Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbuatan yang Meninggalkan Jejak
Karina sadar dengan apa yang dilakukan dan dikatakannya. Ia juga tidak mengerti dengan keberaniannya yang sampai sejauh itu. Jika ketakutan karena trauma Nino belum bisa teratasi, ia tidak akan memaksanya untuk melakukan lebih jauh. Namun, ia rasa mereka sudah lupa pada semuanya, yang ada hanya perasaan untuk saling melepaskan semua hasrat yang selama ini terpendam.
Nino mendudukkan Karina di kabinet, sehingga Karina bisa dengan leluasa menciumi pundak suaminya.
“Aku akan berhenti kalau kamu merasa gak nyaman.” Karina membisikkan kalimat itu di telinga Nino.
Karina membelai wajah pria itu. Lalu, mengecup bibirnya lembut. Namun, Nino tidak sabar, dia menekan tengkuknya dengan kuat untuk mencium bibir wanita itu dengan penuh gairah.
Bibir mereka saling bertaut untuk berebut dominasi. Nino melangkah mundur menuju sofa, tangannya memeluk erat Karina, agar dia tidak terjatuh. Mereka tidak melepaskan ciumannya, bahkan mereka semakin liar. Nino menanggalkan kemejanya dengan tergesa-gesa dan melemparkannya sembarangan ke lantai.
Napas mereka memburu ketika Nino melepaskan ciumannya, ia sudah duduk di sofa. Sedangkan Karina, menahan tangannya di sandaran sofa, wajahnya berada tepat di atas pria itu. Mereka berusaha untuk saling menggapai udara di sekitarnya. Mata mereka sama-sama dipenuhi oleh kabut gairah.
“Karin.”
Nino memanggil nama itu dengan suara sedikit serak. Karina hanya menatapnya dengan napas yang masih tersengal-sengal.
“Aku masih sangat ragu untuk melakukannya.”
Karina menundukkan kepalanya, semakin mendekatkan wajah ke arah Nino. Ia menyentuh wajah pria itu dengan sentuhan sensual.
“Kamu gak harus terburu-buru, Mas.” Karina berujar pelan dengan tangan yang terus bergerak turun dari wajah ke leher, lalu semakin turun ke dada dan perut.
Nino memejam sejenak, merasakan aliran darahnya yang semakin cepat seiring dengan detak jantung yang tidak menentu ritmenya. Tangannya mengepal erat dan ia menggeram pelan saat Karina menyentuh area sensitifnya. Hal itu membuat panas tubuhnya semakin meningkat.
Nino berusaha menyingkirkan bayangan-bayangan yang hadir dalam benaknya. Dan mengatakan semua akan baik-baik saja dalam hati. Ia tidak ingin lagi semuanya berhenti begitu saja. Detak jantungnya diiringi dengan rasa waswas, bercampur sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dijabarkan.
Nino menggeram frustrasi saat Karina semakin mempermainkan gairahnya.
“Cukup, Karin.” Nino menahan tangan Karina di bawah sana. “Aku bisa gila kalau kamu begini.”
Karina tersenyum menggoda. Ia semakin berani dengan naik ke pangkuan Nino. Pria itu tentu saja terkejut.
“Kamu benar-benar mau bikin aku gila, Karin?”
Tangan Karina berayun menyentuh kedua bahu Nino. Gerakannya sengaja dibuat perlahan sehingga menimbulkan sensasi kegelian di tubuhnya.
“Memang aku sengaja,” bisik Karina di telinga Nino.
Nino tidak tahan lagi. Ia menarik tubuh Karina lebih dekat, dengan tidak sabar ia membuka kancing piyama Karina, menyibaknya hingga sebatas lengan dan menampilkan tulang selangka hingga sebatas dada.
Nino mendongak menatap Karina. Wajahnya bersemu merah dan matanya tampak sayu menatap ke arahnya. Nino melepaskan ikatan rambut Karina, sehingga rambutnya tergerai sampai mengenai wajahnya. Dia terlihat semakin cantik jika seperti ini.
“Kalau kamu bisa membuatku hampir gila. Aku bisa membuatmu lebih gila daripada itu.” Seringai menggoda tampak di wajah pria itu. Ia mengangkat tubuh Karina dan membaringkannya di sofa.
Wajah wanita itu semakin memerah ketika ditatap oleh Nino. Dengan cepat, Nino mendaratkan ciuman di lehernya, memprovokasikan di satu tempat sehingga meninggalkan bercak kemerahan di sana.
