Damarius Argus Eugene (22 tahun), seorang Ilmuwan Jenius asli Roma-Italia pada tahun 2030, meledak bersama Laboratorium pribadinya, pada saat mengembangkan sebuah 'Bom Nano' yang berkekuatan dasyat untuk sebuah organisasi rahasia di sana.
Bukannya kembali pada Sang Pencipta, jiwanya malah berkelana ke masa tahun 317 sebelum masehi dan masuk ke dalam tubuh seorang prajurit Roma yang terlihat lemah dan namanya sama dengannya. Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah sistem bernama "The Kill System", yang mana untuk mendapatkan poin agar bisa ditukarkan dengan uang nyata, dia harus....MEMBUNUH!
Bagaimanakah nasib Damarius di dalam kisah ini?
Apakah dia akan berhasil memenangkan peperangan bersama prajurit di jaman itu?
Ikuti kisahnya hanya di NT....
FYI:
Cerita ini hanyalah imajinasi Author.... Jangan dibully yak...😀✌
LIKE-KOMEN-GIFT-RATE
Jika berkenan... Dan JANGAN memberikan RATE BURUK, oke? Terima kasih...🙏🤗🌺
🌺 Aurora79 🌺
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora79, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
R.K.N-26 : ALTAR...
...----------------...
KRIIEEK!
KRIIEEK!
KRIIEEK!
Damarius terlihat sedang mengeruk lumut itu dengan pisau berburunya.
Setelah pekerjaan itu selesai, mereka bisa melihat dan memastikan dengan jelas, apa yang terukir di sana.
"Ada sebuah nama..." ujar Damarius.
"S-Y-L-V--, Sylvanius Varus...!" tambah Damarius sambil mengeja nama itu.
Damarius terus berusaha untuk merontokkan lumut-lumut itu dari huruf-huruf yang terukir kasar itu. Sementara Gildas, dia ikut berjongkok di samping Damarius untuk ikut membersihkan.
Sekarang tulisan kasar itu sudah terlihat dengan jelas.
"Untuk Dewi-Dewi Takdir-Sylvanius Varus, pembawa tongkat kebesaran Kohort Tungrian Kelima bersama Legiun Agustan Kedua...membangun ALTAR ini, agar mereka mau berbaik hati..." seru Gildas dengan suara keras.
"Aku penasaran, apakah mereka benar-benar...berbaik hati..." ujar Damarius, setelah beberapa saat.
Dia berdiri sambil membersihkan debu lumut berwarna keemasan dari jemari tangannya.
"Aku penasaran...dia menginginkan "Kebaikan Para Dewi-Dewi Takdir" itu untuk apa..." tambah Damarius.
"Atau mungkin, dia hanya menginginkan 'Mereka' untuk berbaik hati..." ujar Damarius kembali.
Gildas menggelengkan kepalanya dengan pasti.
"Kamu tidak akan membangun ALTAR, hanya karena menginginkan 'Dewi-Dewi Takdir' untuk berbaik hati secara umum! Tapi kamu benar-benar sangat menginginkan kebaikan mereka, untuk hal tertentu..." ujar Gildas menjelaskan.
"Ya, apapun alasannya...itu sudah berakhir sangat lama. Sudah berapa lama, semenjak kita mundur dari Valentia untuk yang terakhir kalinya?" tanya Damarius pada Gildas.
"Hm...aku tidak yakin! Mungkin...sekitar...seratus lima puluh tahun lalu..." jawab Gildas dengan nada ragu.
Mereka berdua kembali terdiam...
Menunduk untuk memandangi tiga sosok yang terukir kasar dan huruf-huruf yang ditorehkan dengan buruk di bawahnya.
"Jadi ada kata-katanya juga... Apakah benda itu patut dilihat?" tanya Eudocia, yang tiba-tiba ada di belakang mereka.
Gildas yang masih berjongkok di depan batu itu, mendongak sambil tersenyum.
"Ya...! Patut dilihat dalam keadaan perut kenyang atau...kosong!" jawab Gildas dengan nada bercanda.
"Baiklah! Aku paham...makanan sudah siap! Ayo, kita mengisi perut sekarang!" ujar Eudocia yang paham perkataan Gildas.
Sudah tentu Eudocia mempunyai alasan tertentu di balik semua ini, tapi dia tidak akan mengutarakannya...kecuali, pada saat yang sudah dia tentukan.
TRAK!
TRAK!
TRAK!
Ketiganya duduk mengelilingi panci bubur dingin, sambil menyantap roti bermentega serta irisan-irisan tipis daging rusa asap. Mereka makan dengan khidmat.
Setelah itu, barulah Eudocia memecah keheningan dengan ujarannya.
"Batu berukir ini adalah alasan di atas alasan lainnya. Aku harus membawa kalian ke tempat ini dan menunjukkan alasanku berbuat begitu kepada....siapa pun yang mungkin tertarik!" ujar Eudocia memecah kesunyian.
"Kenapa...?" tanya Gildas.
"Karena...orang Pict pun tidak bisa bersembunyi di dalam rerumputan setinggi pergelangan kaki ini, bahkan mendengar dari semak dedalu di sana sampai ke batu ini!" jawab Eudocia menjelaskan.
"Ada beberapa tempat di Albu, yang bisa di pastikan tidak menyembunyikan Suku Barajah kecil di balik batu atau di bawah semak heater..." tambah Eudocia dalam penjelasannya.
"Itu artinya... Kamu mau menceritakan sesuatu kepada kami, yang orang lain tidak boleh mendengarnya?" tanya Gildas kembali.
"Benar! Aku harus menceritakan hal ini kepada kalian..." jawab Eudocia.
Lalu Eudocia mengiris segumpal daging kering dan melemparkannya kepada 4njing favoritnya.
CRESSH!
TAK!
"Sekarang dengarkan aku baik-baik...! Ada utusan-utusan dari lelaki yang bernama Dorymene di Tembok Perbatasan dan di Utara Tembok Perbatasan..." ujar Eudocia dengan nada serius.
"........"
...****************...
mampir juga ya dikarya aku jika berkenan/Smile//Pray/