Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Apa Kita Pernah Bertemu?
Gista membeli banyak makanan untuk sang bapak. Ia sudah sempat menghubungi pria paruh baya itu tadi. Dan syukurnya, pak Gideon ada di rumah.
“Kamu beli apa saja, nak?” Tanya pak Gideon melihat ke arah tangan sang putri.
“Sate ayam dan lontong, soto, bihun goreng, siomay, es cendol, peyek udang. Semua yang bapak suka.” Gista menyerahkan satu kantong plastik pada sang bapak.
“Ayo kita makan bersama.” Pak Gideon menuntun sang putri ke arah meja makan. Ia kemudian mengambil alat makan.
Sementara Gista mulai membuka bungkus makanan itu.
“Apa kamu sudah gajian, nak?” Tanya pak Gideon saat mereka sudah mulai menikmati makanannya.
Gista yang hendak menusuk lontong dengan tusukan sate pun menatap sang bapak. Ia mengangguk pelan. Tidak mungkin berkata jujur, mengatakan dirinya mendapat uang jajan puluhan juta dari sang atasan.
“Nak, bapak mau ijin kerja di pertambangan sama kamu.” Ucap pak Gideon saat makanan mereka mulai habis.
Sate Gista tinggal satu tusuk di atas piring. Dan selera makanan gadis itu langsung menguap begitu saja, setelah mendengar ucapan sang bapak.
“Kalau aku tidak mengijinkan, bapak mau apa?” Tanya Gista kemudian.
Pak Gideon menghela nafas pelan. “Nak, bapak ingin membantu kamu membayar hutang. Jadi, biarkan bapak ikut bekerja.”
Gista meraih gelas, kemudian menuangkan air minum dari dalam teko. Ia perlu membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering.
“Kalau bapak ingin bekerja, disini saja. Tidak perlu hingga ke pertambangan.” Gista dapat membayangkan bagaimana beratnya pekerjaan itu.
“Tapi bapak ingin membantu kamu, nak. Walau tidak bisa ikut melunasi, setidaknya bapak bisa memberikan kamu uang jajan.” Ucap pria berusia empat puluh tujuh tahun itu dengan sendu.
Ia telah gagal menjadi seorang suami. Dan kini, kembali gagal menjadi seorang ayah untuk Gista.
“Pak.” Gista meraih tangan sang bapak yang ada di atas meja. “Kalau bapak mau bekerja, kenapa bapak tidak mencoba daftar ojek online saja? Pekerjaannya mudah. Bapak tidak perlu terikat waktu. Bisa di kerjakan kapan saja. Tidak bertemu dengan atasan.” Gadis ity memberi saran.
Pak Gideon nampak berpikir. “Tapi penghasilannya—
“Bapak tidak perlu memikirkan penghasilannya. Cukup untuk makan bapak saja, tidak apa-apa. Jangan pikirkan aku. Bapak percaya sama aku. Atasan aku orang baik. Dia tidak menuntut aku harus membayar dengan cepat. Dia juga masih memberi ijin aku kerja di kafe miliknya. Jadi, aku masih ada uang jajan.” Gista berbicara tanpa ragu. Agar sang bapak percaya padanya dan mau menurut.
Gadis itu tidak mau melepaskan sang bapak ke tempat pertambangan.
Ya kalau bapak bekerja dengan perusahaan legal. Bagaimana jika ilegal? Terjadi sesuatu yang tidak di inginkan, pasti tidak ada jaminan kerjanya.
Gista tidak mau kehilangan pria paruh baya itu.
“Coba pinjam ponsel bapak. Biar aku bantu unduh aplikasi ojek onlinenya.” Tangan Gista menengadah di hadapan sang bapak.
Pak Gideon menghela nafas, kemudian menurut apa yang di ucapkan oleh putri semata wayangnya.
Setelah membantu bapak mempelajari tentang cara menggunakan aplikasi ojek online, Gista membantu membersihkan rumah kontrakan itu.
Setelah semua beres, ia memutuskan untuk kembali ke apartemen Dirga.
Sebentar lagi waktu Gista bekerja ke kafe. Ia harus mengganti pakaian santainya dengan yang lebih formal.
