Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Setelah keluar dari kampus, Renaya langsung meminta Anne mengantarnya ke mall. Anne, seperti biasanya, hanya menuruti permintaan tanpa banyak bertanya. Bagi Renaya, belanja adalah pelarian favoritnya ketika merasa bosan dengan rutinitas sehari-hari. Tidak ada yang lebih memuaskan daripada menghabiskan waktu dengan berkeliling butik-butik mewah sambil menggunakan black card pemberian Mario tanpa batas. Dan bagi Mario, melihat Renaya menikmati hidup dengan bebas adalah kebahagiaan tersendiri.
Renaya melangkah masuk ke salah satu toko tas dengan brand ternama. Interior butik yang elegan, dengan pencahayaan lembut dan aroma khas, seolah menyambutnya seperti ratu. Anne, seperti biasa, mengikutinya dengan langkah mantap, menjaga jarak yang sopan tapi tetap waspada.
Renaya memandang deretan tas yang tersusun rapi di rak, matanya langsung tertarik pada sebuah tas berwarna pink dengan gaya ceria yang mencerminkan jiwa mudanya. Dia mengambilnya dengan hati-hati, memperhatikan detailnya.
“Kak Anne,” panggil Renaya sambil memutar tubuh ke arah wanita tangguh itu. “Tas ini bagus nggak untuk aku?” tanyanya sambil mengangkat tas tersebut agar lebih jelas terlihat.
Anne menatap tas itu sejenak, tersenyum lembut, lalu menjawab, “Tentu, Nona. Ini cocok sekali untuk Anda. Warnanya cerah dan terlihat sangat pas dengan gaya Anda.”
Renaya tersenyum senang mendengar persetujuan Anne. “Aku juga merasa ini cute banget. Kayaknya aku ambil yang ini deh.”
Renaya melangkah ke kasir, Anne tetap mengawasi sekitarnya dengan tenang. Setelah transaksi selesai, Renaya memandang Anne dengan senyuman puas. “Belanja itu memang terapi terbaik,” ujarnya sambil memeluk tas barunya seperti harta karun.
Anne tersenyum kecil, walaupun dia tahu tugasnya bukan untuk menilai gaya hidup Renaya. “Yang penting Nona senang,” balasnya sambil membuka pintu butik untuk Renaya.
Di perjalanan keluar mall, Renaya sempat menoleh ke arah Anne. “Kak, aku jadi penasaran. Apa sih rasanya kerja kayak kamu? Selalu mengawasi orang lain?” tanyanya dengan nada iseng.
Anne tersenyum kecil tapi tetap fokus pada jalannya. “Setiap pekerjaan punya tantangannya masing-masing, Nona. Saya senang bisa membantu menjaga Anda,” jawabnya sopan.
Renaya tertawa kecil. “Kak Anne memang beda, ya. Kakak serius banget!”
Keluar dari butik dengan tas barunya, Renaya tampak puas. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat sosok yang tidak asing di kejauhan—Bella, bergandengan mesra dengan seorang pria yang bukan Arnold. Ruben, pria yang sedang bersama Bella, tersenyum santai tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Bella, yang juga menyadari keberadaan Renaya, segera melepaskan tangannya dari Ruben dengan gerakan canggung. Renaya, yang sejak awal sudah tidak menyukai Bella, langsung merasa darahnya mendidih. Namun, Bella lebih dulu membuka suara dengan nada penuh sindiran.
“Wah! Nggak pernah pulang ke rumah, nggak pernah nengok Papinya, ternyata jalan-jalan terus,” kata Bella dengan suara yang dibuat manis tapi jelas penuh ejekan. “Enak amat ya jadi peliharaannya Mario.”
Renaya berhenti sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Namun, sindiran Bella terlalu menyakitkan untuk diabaikan. Dia mendelik tajam, mengarahkan tatapan penuh amarah pada wanita itu.
“Bilang saja Tante iri,” balas Renaya dengan suara dingin. “Salah sendiri dulu kenapa meninggalkan Daddy Mario. Kalau Tante nggak bodoh, mungkin Tante yang sekarang ada di posisiku.”
