Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Kecemburuan dan Harapan
Cahaya hijau itu membutakan sesaat, membuat Ayla menutup mata rapat-rapat. Tubuhnya terasa ringan, seakan ditarik ke suatu tempat yang tidak nyata. Namun, saat dia membuka matanya, dia mendapati dirinya berdiri di tengah sebuah padang luas yang tak dikenal.
Di sekelilingnya, langit berwarna kelabu pucat dengan kilatan petir yang muncul tanpa suara. Rumput di bawah kakinya tampak hidup, berbisik pelan seperti mencoba menyampaikan pesan.
"Ayla!" Suara Kael terdengar panik, dan dia melihat lelaki itu berdiri tak jauh darinya, pedangnya sudah terhunus.
“Aku di sini,” balas Ayla, suaranya bergetar. Dia melirik ke samping dan mendapati Arlen berdiri di sisi lainnya, ekspresinya tampak lebih tenang tetapi tetap waspada.
“Tempat apa ini?” tanya Arlen, matanya menyisir sekeliling. Sorot perak di matanya menyala samar, menunjukkan bahwa dia sedang mencoba merasakan keberadaan sihir di sekitar mereka.
“Ini bukan dunia kita,” jawab Kael, tegas. “Ini jebakan Noir.”
Tiba-tiba, suara tawa bergema di udara, membuat ketiganya langsung berjaga. Bayangan Noir kembali muncul, kali ini lebih jelas daripada sebelumnya. Sosoknya menjulang, gelap seperti kabut malam, dengan mata merah yang bersinar menembus kegelapan.
“Selamat datang di permainan terakhirku,” kata Noir, suaranya menggema. “Kalian ingin jawaban, bukan? Maka buktikan bahwa kalian layak mendapatkannya. Tapi ingat, Ayla… setiap langkah yang kau pilih akan menentukan nasib dunia ini.”
Sebelum mereka sempat merespons, tanah di bawah mereka mulai bergetar. Dari kejauhan, makhluk-makhluk aneh bermunculan—bayangan hitam berbentuk menyerupai manusia, tetapi dengan mata merah menyala dan gerakan yang seperti kabur.
Kael mengangkat pedangnya, melirik Ayla dan Arlen. “Kita tidak punya waktu untuk ragu. Mereka datang.”
“Aku akan melindungi Ayla,” ujar Arlen, nadanya seperti tantangan terselubung. “Fokus saja pada apa yang kau lakukan terbaik.”
Kael tidak menanggapi, tetapi sorot matanya menunjukkan ketegangan yang jelas.
Makhluk-makhluk itu mulai mendekat, dan pertempuran pecah. Kael dengan cepat memimpin serangan, pedangnya menebas bayangan satu demi satu. Namun, setiap kali satu bayangan lenyap, yang lain muncul menggantinya, seolah-olah mereka adalah bagian dari tempat ini.
Arlen mengangkat tangannya, melantunkan mantra dengan cepat. Cahaya perak melesat dari telapak tangannya, membentuk lingkaran pelindung di sekitar Ayla. “Jangan jauh-jauh dariku,” katanya, matanya tetap waspada.
Namun Ayla merasa terjebak. Dia bukan hanya seorang penonton, tapi juga kunci dalam permainan ini. Kata-kata Noir masih terngiang di kepalanya: “Pilihlah…”.
“Ayla, fokuslah!” seru Kael, mengalihkan perhatiannya. Makhluk-makhluk itu semakin mendekat, jumlah mereka tidak ada habisnya.
Dia menutup matanya sejenak, mencoba mengendalikan napasnya. Ketika dia membuka mata kembali, ada sesuatu yang berubah. Kristal hijau di dadanya—hadiah yang anehnya diberikan Noir sebelum ini—mulai bersinar. Cahaya itu terasa hangat, seperti energi yang mengalir melalui tubuhnya.
“Ayla, apa yang kau lakukan?” tanya Arlen, tatapannya penuh kekhawatiran.
“Aku tidak tahu,” jawab Ayla jujur, tetapi dia tidak menghentikan aliran energi itu. Cahaya dari kristal menyebar, menciptakan jarak di antara mereka dan makhluk-makhluk bayangan.
Bayangan Noir muncul kembali, kali ini lebih dekat. “Kau mulai menyadarinya, Ayla,” katanya, penuh arti. “Tapi apakah kau siap membayar harga untuk itu?”