\~\~\~
Sepertinya hari ini Dirga memang tidak pergi kemana pun. Mobil pria itu masih setia terparkir pada tempatnya.
Gista bergegas melangkah menunju lift. Ia hanya memiliki sisa waktu satu jam untuk pergi ke kafe. Gadis itu harus memanfaatkan dengan baik agar tidak terlambat.
Tangan Gista terulur untuk memencet tombol lift. Namun, pintu yang terbuat dari bahan baja itu terbuka dengan sendirinya.
“Pak Dirga.” Gumam Gista nyaris tak terdengar ketika melihat orang yang berada di dalam kotak besi itu.
Tiba-tiba jantung Gista berdegup kencang.
Dirga berdiri di dalam sana bersama seorang wanita dewasa yang sedang bergelayut pada lengan kiri pria itu.
Tatapan mereka beradu sejenak. Namun, dengan cepat Gista mengalihkan pandangan ketika wanita yang bersama Dirga itu menatap ke arahnya.
“Dirga, ayo.” Ucap wanita itu dengan nada manja. Sembari menarik pelan lengan Dirga.
Gista ingat siapa wanita itu. Bukan mantan istri Dirga, tetapi wanita yang datang ke kafe bersama pria itu tempo hari.
Pria itu hanya berdeham pelan. Kemudian keluar dari dalam lift itu.
“Apa kita pernah bertemu?” Tanya wanita yang bersama Dirga kepada Gista, saat gadis itu hendak masuk ke dalam lift.
Gista tidak menjawab. Ia melirik Dirga sejenak. Namun pria itu hanya diam tidak menanggapi apapun.
‘Ingat Gista. Di luar apartemen, hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan.’ Gadis itu memperingati dirinya sendiri.
“Kita pernah bertemu di kafe milik pak Dirga, nyonya.” Ucap Gista dengan jujur dan penuh hormat.
Wanita dewasa itu menganggukkan kepalanya. “Ah ya. Aku ingat. Kamu yang membawakan kopi. Itu artinya kamu mengenal pria ini.” Tunjuknya pada Dirga.
Gista mengangguk pelan. “Beliau atasan saya.”
Mendengar jawaban Gista, Dirga pun mencebikkan bibirnya. “Sudah, Di. Aku tidak mau kita terlambat.” Ucap pria itu, kemudian melangkah pergi.
“Eh, Dirga. Tunggu.” Wanita itu kembali menggelayuti lengan Dirga.
Dan Gista hanya menatap sembari menghela nafas pelan.
“Dirga, hebat sekali karyawan kamu bisa tinggal di tempat semewah ini. Apa jangan-jangan—
“Jaga bicara kamu, Di. Atau aku tidak mau menuruti keinginanmu lagi.”
“Dasar pria menyebalkan. Bisanya cuma mengancam.”
Samar-samar Gista dapat mendengar pembicaraan Dirga dan wanita dewasa itu. Ia pun melangkah masuk ke dalam lift dengan perasaan yang tidak menentu.
“Apa yang aku pikirkan? Bukannya aku hanya simpanan?” Monolog Gista setelah berada di dalam lift.
Ia teringat kembali sikap Dirga yang semalam begitu marah ketika melihat dirinya dekat dengan Bobby.
Lalu, kenapa pria itu tidak ingat, jika dirinya juga sudah memiliki kekasih? Bukankah hubungan mereka hanya sebatas saat berada di dalam apartemen saja ‘kan? Di luar itu, seharusnya Gista juga boleh menjalin hubungan dengan pria lain.
Ya, meski pun Gista juga tidak mau menjalin hubungan dengan pria lain karena dirinya sudah tidak pera-wan lagi.
Ia juga tidak yakin, setelah terbebas dari Dirga apakah ada pria lain yang mau menerima dirinya?
Tetapi, setidaknya ia boleh ‘kan hanya sekedar berteman? Atau mengobrol? Kenapa Dirga harus semarah itu?
Gista menggeleng pelan. Berusaha agar tidak berpikir ataupun berharap lebih.
“Fokus pada diri sendiri saja, Ta. Semoga waktu cepat berlalu. Agar kamu bisa cepat membayar hutang pada pak Dirga.” Monolog gadis itu sembari menatap pantulan samar dirinya pada pintu lift.
...****************...