Bella memerah mendengar jawaban itu, sementara Ruben mencoba menyentuh lengannya untuk menenangkan, tapi Bella mengibaskan tangannya.
“Lagian,” lanjut Renaya dengan nada yang lebih tinggi, “Tante kenapa jalan nggak sama Papi? Kok malah mesra sama laki-laki ini? Memang dasar perempuan gatel, ya begitu itu, nggak puas hanya dengan satu laki-laki! Aku bakal laporin Tante ke Papi!”
Bella tampak marah dan terkejut, tetapi sebelum dia sempat membalas, Anne melangkah maju. Tubuhnya yang tegap dan sikapnya yang tegas segera menciptakan jarak antara Renaya dan Bella.
“Jaga bicara Anda, atau saya laporkan Anda kepada Tuan Mario,” ujar Anne dengan nada rendah tapi penuh kewibawaan. Tatapannya dingin, membuat Bella terdiam sejenak.
“Siapa kamu, sok ikut campur urusan keluarga orang lain?” sergah Bella akhirnya, berusaha mempertahankan martabatnya.
Anne tetap tenang. “Saya adalah bodyguard yang ditugaskan untuk melindungi Nona Renaya. Tugas saya memastikan dia aman, termasuk dari omongan-omongan yang tidak pantas seperti ini. Jika Anda melanjutkan, saya tidak akan segan untuk melapor.”
Renaya melipat tangan di dada, merasa puas dengan dukungan Anne. “Dengar itu, Tante,” katanya sambil mendengus. “Mungkin Tante lupa, sekarang aku ada di bawah perlindungan Daddy. Apa saja yang Tante lakukan, pasti akan ketahuan.”
Bella tampak semakin gelisah, sementara Ruben menunduk, jelas tidak nyaman berada di tengah situasi ini.
“Nona Renaya,” ujar Anne dengan suara lembut tapi tegas, “sebaiknya kita pergi sekarang. Tidak ada gunanya memperpanjang masalah ini.”
Renaya mengangguk, meskipun masih menatap Bella dengan tatapan tajam. “Kita lihat saja, Tante,” katanya sebelum berbalik dan berjalan pergi bersama Anne.
Saat mereka melangkah menjauh, Anne memastikan untuk menjaga Renaya tetap di dekatnya, memperhatikan sekitar dengan penuh kewaspadaan.
“Terima kasih, Kak Anne,” ujar Renaya pelan setelah beberapa saat.
“Saya hanya menjalankan tugas, Nona,” balas Anne. “Tapi, saya sarankan untuk tidak memancing situasi seperti tadi. Lebih baik kita fokus pada hal-hal yang penting.”
Bella berdiri mematung, menatap punggung Renaya dan Anne yang semakin menjauh. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu, tetapi juga amarah yang membara di dadanya.
“Anak kecil itu benar-benar tidak tahu diri,” gumam Bella dengan suara tertahan, matanya menyipit penuh kebencian. Dia melirik Ruben yang berdiri di sampingnya, tampak bingung harus berkata apa.
“Dan kamu,” sergah Bella tiba-tiba, suaranya tajam, “Kenapa kamu malah diam saja tadi? Harusnya kamu membela aku!”
Ruben menghela napas panjang, mencoba menenangkan Bella. “Apa yang harus aku lakukan? Kamu tahu kan Mario bukan orang sembarangan. Lagipula, itu bodyguard-nya. Kalau kita buat masalah, semuanya malah bisa berbalik ke kita.”
Bella memutar bola matanya, tak puas dengan jawaban Ruben. “Anak itu benar-benar licik. Semua yang dia punya sekarang seharusnya jadi milikku! Kalau saja Mario tidak tergila-gila sama dia...”
Ruben menatap Bella dengan ekspresi heran. “Kamu serius ingin melawan Mario? Kamu sadar kan apa risikonya?”
Bella mendengus, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Risiko apapun akan aku hadapi. Aku tidak akan membiarkan anak itu terus-menerus meremehkan aku. Dia pikir dia siapa, hah? Cuma gadis kecil yang bergantung sepenuhnya pada pria lebih tua.”