Karina mengerang erotis ketika Nino tidak hanya meninggalkan tanda merah di satu titik saja. Namun, di tengah pergumulan panas mereka. Karina samar-samar mendengar suara bel berbunyi.
“Mas.” Karina memanggil pelan, bercampur dengan desah napasnya dan Nino tidak mendengar sama sekali.
“Mas.” Karina mendorong pundak suaminya sehingga dia mendongak.
“Kenapa?”
“Kamu gak denger suara bel bunyi?”
Nino diam sejenak. “Enggak.”
Lalu, mereka mendengar suara bel berbunyi. Mereka saling bertatapan.
“Siapa?” tanya Nino. Ia mendadak tidak bisa berpikir.
“Ya, mana aku tahu.” Karina menyahut sedikit kesal. “Aku lihat dulu, deh.” Karina beranjak.
Nino menatap wanita itu yang berjalan tanpa melihat penampilannya yang berantakan. “Heh, itu bajunya benerin dulu.”
Karina merapikan pakaian sekedarnya. Ia juga menyisir rambut dengan jari saja.
“Kalau orang gak penting gak usah dibuka, deh,” gerutu Nino karena kesal aktivitasnya terganggu.
Tak berselang lama, Karina kembali dengan wajah terkejut. “Mas, ada Ibu sama Tasya di luar.”
“Hah?!” Kedua mata pria itu membulat.
“Pake baju kamu.” Karina sesekali melirik pintu depan yang masih belum dibuka. Mendengar bel berbunyi untuk kesekian kalinya, Karina tidak boleh membiarkan mertua dan adik iparnya menunggu di luar terlalu lama.
Nino tertegun. Lalu, melirik tubuhnya sendiri yang sudah bertelanjang dada. “Kemeja aku ke mana?”
Karina memutar bola mata, ia menghentikan langkahnya ketika hendak menuju ruang tamu. “Astaga, Mas. Cari sendiri, dong.” Karina menyahut gemas, suaranya ia buat sepelan mungkin agar tidak terdengar keluar. Kenapa suaminya mendadak telat berpikir jika dia sedang turn on seperti ini.
Karina berlari menuju pintu depan dan ia mengulas senyum ketika membuka pintu yang menampakkan dua orang wanita di sana.
“Ibu, Tasya.”
Azizah tersenyum begitu juga dengan Tasya.
“Kirain Mbak pergi. Kita udah beberapa kali bunyiin bel, tapi gak ada yang keluar. Aku sempet telepon Mas Nino, tapi gak dijawab,” ujar Tasya. “Dia belum pulang? Tapi aku lihat mobilnya ada.”
Karina sempat mendengar dering ponsel Nino, tetapi dia mengabaikannya. Di saat seperti tadi, mereka tidak memedulikan apa pun.
“Oo… ada, kok. Mas Nino baru aja pulang” Karina tertawa sumbang. “Mbak juga … tadi … Mbak lagi … di ruang baca. Iya. Sambil dengerin musik juga. Pake earphone. Iya, iya, Mbak lagi baca buku sambil dengerin musik pake earphone.” Karina berbicara dengan terbata-bata. Entah alasannya masuk akal atau tidak.
Tasya melirik ke arah Azizah, wanita paruh baya itu hanya tersenyum lembut mendengar penjelasan yang sedikit aneh dari menantunya.
“Tasya, Ibu, kok gak bilang sih hari ini mau ke sini?” Nino muncul di belakang Karina.
Tatapan kedua wanita di depan pintu itu berubah terheran-heran melihat penampilan Nino. Kemeja yang tidak dikancingkan dengan benar, dan rambut sedikit berantakan. Terdapat lipatan kusut di kemeja Nino yang biasanya terlihat rapi. Tasya dan Azizah saling melirik.
“Sepertinya Ibu datang di waktu yang gak tepat.” Azizah tersenyum penuh arti pada anak dan menantunya.
Giliran Karina dan Nino yang saling bertatapan. Karina menyadari pakaian Nino yang tidak karuan. Wanita itu tertawa sumbang.
“Enggak kok, Bu. Ayo, masuk. Ibu sama Tasya pasti nunggu lama di sini.” Karina menggiring Tasya dan Azizah masuk.
Nino masih belum menyadari penampilannya sendiri. Setelah Tasya dan Azizah duduk di ruang tamu, Karina menyeret Nino dengan paksa ke ruang tengah.
Tentu saja Nino terkejut karena istrinya tiba-tiba menarik tangannya saat ia akan duduk.
