanya, suaranya penuh keangkuhan.
Pria itu tidak menjawab, hanya menatap Leon dengan senyuman santai. Keduanya berdiri di sana, saling bertukar pandang, masing-masing mengukur lawan bicara mereka. Di antara keramaian dan kebisingan Colosseum, dua sosok itu tampak seperti tokoh dari dimensi lain, bertukar kata-kata dengan keheningan yang tajam dan berbahaya.
.
.
.
Seorang pria yang sama dengan kemarin, mengenakan jas elegan dan berdiri dengan penuh wibawa di tengah arena Colosseum. Dia tersenyum lebar, mengangkat tangannya, dan menghadap ke arah para penonton yang semakin riuh. "Penonton sekalian!" teriaknya dengan lantang, suaranya menggema di seluruh penjuru Colosseum. "Setelah kemarin, delapan grup telah diseleksi dalam battle royal. Kini saatnya bagi 16 peserta yang selamat untuk bertarung dan melanjutkan ke kualifikasi berikutnya!"
Sorakan menggema, seperti gempa yang mengguncang tanah, sementara pria itu melanjutkan dengan penuh semangat. "Mari kita sambut para 16 peserta yang telah berhasil lolos! Mereka akan menunjukkan kepada kita siapa yang pantas bertahan dalam pertarungan ini!"
Tangannya terangkat, menunjuk ke lorong arena. "Dimulai dari Grup 1, peserta pertama yang berhasil lolos adalah seorang pria tua yang sangat mengerikan. Mari kita sambut dia, ASHENFLAMEEE!!"
Penonton bersorak dengan keras, memberikan tepuk tangan meriah. Dari lorong arena, seorang pria tua bungkuk dengan wajah senyum lebar muncul. Langkahnya mantap meskipun tubuhnya terlihat renta. Dengan anggukan kepala yang penuh wibawa, dia melangkah maju menuju arena.
"Selanjutnya, dari grup yang sama, seorang pria dengan wajah yang tetap tenang bahkan dalam situasi paling brutal. OVYRUSSSS!!" teriak pria itu, suaranya penuh gairah.
Seorang pria ramping dengan ekspresi tenang melangkah keluar dari lorong. Langkahnya begitu tenang, seolah tidak ada yang dapat mengguncangnya. Setiap gerakannya penuh perhitungan, dan atmosfer sekitar terasa semakin tegang.
"Berikutnya, dari Grup 2, seorang pria yang dapat mengayunkan pedang besar hanya dengan satu tangan. A MANNN!!!"
Bagian ini bingung banget mau buat namanya, jadi baut gitu aja😹
Dari lorong arena, seorang pria berbadan besar keluar dengan pedang besar yang terangkat di tangan kanannya. Wajahnya tersenyum tipis, mengarah ke arena dengan percaya diri, memberi kesan bahwa dirinya siap menghadapi apapun.
"Selanjutnya, seorang wanita yang tampil begitu apik dan mematikan. Sendirian, dia mampu mengalahkan banyak musuh dengan mudah. Mari kita sambut AELLAAA!!!"
Sorakan penonton meledak. Fiona berjalan anggun ke atas arena, penampilannya begitu dingin dan penuh percaya diri. Wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun emosi, hanya tatapan tajam yang memandang rendah seisi arena.
"Dan dari Grup 3, seorang pria yang berani menyebut dirinya sebagai Raja Kejahatan Dunia. Seorang pria angkuh yang tidak takut mati. Apakah dia akan bertahan hidup atau akhirnya mati di tangan lawannya? Kita tidak tahu. Mari kita sambut, LEON DOMINIQUEEE!!!"
Saat nama Leon disebut, Colosseum tiba-tiba menjadi sunyi. Tak ada sorakan, hanya keheningan mencekam yang memenuhi udara. Leon berjalan dengan langkah tegas ke atas arena, dan aura rajanya langsung memenuhi ruang itu. Para penonton, tanpa sadar, mulai bersujud satu per satu. Mereka tidak bisa melawan dominasi yang dipancarkan Leon, tubuh mereka seakan dibekukan oleh kekuatan yang tak terlihat.
Setelah Leon berada di atas arena, pria itu terlihat mengelap keringat dingin dari dahinya, jelas terpengaruh oleh atmosfer yang diciptakan Leon. "Dan selanjutnya, masih dalam Grup 3, seorang kriminal yang sangat berbahaya. Mari kita sambut, MASONNN!!!"
Penonton bersorak lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Dari lorong keluar Mason, senyuman lebar menghiasi wajahnya. Tidak ada lagi borgol di tangannya, pakaiannya sudah berganti dan siap untuk bertarung.
Begitu Mason sampai di tengah arena, dia langsung menuju Leon, berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh tantangan. "Kali ini, aku tidak lagi terborgol," katanya dengan suara yang penuh semangat. "Jika kita bertemu, aku akan membunuhmu."
Leon hanya tersenyum tipis, matanya tajam dan penuh penghinaan. "Berlututlah," katanya dengan santai, "Kepalamu menghalangi langit."
Mason langsung berlutut tanpa perlawanan, namun senyum lebar di wajahnya semakin melebar. "Bagus, kekuatanmu masih sama seperti sebelumnya."
Leon hanya mendengus, tidak mengucapkan kata-kata lagi. Namun, aura keduanya saling beradu di tengah arena, menciptakan ketegangan yang bisa dirasakan oleh semua yang hadir.