Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15 ( Hujan dan Detak Jantung )
Sasa dan Algar berdiri dalam keheningan yang tak terdefinisikan. Mata mereka saling bertemu sejenak, namun seperti ada beban yang sulit dijelaskan. Sasa segera mengalihkan pandangannya, pura-pura sibuk merapikan pakaian yang sedikit basah terkena percikan air saat mencuci piring. Algar juga melakukan hal serupa, menarik napas pelan sambil melipat lengan baju yang sudah tergulung.
Udara malam semakin dingin, dan suara gemericik hujan mulai terdengar dari luar. Sasa melirik ke arah jendela dapur yang masih sedikit terbuka. “Udah hujan, harusnya tadi jendela ditutup,” gumamnya pelan sambil melangkah ke arah jendela.
Algar menoleh, mengamati Sasa yang bergerak dengan tenang. Ia hanya berdiri di tempat, memperhatikannya dari jauh. Cahaya remang-remang lampu dapur membuat bayangan tubuh Sasa terlihat samar, seolah menjadi fokus tunggal dalam ruangan itu.
Sasa meraih gagang jendela dan menariknya hingga tertutup rapat. Namun, sebelum ia sempat kembali ke meja, ia menyadari Algar sudah berdiri di dekatnya. Jarak mereka hanya beberapa langkah.
“Al?” panggil Sasa dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Algar tidak menjawab. Tatapannya tertuju langsung pada Sasa, intens dan tanpa kedip. Mata gelapnya seperti mencari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Sasa hanya bisa terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Jantungnya berdebar keras, hampir menyakitkan. Ia mencoba mengatur napas, tapi kehadiran Algar yang semakin dekat membuatnya kehilangan kendali.
Tanpa berkata apa-apa, Algar mengangkat tangannya dan meletakkannya di tepi jendela, tepat di atas kepala Sasa. Gerakannya pelan, penuh kehati-hatian, seolah memberi Sasa kesempatan untuk menolak. Namun, Sasa tetap diam, matanya terfokus pada wajah Algar yang perlahan mendekat.
Detik-detik berlalu begitu lambat, seakan waktu berhenti untuk mereka. Wajah Algar semakin dekat, hingga ia bisa merasakan napasnya yang hangat bercampur dengan dinginnya udara hujan di luar. Mata mereka kembali bertemu, dan kali ini Sasa tidak bisa berpaling. Tatapan itu begitu kuat, seolah mampu menembus dinding hatinya yang selama ini ia jaga rapat-rapat.
“Sa,” suara Algar terdengar rendah, hampir seperti bisikan.
Sasa tidak menjawab. Lidahnya kelu, tubuhnya terasa kaku. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan momen itu terjadi. Algarnya tidak melakukan gerakan tiba-tiba. Ia hanya mendekatkan wajahnya, menjaga agar jarak mereka tetap cukup intim, namun tidak sepenuhnya melewati batas.
Di tengah suasana yang begitu intens, suara hujan di luar terdengar semakin deras, seperti menjadi latar sempurna untuk keheningan mereka. Sasa akhirnya berani menghela napas, matanya sedikit menunduk, tetapi ia tidak bergerak menjauh.
“Apa yang bikin lo deg-degan?” tanya Algar tiba-tiba, suaranya nyaris menggoda, namun juga lembut.
Sasa menelan ludah, berusaha menemukan kata-kata, tetapi hanya bisa menggeleng pelan. “Nggak... nggak ada apa-apa,” jawabnya akhirnya, suaranya bergetar.
Algar tersenyum kecil, masih menatapnya dengan intensitas yang sama. “Kalau nggak ada apa-apa, kenapa lo nggak bisa lihat gue langsung?”
Kata-katanya seperti angin lembut yang menyentuh hati Sasa. Ia mencoba melawan perasaan itu, tapi semakin ia melawan, semakin ia tenggelam. Suasana di antara mereka begitu dekat, begitu hangat meski udara di luar dingin.