“Ada apa?” tanya Nino dengan wajah tanpa dosa.
“Benerin kemeja kamu.” Karina menarik ujung kemeja Nino dengan gemas dan mata yang melebar. Ia yakin, ibu mertuanya menyadari apa yang sedang mereka lakukan tadi.
Nino tersenyum kikuk saat menyadarinya. “Maaf, aku terburu-buru tadi.”
Karina mendesis gemas. “Aku makan kamu juga lama-lama, Mas!”
Karina berlalu ke dapur untuk membawa minum. Nino hanya terkekeh seraya membenarkan letak kancingnya yang tidak beraturan.
“Maaf ya, Ibu sama Tasya datang malam-malam ke sini,” ujar Azizah saat Karina meletakkan cangkir di meja.
“Enggak apa-apa, kok, Bu.” Karina mengambil duduk di seberang ibu mertuanya.
“Besok ada syukuran di rumah Tante Risti. Kalau berangkat pagi, Tasya gak bisa antar, soalnya dia kan harus kerja.”
Karina ingat jika saudara Nino yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumah mereka itu akan mengadakan syukuran untuk kelahiran cucu pertama. Karina lupa jika beberapa hari lalu, Tasya sempat bilang akan menginap di rumahnya.
“Kenapa gak bilang mau nginep di sini, Bu? Kalau kemarin bilang, Nino tadi jemput Ibu dulu.” Nino muncul setelah berganti pakaian. Kemudian, ia duduk di samping Karina.
“Katanya Tasya udah bilang sama Karina,” sahut Azizah.
Nino menoleh pada istrinya. Wanita itu tersenyum kikuk. “Aku lupa, Mas.”
“Mas!” Suara Tasya menggema dari arah dapur. Beberapa saat lalu, ia pergi ke dapur untuk menyimpan minuman dinginnya di kulkas.
Karina dan Nino menoleh bersamaan saat mendengar suara langkah yang mendekat ke ruang tamu. Kemudian, Tasya mengangkat dasi berwarna navy milik Nino ketika sudah berada di sana.
“Kok ada dasi di lantai dapur, sih?”
Mata Karina membulat. Ia lupa menyimpan dasi itu ke kamarnya. Padahal, setelah membuat minuman tadi, ia berniat untuk kembali ke dapur dan menyimpannya. Nino melirik ke arah Karina. Wajah wanita itu seperti maling yang tertangkap basah, pipinya memerah dan tidak berani menatap Nino atau siapa pun yang ada di sana. Azizah yang menyadari, hanya tersenyum saja melihat dua sejoli yang sama-sama tersipu malu. Perbuatan mereka meninggalkan banyak jejak.
***
Karina membuka pintu kamar dengan sangat perlahan, lalu mengendap-ngendap menuju tempat tidurnya. Nino sudah tidur lebih dulu, tetapi Karina menemani Tasya yang curhat tentang pacarnya.
Karina bersandar pada dipan. Ia masih belum ngantuk walau waktu sudah hampir tengah malam. Karina termenung, kembali terbayang aksi beraninya tadi. Seketika pipinya memanas dan merasa malu karena perbuatannya tadi.
Karina membuang napas pelan, semua bayangan itu tidak bisa hilang. Di tengah malam seperti ini, dirinya malah memikirkan hal-hal seperti itu.
Karina menoleh ke arah Nino saat pria itu membuang napas keras dalam tidurnya. Karina semakin memerhatikan mimik muka pria itu yang berubah setiap detiknya, disertai dengan keringat yang keluar dari pelipisnya. Karina mengernyit. Apa Nino mengalami mimpi buruk?
“Karin.” Nino memanggilnya dengan suara yang sangat rendah dan lemah.
Karina terkejut. Ia mengguncang lengan pria itu seraya memanggilnya, “Mas.”
Deru napas Nino semakin memburu dan kesedihan semakin tampak di wajahnya.
“Mas!” Karina sedikit lebih kencang mengguncang lengan Nino, sehingga pria itu membuka mata dengan napas terengah-engah.
“Kamu mimpi buruk lagi, Mas?” tanya Karina khawatir.
Nino menatap Karina sejenak. Kemudian, ia beranjak duduk dan segera memeluk wanita itu erat-erat. Karina sampai tersentak. Namun, Karina membalas pelukan suaminya.
“Gak apa-apa, aku di sini.”
Nino semakin erat memeluknya sampai Karina hampir tidak bisa bernapas. “Jangan tinggalkan aku, Karin.”