Ayla tidak menjawab. Dia tahu bahwa keputusan yang akan dia buat tidak hanya akan menentukan nasibnya sendiri, tetapi juga dunia manusia dan dunia lain yang terus berkonflik.
“Ini belum selesai,” gumamnya, lalu cahaya itu meledak, menyelimuti semuanya dalam keheningan.
Ketika cahaya itu memudar, Ayla, Kael, dan Arlen mendapati diri mereka berada di tempat berbeda. Sebuah istana megah menjulang di depan mereka, namun bentuknya aneh—dindingnya seperti terbuat dari kaca hijau yang berdenyut hidup. Langit di atas mereka semakin gelap, dan suara desis samar terdengar seperti bisikan-bisikan asing.
Kael langsung mengangkat pedangnya, tatapannya tajam. "Apa lagi ini? Noir membawa kita ke mana sekarang?"
Arlen melangkah maju, matanya perak berkilat saat dia memindai lingkungan. “Tempat ini... penuh dengan sihir. Ini mungkin inti dari permainan Noir. Hati-hati, kita pasti diawasi.”
Ayla hanya terdiam, tangannya menyentuh kristal hijau yang kini memudar di dadanya. Kilatan aneh tadi masih terasa di tubuhnya, dan dia tahu kekuatan itu bukan sepenuhnya miliknya. Noir memberikannya dengan tujuan yang belum sepenuhnya jelas.
“Mereka ingin memisahkan kita,” kata Ayla akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Noir ingin aku memilih... tapi itu bukan hanya soal jawaban. Dia ingin melihat apa yang akan kita lakukan dalam tekanan.”
Kael menoleh, alisnya berkerut. “Kita tidak bisa memainkan permainannya. Apapun itu, kita harus tetap bersama.”
Arlen tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak ramah. “Itu mudah diucapkan. Tapi jika Ayla adalah pusat dari semua ini, maka setiap langkah kita tergantung padanya. Apakah kau sudah siap, Ayla?”
Ayla menatap Arlen, lalu Kael. Dalam hati, dia merasakan berat tanggung jawab yang menghimpit. Tapi dia tahu dia tidak bisa terus bergantung pada mereka. Kali ini, dia harus bertindak.
Tanpa peringatan, pintu istana terbuka dengan sendirinya. Dari dalam, cahaya hijau redup memancar, memancarkan aura dingin yang hampir membuat napas mereka membeku.
“Kita harus masuk,” kata Ayla.
Kael melangkah maju, tetapi Ayla menghentikannya dengan tangan di dadanya. “Tidak. Kali ini, aku yang memimpin.”
Kael terlihat ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku tidak akan jauh darimu.”
Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam istana. Begitu melewati pintu, mereka langsung disambut oleh sebuah aula besar. Di tengah aula itu, berdiri sebuah patung kristal yang sangat mirip dengan Ayla.
“Luar biasa,” bisik Arlen, matanya terpaku pada patung itu. “Ini seperti dirimu, Ayla. Tapi...” Dia menyipitkan mata. “Kenapa ada bekas retakan di dadanya?”
Ayla mendekat, mencoba memahami maksud dari patung itu. Kristal di dadanya berpendar lagi, kali ini lebih kuat, seolah-olah bereaksi terhadap sesuatu.
“Ini bukan sekadar patung,” kata Ayla dengan suara bergetar. “Ini... adalah kunci.”
“Kunci untuk apa?” tanya Kael, mendekat.
Sebelum Ayla sempat menjawab, suara Noir kembali terdengar, menggema di seluruh ruangan.
“Kunci untuk pilihan terakhir, Ayla. Satu langkah lagi, dan kau akan tahu segalanya... atau kehilangan segalanya.”
Lantai di bawah mereka mulai bergetar. Patung kristal itu perlahan mulai hidup, retakan di dadanya semakin besar hingga sebuah cahaya keluar dari dalamnya. Dari retakan itu, bayangan mulai merayap keluar, membentuk sosok yang menyerupai Ayla tetapi dengan mata hijau menyala seperti milik Noir.
“Apa itu?” Kael segera mengangkat pedangnya, bersiap menyerang.