“Dan kamu pikir kamu beda?” Ruben menjawab dengan nada sarkastik, mengangkat sebelah alis.
Bella mendelik tajam ke arahnya, tetapi Ruben mengangkat tangan seolah menyerah, tidak mau memperpanjang masalah. “Oke, oke. Aku cuma bilang jangan gegabah. Kamu tahu sendiri Mario punya mata di mana-mana. Kalau kamu nekat, itu sama saja cari mati.”
Bella menggigit bibir bawahnya, hatinya terbakar oleh rasa tidak adil yang ia rasakan. Namun, ia tahu Ruben ada benarnya. Mario adalah pria yang tidak hanya berkuasa, tetapi juga sangat protektif terhadap Renaya. Langkah salah sedikit saja, Bella bisa kehilangan semuanya.
“Kalau begitu, aku harus lebih pintar,” gumam Bella, lebih kepada dirinya sendiri. Tatapannya masih tertuju pada Renaya yang kini sudah hilang dari pandangan. “Aku akan cari cara untuk membuatnya jatuh tanpa melibatkan Mario.”
Ruben menatap Bella dengan tegas, mencoba menarik perhatian wanita yang tampak terbakar amarah itu. "Dengar, Bella," katanya dengan nada rendah namun penuh penekanan. "Jangan lupa tujuan utama kita. Kamu bilang sendiri, semua ini tentang harta Arnold dulu. Itu yang penting. Jangan sampai emosimu terhadap Renaya membuat kita kehilangan fokus."
Bella mengerutkan kening, matanya masih menyipit tajam. "Aku tahu itu, Ruben," balasnya dengan nada dingin. "Tapi anak itu benar-benar membuatku naik darah. Dia pikir dia siapa, hah? Berani-beraninya bicara seperti itu di depan umum!"
Ruben menghela napas panjang. "Kamu biarkan dia memancingmu seperti ini, dan itu hanya akan membuat rencana kita berantakan. Ingat, Arnold itu licik. Harta dia dulu seharusnya memang milikmu—dan aku di sini untuk memastikan kamu mendapatkannya. Tapi kalau kamu terjebak di drama kecil seperti ini, kita tidak akan pernah berhasil."
Bella terdiam sejenak, tampak merenungkan kata-kata Ruben. Namun, tatapan penuh kebenciannya masih belum sepenuhnya mereda. "Renaya adalah bagian dari masalah ini," gumamnya. "Dia pewaris utama. Kalau dia terus ada di bawah perlindungan Mario, aku tidak akan bisa bergerak leluasa."
Ruben menggeleng pelan, mencoba menenangkan Bella dengan nada yang lebih sabar. "Kita tidak perlu menjatuhkannya langsung. Fokus pada Arnold dulu. Kita tahu dia tidak sebersih yang dia klaim selama ini. Kalau kita bisa membuat dia tersingkir, jalannya akan lebih mudah. Jangan biarkan Mario atau Renaya mendistraksi kita."
Bella akhirnya mendesah berat, seolah mencoba menekan amarahnya. "Baiklah," katanya akhirnya, meski nada suaranya masih terdengar enggan. "Tapi Ruben, kalau Renaya terus mencari masalah denganku, aku tidak akan tinggal diam."
Ruben mengangkat bahu. "Kalau itu terjadi, kita pikirkan nanti. Sekarang, prioritaskan yang penting. Arnold dulu, baru yang lainnya."
Bella mengangguk perlahan, meski sorot matanya masih menunjukkan kebencian yang mendalam. "Arnold dulu," ulangnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri. "Tapi Ruben, aku tidak akan melupakan anak itu. Dia akan mendapat balasannya suatu saat nanti."
Ruben hanya tersenyum tipis, memilih tidak menanggapi lebih jauh. Dia tahu, ketika Bella sudah punya tekad seperti ini, tidak ada yang bisa menghentikannya. Justru jika Ruben tetap mengikuti permainan Bella maka keuntungan besar ada pada dia kan?