“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
W ~ Bab 09
Dhien VS Burung Emprit nya Fikar 🔥.
......................
Fikar yang melihat sang istri begitu lahap mengunyah sepotong kentang, langsung ikutan makan, tidak ada lagi kecurigaan, yang ada nafsu atas bawahnya semakin membara. Perut kenyang, Burung pun harus senang.
“Enak ‘kan?” Dhien bertanya, seraya menatap biasa saja wajah laki-laki berkumis sedikit tebal, serta alis menukik tajam, mereka duduk di kursi kayu meja makan yang berukuran setengah meter.
“Lumayan … ekheg,” ucapnya sambil bersendawa.
‘Lumayan gundul kau! Habis tak bersisa sampai sebutir nasi pun kandas, bisa-bisanya kau kasih nilai tak sempurna. Dasar keturunan Beruk!’
“Ya ampun, aku melupakan sesuatu!” Dhien menepuk jidatnya, lalu bangkit dan berjalan ke meja dapur tanpa sekat.
“Kudengar dari Bik Ayie, kalau kau begitu menyukai usus dan brutu ( pantat) Ayam. Ini tadi aku pisahkan, karena takut di embat orang lain.” Dhien menaruh mangkuk plastik kecil di atas meja papan tanpa alas.
Tanpa berpikir panjang, dikarenakan memang bagian Ayam kesukaannya. Langsung saja Fikar melahapnya, sampai kuah santan menempel di kumisnya.
“Sekarang waktunya memakanmu, Dhien! Kau pilih di mana, kasur, dapur atau sumur pun jadi, biar abis tu langsung mandi dan tambah lagi!” Fikar hendak menarik tangan Dhien, tetapi malah menangkap angin.
“Kau mau Burungmu panas karena cabean? Sebab aku tak cuci tangan dan langsung memainkannya!” alibi Dhien, dia berdiri sedikit jauh dari jangkauan Fikar, sengaja makan tidak pakai sendok, biar memiliki alasan untuk mengulur waktu.
“Tunggu saja di tilam macam orang hamil tu!” tunjuknya pada amben yang terdapat tilam kapuk menggembung dibagian tengah, lalu dirinya ke belakang sambil membawa piring kotor.
“Ada apa ni? Mengapa rasanya bumi bergoyang?” Fikar mencoba menggelengkan kepalanya, sampai matanya melotot pun tetap saja ia merasa seperti berputar-putar.
BUGH.
Tubuh tinggi besar, mirip tukang jagal di rumah pemotongan hewan itu seketika ambruk, dia mulai meracau seperti orang mabuk.
“Ah Ni, Ma, Sa, Di, lubang kalian macam punya Lembu yang sudah los doll!” Fikar terus saja mengumpat, bahkan sekarang dirinya hanya mengenakan sempak, terlentang di tengah ranjang berderit, dengan perut sedikit membuncit dikarenakan kekenyangan.
Netra Dhien sama sekali tidak berkedip, menatap sosok Fikar yang seperti Mawas. Dhien berdiri pada pojokan ruangan tidak bersekat. Kedua tangannya terkepal erat dengan napas mulai memburu, amarah, sakit hati berkumpul menjadi satu.
“Kalian kira, trik murahan macam ni, bisa membuatku frustasi dan berakhir memilih mati! Setelah semua ni berakhir, target ku selanjutnya adalah kalian para manusia titisan Fir'aun!”
Dhien membelah buah kecubung yang dia sembunyikan pada plastik kresek. Kemudian mendekati Fikar, menaruh buah tadi di sisinya.
Tanpa ragu, Dhien membuka celana dalam berwarna putih milik laki-laki yang bertingkah seolah mencumbu seorang wanita.
“Ah ah ah … terus Lonte! Genjot yang kuat!”
“Ternyata Burung mu macam punya anak bayi Fikar! Kecil, pendek, bisa-bisanya banyak yang mau kau kawini!” Sambil menahan mual, Dhien mengoleskan bagian dalam buah kecubung di Emprit nya Fikar.
“Kita lihat sampai mana kau sanggup memuntahkan lahar berbau busuk tu!” Ucapnya seraya menatap jijik.
Fikar yang sedari tadi hanya bergumam dan meracau tidak jelas, sekarang mulai memainkan miliknya sendirian dikarenakan terasa gatal dan mulai berdiri, alam bawah sadarnya begitu aktif menampilkan banyaknya adegan ranjang yang pernah dilakukannya dengan para wanita bayaran.
Dhien membalik kursi kayu meja makan menjadi menghadap si Fikar, ia duduk tenang dengan mata terbuka lebar, menatap lekat bagaimana sosok suami yang tidak diinginkan nya itu tengah berkawin dengan tangannya sendiri.
“Ah … Aku sampai!” serunya seraya memuntahkan cairan di atas pahanya sendiri.