“Noir menciptakan ini sebagai bagian dari ujiannya,” jawab Arlen, matanya tidak lepas dari bayangan itu. “Tapi ini lebih dari sekadar ilusi. Ini adalah bagian dari Ayla.”
Bayangan itu tersenyum dingin, lalu berbicara dengan suara yang mirip dengan Ayla. “Siapkah kau melawan dirimu sendiri, Ayla? Siapkah kau menghadapi semua kebenaran yang selama ini kau hindari?”
Ayla menelan ludah, tangan gemetar saat dia mendekati bayangan itu. Kristal di dadanya berdenyut kuat, hampir menyakitkan. “Aku tidak akan lari lagi,” katanya akhirnya. “Jika ini adalah jalannya, aku akan melawan, bahkan jika itu berarti menghadapi diriku sendiri.”
Kael dan Arlen tampak hendak melangkah maju, tetapi Ayla mengangkat tangannya, menghentikan mereka. “Tidak. Ini pertarunganku.”
Bayangan itu tertawa kecil, lalu mengangkat tangan, menciptakan pusaran energi hijau yang berderak di udara. “Baiklah, Ayla. Mari kita lihat apakah kau benar-benar layak untuk jawaban yang kau cari.”
Ayla berdiri teguh, tatapannya penuh tekad. Kali ini, dia tahu bahwa setiap langkah yang dia ambil akan membawa dampak besar—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Kael, Arlen, dan dunia yang berada di ujung kehancuran.
Bayangan Ayla bergerak lebih cepat daripada yang bisa diantisipasi. Dalam sekejap, pusaran energi hijau meluncur ke arah Ayla, menciptakan semburan angin yang memaksa Kael dan Arlen mundur beberapa langkah. Namun, Ayla tidak bergeming. Kristal di dadanya memancarkan cahaya yang sama terang dengan pusaran energi itu, melindunginya seperti perisai tak terlihat.
“Bagus,” kata bayangan itu, suaranya dingin dan tajam. “Tapi kau tidak bisa hanya bertahan, Ayla. Jika kau ingin memenangkan ini, kau harus menyerang.”
Ayla mengepalkan tangan, tetapi ragu-ragu. Bagaimana mungkin dia menyerang sesuatu yang terasa seperti bagian dari dirinya?
“Jangan biarkan dia mengontrolmu!” teriak Kael dari belakang. “Kau lebih kuat dari yang kau kira, Ayla!”
“Tutup mulutmu,” ejek bayangan itu, melirik Kael. “Dia tidak membutuhkan nasihat dari orang yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri.”
Kael hampir melangkah maju, tetapi Arlen menahan bahunya. “Jangan. Ini ujian Ayla. Jika kau terlibat, kau hanya akan membuatnya lebih sulit.”
Ayla mengabaikan perdebatan di belakangnya. Dia memusatkan pikirannya, mencoba memahami hubungan antara dirinya dan bayangan itu. Energi yang keluar dari bayangan itu terasa familier, seperti memori yang terkubur di dalam hatinya.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Ayla, suaranya tegas. “Apakah kau hanya bagian dari Noir, atau sesuatu yang lebih?”
Bayangan itu tersenyum tipis. “Aku adalah cerminanmu, Ayla. Aku adalah semua ketakutanmu, keraguanmu, dan rasa bersalahmu. Kau tidak akan pernah bisa melangkah maju tanpa menghadapiku. Jadi, apa yang akan kau lakukan? Akan kau abaikan, atau akan kau kalahkan?”
Ayla memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ketika dia membuka matanya, dia melihat bayangan itu tidak hanya sebagai musuh, tetapi sebagai refleksi dirinya yang terluka.
“Aku tidak akan mengabaikanmu,” jawab Ayla, kristal di dadanya mulai bersinar lebih terang. “Dan aku tidak akan mencoba mengalahkanmu. Jika kau adalah bagian dari diriku, maka aku akan menerimamu.”
Bayangan itu terdiam, tampak terkejut oleh jawaban Ayla. Energi hijau yang melingkupinya mulai bergetar tidak menentu.
“Jangan bodoh!” seru bayangan itu, suaranya berubah menjadi penuh emosi. “Jika kau menerimaku, kau akan kehilangan kendali! Semua kelemahanmu akan menghancurkanmu!”
