"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. Memancing Badai
"Aaaa...tentu saja. Aku mencintaimu sayang, pertanyaan apa lagi ini?" Galih terkekeh kaku.
"Jika begitu, mengapa kamu mengkhianatiku???"
Pertanyaan itu seperti guntur di telinga Galih. Tetapi Anin sama sekali tak menunjukkan ekspresi apapun.
"Aku? Mengkhianatimu? Jangan mengada-ada!" Galih menggelengkan kepalanya, wajahnya merah padam.
"Jangan bercanda, siapa yang telah membuatmu berfikir seperti itu???"
Anin sama sekali tak bersuara tetapi tatapannya sama sekali tak bergeming. Mata itu terluka dan sedih, murka dan di penuhi amarah tetapi terkunci oleh hatinya yang tiba-tiba di selimuti kebekuan.
"Sayang..." Galih terlihat gelagapan tetapi berusaha tetap tenang.
"Beri aku alasan! Apa yang kurang dariku? Apa yang membuatmu melalukan semuanya padaku?" Suara Anin terdengar serak.
"Aku melakukan apa?"
"Tolonglah, jawab saja. Supaya aku tahu kenapa."
"Sayang! Jangan menyudutkan aku seperti ini! Aku tak pernah mengkhianatimu! Ada apa sih denganmu? jangan hanya demi bertengkar kamu mengada-ada. Itu seperti memancing badai?" Galih berdiri dari duduknya, menunjukkan begitu marahnya dia sekarang terhadap sikap Anin padanya.
Anin mendonggakkan wajahnya, semburat amarah dan putus asa membayang melihat bagaimana suaminya itu berkelit dan malah menunjukkan kemarahannya pada Anin, seolah dia sangat tak terima dengan apa yang di katakan oleh sang istri.
Orang yang bersalah, bukankah cenderung berusaha bersikap emosional untuk menutupi kesalahannya, hanya karena tak ingin mengakui apa yang telah di lakukannya.
"Kamu berteriak padaku hanya demi dia?" Anin menelan ludahnya yang terasa pahit.
"Demi siapa? Jangan membuatku marah, aku cukup sakit kepala dengan pekerjaan kantor, selama ini aku bekerja mati-matian siang dan malam supaya bisa membuatmu dan Gita hidup senang tak kekurangan apapun dan sekarang..." Nafas Galih terdengar ngos-ngosan. Kalimat yang di ucapnya menyembur begitu saja.
"Dan sekarang kamu menuduhku yang bukan-bukan?! Selama ini, apa pernah aku mengabaikanmu? selama ini, apa pernah aku melupakan tugasku sebagai suami? Hah?!" Galih bertahan di pinggir meja, menahan tubuhnya yang gemetar, seakan ingin mengintimidasi Anin yang tengah mendonggak menatapnya. Berharap nyali istrinya ini ciut dan melupakan apa yang kini sedang di permasalahkannya.
"Apakah aku adalah istri yang buruk?" Anin malah menjawabnya dengan pertanyaan yang lain.
"Aku tak mau membicarakan hal tak penting seperti ini. Seharusnya kamu lebih percaya pada suamimu dari pada gosip yang tak jelas." Galih meradang.
"Apakah yang membuatmu begitu membelanya dengan mati-matian menyembunyikannya dariku? Bahkan satu kejujuran yang ku harapkan darimu, untuk membuat satu celah bagiku memperbaiki hubungan kita ternyata tak berarti apapun. Kamu mengkhianatiku satu setengah tahun dan men!duri sahabatku sendiri di belakangku, seolah itu bukan kesalahan bagimu? Sebagai istri aku telah memberimu satu kesempatan mengakui kesalahanmu padaku, tetapi yang ku terima adalah kemarahanmu. " Hati Anin benar-benar sakit.
"Sayang, berhentilah membicarakan omong kosong."
"Aku hanya ingin mendengarkan sebuah pengakuan darimu..." Sebulir bening jatuh dari sudut mata Anin, buru-buru dia menundukkan wajahnya. Dia tidak lemah tetapi sebagai istri dia masih ingin bersikap adil pada sang suami karena mungkin saja selama ini ada sesuatu yang telah terjadi tanpa di sadarinya sehingga suaminya itu berpaling.
Hanya sekedar ingin tahu, meski dia tak tahu apakah dia mampu melupakan apa yang telah terjadi begitu saja.
"Tak ada yang perlu kamu dengarkan! Selama ini aku bersikap sebagai suami yang terbaik buatmu, membuatmu nyaman dan bahkan aku sanggup menentang keluargaku demi kamu. Lalu, sekarang dengan tingkah yang aneh kamu seakan menuduhku telah melakukan pengkhianatan padamu. Apa kamu sudah gila?" Rahang Galih bergemerutuk, seperti menahan kesal.
"Apa hubunganmu dengan Ratna?" Anin menyela tiba-tiba.
Galih terdiam seketika, mulutnya terbuka matanya yang sebesar kelereng itu seakan ingin melompat dari rongganya.
"A...apa maksudmu?" Suara Galih tertahan seperti baru saja di lempar bom. Raut wajahnya sejenak terlihat panik tetapi sedapat mungkin dia menutupi dengan tatapan kesalnya.
"Apakah kamu mencintai Ratna?"
"Astaga, Anin!"
