Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyerah
Dita berhasil di bebaskan, Titik merasa terenyuh saat melihat fisik Dita yang semakin mengenaskan.
Banyak luka lebam di tubuhnya, rambutnya juga di pangkas habis. Dita baru di tahan beberapa hari, tapi tubuhnya sangat kurus.
"Ya Allah Dita, kenapa kamu jadi begini?" tanya Titik dengan air mata berderai.
"Kenapa ibu ngga jenguk aku Bu!" bentak Dita kesal.
"Ya ampun Dit, ibu ke sana kemari cari uang buat bebasin kamu. Harusnya kamu senang ibu udah bisa bebasin kamu!" balas Titik sewot.
Merasa tak terima dengan keadaan anaknya, Titik mendatangi para petugas yang berjaga di depan ruang tahanan.
"Pak kenapa anak saya jadi begini? Kenapa kalian semena-mena pada anak saya!" tegurnya tak terima.
"Ya ampun Bu anak ibu itu berkelahi dengan sesama tahana. Sebagai hukuman kami hanya mencukur rambutnya asal. Bekas luka di tubuh anak ibu itu buah dari pertengkarannya. Hati-hati ya Bu jangan asal bicara," balas petugas tenang.
"Ya harusnya bapak melerai, anak saya masih gadis tapi penampilannya mengerikan seperti ini, saya ya ngga terima! Orang yang memukul anak saya harus di hukum lebih berat!" pinta Titik.
Merasa apa yang di lakukan ibunya percuma Dita memaksa sang ibu agar segera pulang ke rumah. Sungguh Dita ingin sekali tidur di kasurnya yang empuk.
"Udahlah bu ayo kita pulang aja! Yang penting Dita udah bebas," keluhnya.
Titik menolak ajakan Dita dan tetap mencecar para petugas lapas, karena habis kesabaran para petugas akhirnya membungkam mulut Titik dengan ancaman balik.
"Kalau begitu Dita juga akan kami tahan lagi, karena yang dia lakukan pada tahanan lain juga sama, ibu mau? Kalau sudah selesai di sini sebaiknya kalian pulang! Jangan mencari keributan di sini!" kecam petugas lapas.
Dita akhirnya menyeret Titik dengan paksa, meski Titik masih kekeh ingin melanjutkan kekesalannya pada para petugas, agar anaknya mendapatkan keadilan, menurutnya.
"Kamu ini Dit, ibu belain kamu kok malah ngalah! Bodoh banget sih kamu!" ketus Titik kesal.
"Udahlah Bu, oh iya Bu mampir ke pasar ya, malu aku masa rambutku bondol begini!" keluh Dita saat banyak orang memperhatikannya.
Mereka saat ini sedang berada di dalam angkot, banyak pasang mata melihat ke arah Dita dengan menahan senyum, Dita tau mereka menertawakan penamlilannya.
Titik terpaksa tidak bicara pada Tyas, tentang keputusannya membebaskan Dita, karena yakin putri sulungnya tak mendukungnya.
Titik dan Dita berhenti di pasar. Mereka memang ingin mencari penutup kepala untuk Dita.
Toko Nina yang terletak di depan pasar membuat Titik penasaran dan menarik Dita untuk melihat.
"Mau apa sih Bu!" ketus Dita, dia ingin sekali segera membeli penutup kelapa secepat mungkin.
"Ibu penasaran, kata bapak, Nina sekarang yang memiliki toko pak haji Mursih!" jelasnya.
"HAH! APA!" pekik Dita yang langsung di bekap oleh Titik.
Dita lantas menyingkirkan tangan sang ibu dari mulutnya.
"Apaan sih Bu! Serius mbak Nina punya toko sembako, mana Bu?" Dita celingukan mencari sosok Nina di rentetan para pedagang.
Titik lantas menunjuk Nina yang tengah sibuk melayani pembeli dari balik meja kasir yang dulu di duduki haji Mursih.
"Hah, benar itu mbak Nina, ngga sangka mbak Nina jadi pedagang bu, pasti dia udah kaya sekarang!" ujar Dita.
Titik melengos kesal, "percuma kaya juga, kita ngga bisa menikmati!"
Dita sendiri sudah memikirkan cara untuk kembali mendekati kakak tirinya itu.
Setidaknya dia berharap bisa bekerja di sana tanpa perlu repot-repot mencari kerjaan setelah ini.
"Kenapa kamu senyum-senyum ngga jelas kaya gitu Dit?" tegur Titik.