Ayla melangkah maju, mendekati bayangan itu. “Mungkin, tapi aku tahu satu hal. Aku tidak bisa terus lari dari diriku sendiri. Jika aku ingin melindungi mereka yang aku cintai, aku harus menerima siapa aku sebenarnya—baik dan buruk.”
Kristal di dada Ayla memancarkan cahaya yang begitu kuat sehingga membuat seluruh ruangan berguncang. Bayangan itu berteriak, tubuhnya bergetar hebat saat mulai menyatu dengan Ayla.
“Ayla!” teriak Kael, mencoba mendekat, tetapi gelombang energi yang memancar dari Ayla terlalu kuat, memaksa dia dan Arlen mundur.
Ketika cahaya akhirnya mereda, Ayla berdiri di tengah ruangan. Matanya menyala hijau sejenak sebelum kembali normal, dan kristal di dadanya terlihat lebih bercahaya daripada sebelumnya.
Bayangan itu sudah hilang. Sebagai gantinya, Ayla merasa lebih ringan, seolah-olah beban besar telah terangkat dari pundaknya.
“Noir tidak akan berhenti sampai dia menghancurkan kita,” kata Ayla, menatap Kael dan Arlen dengan mata penuh tekad. “Tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku siap melanjutkan—bersama kalian.”
Arlen mengangguk, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Kau telah membuktikan sesuatu, Ayla. Mungkin kau lebih kuat daripada yang aku kira.”
Kael berjalan mendekat, menaruh tangan di bahu Ayla. “Apa pun yang terjadi, aku ada di sini. Kita akan menghadapinya bersama.”
Namun, sebelum mereka sempat merayakan kemenangan kecil itu, suara Noir kembali terdengar, kali ini lebih gelap dan menggema di seluruh istana.
“Bagus, Ayla. Tapi ini baru permulaan. Pilihan sebenarnya belum tiba, dan aku akan memastikan kau tidak bisa melarikan diri darinya.”
Ruangan di sekitar mereka mulai bergetar, dan lantai di bawah kaki mereka perlahan berubah menjadi jurang tak berujung.
“Bersiaplah,” kata Ayla dengan suara tegas. “Kita belum selesai.”
Mereka bertiga saling pandang, lalu bersiap menghadapi tantangan berikutnya, dengan Noir terus mengawasi dari bayangan, menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan mereka.
Ketika lantai perlahan runtuh di bawah kaki mereka, Ayla, Kael, dan Arlen bergegas mencari jalan keluar dari ruangan yang terus berubah bentuk. Kristal hijau yang ada di dinding meledak satu per satu, menciptakan kilauan cahaya yang menyilaukan.
“Ke sini!” seru Arlen, menunjuk ke sebuah lengkungan kecil yang terlihat seperti pintu keluar.
Mereka bertiga berlari dengan sekuat tenaga, melawan angin yang menderu dan serpihan batu yang beterbangan. Sesaat sebelum lantai benar-benar runtuh, mereka berhasil melompat ke sisi yang lebih aman. Nafas mereka terengah-engah, tubuh mereka dipenuhi debu dan luka kecil.
Ayla menoleh ke belakang, melihat kehancuran yang ditinggalkan di ruangan itu. Cahaya hijau yang menyala di kristalnya kini sedikit meredup, tetapi dia merasakan kekuatan baru mengalir di dalam dirinya.
“Kita tidak bisa terus seperti ini,” ujar Kael, memecah keheningan. “Noir selalu selangkah di depan. Kita butuh rencana.”
Ayla mengangguk. “Aku tahu. Tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi. Jika Noir ingin permainan ini berlanjut, aku akan memainkannya. Tapi dengan caraku sendiri.”
Arlen menatap Ayla dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Keberanianmu mengagumkan, tapi ingatlah, ini bukan hanya tentang kau. Kita semua ada di sini bersamamu. Jangan coba-coba mengorbankan dirimu sendirian.”
Ayla tersenyum kecil, menatap kedua pria di hadapannya. “Aku tahu. Kalian adalah alasanku bertahan sejauh ini.”
Mereka bertiga akhirnya melangkah menjauh dari reruntuhan, memasuki koridor panjang yang tampak tak berujung. Di kejauhan, suara tawa Noir masih terdengar, bergema seperti janji akan kegelapan yang lebih besar.
Namun kali ini, Ayla merasa siap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan menyerah.