Pertama kali setelah pernikahan mereka Galih memanggil namanya begitu saja. Anin memejamkan matanya, sudah terlanjur, ini bukan soal memancing badai tetapi soal mengendalikan badai yang mungkin saja bisa meruntuhkan psikolgisnya sebagai seorang perempuan dan istri.
"Dia sahabatmu! Bagaimana bisa kamu melemparkan tuduhan yang bukan-bukan padanya dan padaku. Kamu ini kenapa sih sebenarnya?" Galih berusaha berkelit.
"Karena dia sahabatku, karena itu aku bertanya padamu, apa hubunganmu dengan Ratna?"
"Aku dan Ratna tak punya hubungan apapun. Dia adalah temanmu karena itu aku juga menganggapnya teman. Kenapa kamu permasalahkan itu?" Cecar Galih dengan wajah merah merona.
"Kamu tak memiliki hubungan apapun dengannya?" Anin perlahan berdiri, sekarang mereka berdiri berhadapan hanya di pisahkan oleh meja kecil bundar itu.
"Aku tak punya hubungan apapun dengan Ratna! Puas?" Galih menggeram dengan marah.
"Kalau kamu tak punya hubungan apapun dengan Ratna lalu mengapa kamu semarah ini padaku?" Tanya Anin, sarat dengan nada sinis.
"Aku marah karena kamu tak mempercayaiku, aku marah karena kamu menuduhku sembarangan! Bagaimana aku bisa tidak marah jika istriku sendiri tanpa angin tanpa badai tiba-tiba memojokkan aku begini?" Galih mencengkeram kedua lengan Anin, seakan menunjukkan semarah apa dia pada Anin sekarang.
"Naluri seorang istri..."
"Naluri apa? cemburumu sudah di luar batas, bahkan pada temanmu sendiri kamu begitu curiga. Ayolah, bukti apa yang kamu punya supaya bisa menguatkan tuduhanmu yang tak beralasan ini?"
Anin terdiam sesaat, menatap lurus pada sang suami seakan ingin menel@njangi hati lelaki ini. Yang di temukannya hanya mata yang membara, bahkan tak nampak penyesalan di sana.
Bukti? Dia menanyakan bukti? Anin hanya menggeleng. Suatu saat kamu akan melihat bukti yang kamu minta, tapi bukan hari ini!
"Hanya naluri..." Anin menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sambil meringis, memberi isyarat lengannya terasa hendak remuk di cengkeram sedemikian rupa oleh Galih.
Galih menarik nafasnya yang berat seraya mrlepaskan cengkeraman tangannya.
"Sudahlah, sayang. Imajinasimu terlalu besar, tak ada perempuan lain di hatiku selain kamu, apalagi jika itu adalah Ratna. Dia seperti adik saja bagiku, bagaimana bisa kamu berfikir kami memiliki hubungan lebih." Galih menggeser badannya dan kemudian meraih Anin ke pelukannya.
Anin menggigit bibirnya yang gemetar, matanya terasa pedas tetapi dia tak mau memejamkannya takut kabut itu menjadi hujan.
"Kalau perlu, aku akan membawa Ratna ke hadapanmu untuk menjelaskannya jika itu bisa menenangkan hatimu..."
Anin tak lagi bersuara, membiarkan saja Galih terus mengoceh seraya meneluknya. Jauh dari pengakuan dan penyesalan, Galih malah berusaha menutupi semuanya dengan sikapnya yang sedikit emosional.
"Baiklah, sebagai istri aku telah memberimu kesempatan tetapi kamu sama sekali tak memberiku pilihan. Aku seperti berpegang di sehelai rambut untuk mendapatkan sedikit keyakinan bahwa semuanya bisa jadi dasar untukku bertahan. Tetapi, apa yang ku terima? Kemarahanmu. Maafkan aku, satu setengah tahun pengkhianatanmu bukan lagi hal yang bisa ku abaikan begitu saja. Aku akan membuatmu mengakui dengan mulutmu bahwa kamu telah sengaja menghancurkanku dengan pengkhianatanmu! Aku tak punya apa-apa di dunia ini, kecuali seorang anak dan harga diriku. Lalu apa yang kupertahankan lagi?"
Anin membasahi kerongkongannya yang kering. Di biarkannya Galih memeluknya, pelukan terakhir yang akan di ingatnya sebagai pelukan seorang suami yang di cintainya.
...***...
Readers kesayangan ☺️,
Untuk para Suami yang tega menyelingkuhi istrinya, jika kamu ingin tahu rasanya perasaan istrimu ketika dia mendapati kamu memiliki perempuan lain selain dirinya, maka ketahuilah, dia harus berjuang mati-matian melawan rasa sakit hati, rasa kecewa, ketidak kepercayaan, rasa rendah diri serta insecure dan luka batin yang sulit disembuhkan.
Jika dia masih bisa tersenyum, jangan kira dia kuat dan baik-baik saja, dia hanya sedang memungut reruntuhan kelercayaan dirinya yang hancur, ada titik dimana dia betul-betul tidak berdaya menahan semuanya, hingga menangispun tak berairmata.
Dan saat hatinya menjadi beku mati rasa, jangan tanya dendam seperti apa yang bisa dia simpan dan dia semburkan.
Dah double UP ya hari ini, dukung selalu ya novel ini ya biar semangat author nulisnya, love u all☺️☺️☺️☺️