"Ngga papa Bu, besok aku mau kerja di toko mbak Nina, pasti di terima," ucapnya yakin.
Titik berdecih, dia tau tak mungkin Nina mau menerima Dita bekerja di sana. Dari pada mempermalukan diri, Titik lebih memilih sang putri tak banyak berkhayal untuk bekerja di sana.
"Kok gitu sih Bu, mbak Nina itu baik, pasti nerima aku!" Dita tak terima dengan penolakan sang ibu.
"Dari pada kerja di tokonya Nina mending kamu gaet aja calon suaminya Nina!" jelas Titik.
"Hah! Mbak Nina udah punya calon suami?"
Titik mengusap telinganya yang terasa sakit akibat pekikan Dita sejak tadi.
"Kamu ini hah heh hah heh mulu dari tadi. Berisik tau!" sungut Titik.
Mereka hendak kembali melangkahkan kaki ke toko pakaian saat Dita kembali menghentikan langkah mereka.
"Bu, itu bukan calon suami mbak Nina?" tunjuk Dita pada Budi yang sedang melayani pelanggan di tokonya.
Dita ingat betul wajah lelaki yang pernah melintas di depan kediaman kakak kandungnya bersama Nina.
Titik menajamkan pandangannya, dia ingat lelaki itu yang memboncengkan Nina waktu itu. Meski tak pernah bertemu secara langsung Titik ingat jika Dibyo juga pernah memberitahukan jika calon suaminya Nina memiliki toko mebel.
"Kayaknya iya," jawab Titik ragu.
"Wah ganteng ya Bu, kalau calonnya kaya gitu mau lah aku," ujar Dita dengan senyum malu-malu.
Titik lalu memperhatikan penampilan putri bungsunya dari ujung kepala sampai ujung kaki lalu menghela napas.
"Rapikan dulu penampilanmu kalau mau menikung calonnya Nina!" tegur Titik.
.
.
Saat makan siang, Lastri dan yang lainnya senang saat bisa mencicipi masakan Nina.
"Bawanya dikit banget toh Bu?" keluh Lastri di balas tepukan oleh teman-temannya.
"Iya maaf, itu juga karena kebanyakan buat di rumah. Kan udah ibu tambahi tadi beli makanannya," jawab Nina yang merasa senang karena para karyawan menyukai masakannya.
Nina sendiri belum makan siang, sebab harus bergantian dengan Lastri.
Saat suasana toko sedang sepi tiba-tiba Budi datang. Nina tak seantusias biasanya. Mungkin karena Nina merasa tak cocok dengan keluarga Budi.
"Nin, makan yuk!" ajak Budi.
Budi sengaja mengajak Nina keluar karena ada urusan mengenai adiknya, Rahma. Tentu saja Budi merasa tak senang dengan sikap Nina pada adik semata wayangnya.
Namun Budi tak ingin terjadi keributan di toko Nina, jadilah dia mengajak Nina keluar.
Nina yang juga ingin menegur kelakuan Rahma setuju dengan ajakan Budi.
"Las, udah kan? Ibu keluar dulu ya?" ucapnya.
Keduanya makan di seberang pasar, di warung nasi langganan mereka.
"Apa yang kamu ucapkan sama Rahma Nin? Ngga bisakah kamu bersikap baik sama adik mas? Dia itu kan niatnya mau membantu," tegur Budi langsung.
Nina menghela napas, belum juga dirinya memesan makanan sudah di suguhi omelan Budi.
"Justru aku yang mau bilang sama mas Budi, tolong tegur Rahma, kita ngga ada hubungan apa pun jadi jangan bertindak seenaknya! Aku ngga suka ada lancang di tokoku!" jawab Nina tegas.
"NINA!" bentak Budi tanpa sadar.
Enggan berlarut-larut Nina kemudian bangkit berdiri, dia memutuskan untuk menjauh dari Budi setelah ini.
"Cukup sampai di sini mas Budi, tentang lamaran kemarin, aku rasa tak perlu di lanjutkan," ucap Nina.
Budi kelabakan saat mendengar Nina menolak lamarannya. Dia merutuk dirinya sendiri yang tak bisa sabar menaklukkan Nina.
Dia bergegas mencegah kepergian Nina dengan mencekal tangan Nina.
"Nina tunggu!" sergahnya.
"Mas Budi!" pekik seseorang pada keduanya.
Nina menatap bingung pada orang yang tiba-tiba menyentak tangannya yang di pegang Budi.
"Dasar janda gatel!" makinya.
.
.
.
Tbc.