Namun, sebelum sesuatu terjadi, Sasa tiba-tiba melangkah mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya sambil mencoba menenangkan diri.
“Gue... gue harus balik ke kamar,” katanya buru-buru.
Algar tidak menahan, tapi tatapannya tidak beranjak dari Sasa. Ia hanya tersenyum tipis, seolah memahami. “Oke. Tapi kalau lo nggak bisa tidur lagi, lo tahu gue masih di sini, kan?” ucapnya lembut.
Sasa hanya mengangguk kecil sebelum berbalik dan berjalan cepat menuju tangga. Hatinya masih berdebar kencang, dan wajahnya terasa panas meski udara malam begitu dingin. Sesampainya di kamar, ia merebahkan diri di tempat tidur, menatap langit-langit sambil mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang pasti—malam itu, Sasa tahu bahwa ada sesuatu yang berubah.
Algar masih berdiri di dapur, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya. Setelah Sasa beranjak pergi, ia meraih gelas yang tergeletak di meja dan menuangkan air dari teko di dekatnya. Tangannya sedikit gemetar—bukan karena dinginnya udara, melainkan perasaan yang baru saja menguasainya. Ia mengangkat gelas itu ke bibirnya, meminum pelan-pelan, seolah air dingin itu bisa meredakan gejolak yang masih mengendap dalam dadanya.
Saat gelas itu kosong, Algar meletakkannya kembali di atas meja, pandangannya tertuju pada permukaan air yang tersisa di dalam teko. Ia tersenyum kecil, nyaris tak kentara.
"Apa yang gue lakuin tadi?" gumamnya pada diri sendiri, setengah tertawa, setengah terheran-heran. Namun, meski pikirannya sibuk mempertanyakan, hatinya tahu betul jawabannya. Ia merasa senang—lebih dari itu, mungkin bahagia. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, tapi momen tadi di dekat Sasa terasa begitu berarti.
Algar melangkah perlahan keluar dari dapur, melewati ruang tengah yang kini hanya diterangi cahaya lampu kecil. Hujan di luar masih turun dengan ritme yang konstan, menciptakan irama yang menenangkan. Tangannya menyentuh dinding dingin di lorong, sementara pikirannya terus kembali pada wajah Sasa—tatapan gugupnya, suara lembutnya, dan cara dia tetap berdiri di sana, meski jelas-jelas hatinya berdebar kencang.
Saat tiba di depan kamarnya, Algar berhenti sejenak. Ia menatap pintu kayu di depannya, lalu menghela napas panjang. “Gue nggak pernah kayak gini sebelumnya,” gumamnya sambil menggeleng pelan. Bibirnya masih melengkung dalam senyuman tipis, tanda bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang.
Ia membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, membiarkan dirinya tenggelam dalam suasana yang lebih pribadi. Ruangan itu terasa hangat, meski jendela kecil di sudutnya masih memantulkan suara hujan dari luar. Algar duduk di tepi tempat tidur, melepaskan jam tangan yang masih melingkar di pergelangan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kasur.
Pikirannya masih dipenuhi bayangan Sasa. Tatapannya yang intens, caranya menghindar dengan gugup, bahkan langkah kecilnya saat menutup jendela tadi. Semua itu terulang di kepala Algar, seolah-olah menjadi rekaman yang diputar berulang kali.
Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, tapi senyum kecil itu tak kunjung hilang. “Sasa...” bisiknya, nama itu terasa manis di bibirnya. “Kenapa lo selalu bikin gue ngerasa kayak gini?”
Setelah beberapa saat, ia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan masih setia menemani malam. Algar menarik selimutnya, merebahkan tubuh, dan memejamkan mata. Namun, meski ia mencoba tidur, bayangan Sasa tetap melekat, menjadi pengisi malam yang takkan mudah dilupakan.