“Satu!” Dhien menghitung pelepasan si Fikar, seperti yang dikatakan guru karate nya, bila seorang laki-laki mengoleskan buah kecubung pada Burungnya sendiri, maka tidak cukup satu kali ejakulasi, setidaknya sampai 3 kali, baru dirinya berhenti.
Mengonsumsi Kecubung, baik itu akar, batang, daun sampai buahnya, efeknya begitu dahsyat, bagi yang tidak pintar mengolahnya bisa keracunan. Selain itu, kecubung juga dapat membuat seseorang seperti berhalusinasi, dan buahnya dapat membuat burung laki-laki ereksi berakhir ejakulasi.
Dhien bukanlah gadis lugu yang tidak tahu menahu soal hal tabu, berbaur dengan orang-orang culas, jahat, membuatnya harus tetap waspada dan selalu mencari celah untuk membalas setiap kesakitan, ketidakadilan dirinya dan juga sang ibu.
“Dua!” hitungnya dengan raut wajah seperti orang hendak muntah, di hadapannya, si Fikar kembali memuntahkan lahar, sampai kedua pahanya bergetar dengan posisi duduk, mata terpejam.
“Dhien! Habis kau kali ini … ha ha ha! Kau lihat kan? Seberapa gagahnya aku dalam menunggangi mu!” racaunya seraya menungging, kepala terbenam di bantal, sebelah tangan berada di selangkangannya sendiri.
Di balik dinding papan tidak di ketam, dalam kegelapan malam tanpa bintang, dua sosok wanita tersenyum puas, mengira Dhien sudah kehilangan mahkotanya, lalu mereka melangkah diam-diam menjauhi rumah yang sebenarnya adalah gudang.
.
.
“Mampus kau Dhien! Sekarang betul-betul hina dirimu, tak ada lagi hal berharga yang tersisa!” Bibir Winda menyunggingkan senyum culas, dia dan Suci baru saja pulang dari menguping malam pertama Dhien.
“Win, sebetulnya apa yang membuatmu begitu membenci Dhien? Bukankah sedari nya bayi sudah tak diinginkan serta telah diasingkan dari keluarga kalian?” tanya Suci seraya menatap Winda. Mereka sedang berada di teras rumah Ramlah, yang bercahaya kan lampu petromak.
“Karenanya, Dzikri tak pernah menganggap diri ini ada, selalu Dhien yang ia tatap. Segala hal yang kulakukan untuk menarik perhatian pemuda tu, tak ada satupun yang berhasil membuatnya berpaling ke arah ku, melirik saja nya enggan!”
“Kau masih menyukai Dzikri? Kukira sudah tak lagi. Bukankah sekarang dirimu telah memiliki kekasih?”
“Para pemuda tu hanya selingan mengisi kekosongan dikala aku belum berhasil memikat hati Dzikri,” jawab Winda.
“Kau juga, selagi si Rani masih betah di ibukota, gunakan kesempatan yang ada untuk mendekati bang Agam. Bila perlu pergilah ke dukun, pasang susuk atau apa kek, biar nya terpikat berakhir terjerat!”
Bibir suci mencebik. “Macam mana nak mendekatinya, bila masih ada si Meutia gila tu! Galak kali nya jadi orang.”
***
Hening, senyap, hanya ada suara jangkrik malam. Dhien masih duduk di tempatnya, netranya tidak lagi setajam tadi, tetapi sayu bahkan berkaca-kaca.
“Ayah … Dhien lelah, bolehkah menyerah saja?” adu nya pilu.
“Sungguh diri ini letih Yah. Hidup hanya untuk waspada agar tak masuk perangkap mereka! Ayah … Dhien rindu! Tak bisakah sekali saja datang ke mimpi putrimu ni!” pintanya pilu.
Dhien menangis tergugu, sampai bahunya berguncang, kedua tangannya menekan paha agar kakinya berhenti bergetar hebat, dia tidaklah setangguh yang orang kira, terkadang bisa begitu lemah sampai tidak berdaya.
“Tak boleh putus asa Dhien! Kau harus kuat, bila menyerah, bagaimana nasib Emak nanti!” katanya menyemangati diri sendiri, mengusap kasar air matanya, lalu berusaha berdiri dan mulai menyelesaikan misi terakhirnya.
Tertatih kaki Dhien melangkah di lantai masih tanah, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan petak berdinding papan berserabut kasar, menatap dipan reot tidak ber kelambu, hanya ada tilam tipis berkain usang, meja dapur tidak layak pakai, dan hanya ada satu penerangan lampu teplok yang disangkutkan pada paku dinding.
“Niat kali kalian hendak menyiksa ku! Besok atau lusa, siap-siap saja mendengar kabar menggemparkan! Aku harap jantung mu kuat ya Nenek calon penghuni neraka!”
.
.
“Hei Lonte! Sini kau! Apa betul semalam kita kawin …?”
.
.
Bersambung.
semangaat Dhien doaku meyertaimu
tar kembali lagi skalian bawa tiker sm kupi , klo dh End yak. 🤩😘🤗