Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Ketegangan Menjelang Kelahiran
Hari demi hari, Zahra semakin mendekati masa kelahiran, dan Zidan semakin merasakan betapa luar biasanya menjadi seorang suami yang penuh tanggung jawab. Namun, meskipun ia merasa terberkati dengan kehadiran Zahra yang penuh cinta dan perhatian, tidak dapat dipungkiri bahwa persiapan menghadapi kelahiran bayi mereka semakin menambah beban pikiran.
Zahra yang semakin manja sejak hamil, terus menunjukkan kebiasaan-kebiasaan unik yang tak jarang membuat Zidan kebingungan. Setelah beberapa minggu yang penuh dengan permintaan aneh, seperti kue cubit dengan sirup nanas, nasi timbel dengan sambal kemangi, hingga rujak mangga muda dengan serundeng kelapa, sekarang Zahra mulai menginginkan hal-hal yang lebih tidak terduga.
Malam itu, mereka sedang duduk bersama di ruang tamu pesantren setelah makan malam. Zahra tampak memandangi ponselnya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba, ia berbalik ke Zidan dengan ekspresi serius.
"Sayang, aku punya permintaan," kata Zahra pelan, sambil menatap Zidan yang sedang menyesap teh hangat.
Zidan menatapnya dengan khawatir. "Ada apa lagi, Sayang? Jangan bilang kamu mau sesuatu yang aneh-aneh lagi."
Zahra tersenyum kecil. "Aku pengen kamu temani aku keliling kota malam ini. Aku mau lihat-lihat lampu-lampu kota yang terang benderang. Aku merasa malam ini udara sangat sejuk dan menyenangkan. Bisa, kan?"
Zidan terdiam sejenak. Ia sempat merasa cemas karena Zahra yang sudah hamil tua seharusnya lebih banyak beristirahat. Namun, melihat wajah Zahra yang begitu penuh harap, hatinya merasa ragu untuk menolaknya.
"Apa nggak capek, Sayang? Kan kamu hamil besar, masa iya jalan-jalan malam gini?" Zidan mengingatkan dengan lembut.
Zahra mengerucutkan bibirnya. "Ah, Sayang! Aku cuma ingin merasa bahagia. Ini kan permintaan yang nggak terlalu berat, cuma keliling kota sebentar. Jangan khawatir, aku nggak akan lelah kok."
Zidan menatap istrinya yang tengah melambai-lambaikan tangan dengan ceria. Ia tahu Zahra sudah sangat terbiasa dengan permintaannya yang terkadang tak masuk akal, tetapi Zidan merasa bahwa kali ini ia harus melakukan perjalanan bersama Zahra, walaupun sedikit khawatir.
Akhirnya, Zidan pun mengalah. Mereka berjalan keluar dari rumah, dan mobil yang dikendarai Zidan meluncur perlahan menyusuri jalanan kota yang sepi. Malam itu, lampu-lampu jalan yang temaram memberi suasana yang tenang, dan Zahra tampak begitu menikmati perjalanan itu. Sesekali, ia mengarahkan pandangannya ke luar jendela, mengagumi keindahan kota di malam hari.
"Sayang, aku merasa sangat bahagia malam ini. Terima kasih sudah menuruti keinginanku," Zahra berkata sambil tersenyum manis.
Zidan hanya bisa tersenyum sambil meraih tangan Zahra. "Tentu, istriku. Apa pun yang kamu inginkan, selama itu bisa membuatmu bahagia, Mas akan selalu ada untukmu."
Namun, tiba-tiba, Zahra tampak sedikit terdiam. Ia menatap Zidan dengan tatapan yang agak khawatir. "Sayang, aku merasa agak cemas. Besok adalah hari yang sangat penting, kan? Kita akan menjalani pemeriksaan lagi, kan? Bagaimana kalau ada sesuatu yang tidak baik dengan bayi kita?"
Zidan menghentikan mobil di sisi jalan dan menatap Zahra dengan penuh pengertian. Ia meraih tangan Zahra, menggenggamnya erat.
"Sayang, jangan khawatir. Kita sudah melakukan yang terbaik. Bayi kita sehat dan kuat, InsyaAllah semuanya akan baik-baik saja. Mas akan selalu ada di sampingmu, menunggu momen indah itu datang."
Zahra tersenyum kecil, meskipun masih ada keraguan di dalam hatinya. "Tapi aku tetap merasa cemas, Gus. Aku ingin semuanya berjalan lancar."
Zidan mengelus kepala Zahra dengan lembut, memberikan ketenangan. "Kita berdoa bersama, Sayang. Semua akan berjalan dengan lancar, dan bayi kita akan hadir dengan sehat."
Setelah beberapa lama, Zidan melanjutkan perjalanan mereka. Namun, ketika mereka sampai di rumah kembali, sesuatu yang tak terduga terjadi. Zahra yang merasa sangat lelah setelah perjalanan itu, tiba-tiba merasakan ada yang aneh dengan perutnya.
"Aduh, Sayang. Perutku... rasanya nggak enak," kata Zahra dengan suara lemah.
Zidan langsung panik, berlari ke arah Zahra. "Apa yang terjadi, Zahra? Kamu baik-baik saja?"
Zahra menggenggam tangan Zidan, menatapnya dengan rasa cemas. "Aku nggak tahu, Mas. Rasanya seperti ada kontraksi, tapi aku nggak yakin. Aku takut ini terlalu dini."
Zidan langsung menghubungi ibunya, Ummi Halimah, yang sedang berada di luar. Ummi Halimah segera pulang ke rumah dengan langkah cepat. Tidak lama kemudian, ayah mertua Zahra, Kiai Idris, juga datang dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Mereka berdua segera memeriksa keadaan Zahra dengan teliti.
Ummi Halimah mengelus perut Zahra dengan penuh kasih sayang. "Zahra, sayang. Ini cuma tanda-tanda kecil, InsyaAllah nggak ada apa-apa. Tapi kalau kamu merasa cemas, kita akan bawa ke rumah sakit."
Zidan terlihat sangat cemas, namun ia tetap berusaha menenangkan Zahra. "Sayang, jangan khawatir. Kita akan segera pergi ke rumah sakit. Semuanya pasti akan baik-baik saja."
Zahra hanya bisa menatap suaminya dengan mata penuh kecemasan. "Aku takut, Gus. Aku takut ada yang salah dengan si kecil."
Kiai Idris yang sejak tadi diam, akhirnya berkata dengan suara tenang. "Zidan, Zahra, ini memang hal yang biasa terjadi menjelang kelahiran. Jangan terlalu cemas. Kalian harus percaya, bayi itu sudah siap untuk datang. Tugas kita adalah menjaga dan merawat."
Zidan mengangguk, sedikit lega mendengar penjelasan dari ayahnya. Ia lalu menatap Zahra, memegang tangannya dengan penuh perhatian. "Sayang, Mas di sini. Mas akan selalu ada untukmu."
Malam itu, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Zidan tetap setia menemani Zahra, dan meskipun kecemasan masih menghantui mereka, ia merasa yakin bahwa keajaiban akan segera datang.
Dengan doa dan harapan yang mengiringi setiap langkah mereka, Zidan dan Zahra menantikan saat-saat indah yang akan mengubah hidup mereka selamanya, saat bayi mereka akhirnya lahir ke dunia. Namun Zidan sengaja belum mengabari kedua mertuanya, takutnya Zahra baru kontraksi ringan saja.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??