Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Bisik Hati dalam Keheningan
Hutan itu terasa aneh. Setelah pertemuan dengan patung Noir, mereka terus bergerak, mencari tempat aman untuk menyusun rencana. Namun, perjalanan ini lebih dari sekadar melelahkan. Ada sesuatu di udara—bukan hanya bahaya, tetapi juga ketegangan lain yang lebih sulit diuraikan.
Ayla berjalan di depan, ditemani keheningan malam dan suara dedaunan yang berbisik pelan di antara angin. Kael dan Arlen mengikutinya dari belakang, masing-masing dengan pikirannya sendiri.
“Berhenti dulu,” kata Kael, menghentikan langkah mereka. “Kita perlu istirahat.”
Ayla mengangguk, meskipun tubuhnya tidak sepenuhnya terasa lelah. Ada dorongan di dalam dirinya untuk terus bergerak, seolah jika mereka berhenti terlalu lama, mereka akan kehilangan sesuatu yang penting.
Mereka memilih sebuah tempat terbuka yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Kael menyalakan api kecil, sementara Arlen duduk sedikit menjauh, memeriksa senjatanya. Ayla tetap berdiri, memandang langit yang dipenuhi bintang.
“Kau butuh istirahat juga,” suara Kael terdengar lembut di belakangnya.
Ayla menoleh, menemukan Kael berdiri dengan tangan menyilang di dada, ekspresinya penuh perhatian. “Aku baik-baik saja. Hanya merasa... gelisah.”
Kael mendekat, matanya yang gelap menatap Ayla dengan intensitas yang sulit diabaikan. “Aku tahu ini berat. Tapi kau tidak perlu menanggung semuanya sendiri.”
Ayla tersenyum tipis. “Aku tidak merasa sendiri. Ada kau dan Arlen.”
Kael terdiam sesaat, lalu menghela napas. “Tapi aku ingin kau tahu, Ayla, aku akan selalu berada di sisimu, apa pun yang terjadi. Jika sesuatu terjadi pada kita—pada dunia ini—kau adalah satu-satunya yang tidak akan pernah kuizinkan terluka.”
Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Kael memang selalu melindunginya, tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya. Seolah-olah ia berbicara dari tempat yang lebih dalam, tempat di mana perasaan yang selama ini tersembunyi mulai muncul ke permukaan.
“Kael...” Ayla mulai berkata, tetapi suara ranting patah dari kejauhan membuat mereka berdua berbalik dengan waspada.
Arlen muncul dari balik pepohonan, menatap mereka dengan mata peraknya yang dingin tapi penuh arti. “Kita tidak punya waktu untuk berbicara panjang. Ada sesuatu yang mendekat,” katanya dengan nada tegas.
Kael mengangguk, ekspresinya kembali serius. Namun, sebelum ia melangkah pergi, ia menyentuh lengan Ayla dengan lembut. “Kita akan bicara lagi nanti,” katanya, seolah berjanji.
Malam itu berlalu tanpa insiden besar. Mereka bergantian berjaga, tetapi pikiran Ayla terus kembali pada momen singkat dengan Kael. Perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya bercampur dengan kebingungan.
Saat fajar mulai menyingsing, Arlen duduk di samping Ayla yang sedang memandangi api unggun yang meredup. “Kau tidak tidur,” katanya, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Ayla tersenyum tipis. “Tidak bisa.”
Arlen memandang ke arah Kael, yang tertidur beberapa langkah dari mereka. “Dia sangat peduli padamu.”
Ayla menoleh, terkejut dengan pernyataan itu. “Kael?”
Arlen mengangguk, tetapi matanya tetap tertuju pada api. “Tapi aku ingin kau tahu sesuatu, Ayla. Aku juga peduli.”
Detik itu, Ayla merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Ia menatap Arlen, tetapi pria itu tidak menoleh. “Arlen, aku...”
Arlen mengangkat tangan, menghentikan kata-katanya. “Kau tidak perlu menjawab sekarang. Aku hanya ingin kau tahu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ada di sini.”
Kata-kata itu terdengar seperti gema dari apa yang Kael katakan sebelumnya, tetapi dengan nada yang berbeda—lebih tenang, lebih dalam, dan lebih menyakitkan. Ayla tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa duduk di sana, mendengarkan suara api yang berderak pelan, sementara pikirannya berputar-putar.
Ketika mereka melanjutkan perjalanan, suasana di antara mereka semakin rumit. Kael tetap menjaga Ayla di dekatnya, kadang-kadang menunjukkan perhatian kecil yang tidak selalu ia tunjukkan sebelumnya. Sementara itu, Arlen tetap tenang, tetapi sesekali matanya memperhatikan Kael, seolah mengawasi setiap gerakannya.
Di satu sisi, Ayla merasa dilindungi. Di sisi lain, ia merasa terjebak dalam pusaran perasaan yang sulit diurai.
Mereka akhirnya mencapai sebuah desa kecil di tepian sungai. Penduduknya terlihat cemas, seolah ada sesuatu yang mengancam mereka.
Seorang wanita tua menghampiri mereka, wajahnya penuh harap. “Kalian petualang, bukan? Tolong, ada sesuatu yang menyerang desa kami setiap malam. Kami tidak tahu harus bagaimana.”
Kael melirik Arlen, dan keduanya langsung memahami bahwa ini bukan masalah biasa. “Kami akan membantu,” kata Kael.
Wanita tua itu menatap Ayla. “Dan kau? Kau terlihat seperti penyelamat kami.”
Ayla terkejut, tetapi Kael langsung menjawab, “Dia memang penyelamat kita semua.”
Arlen tidak berkata apa-apa, tetapi sorot matanya pada Ayla seolah mengatakan hal yang sama.
Ayla menghela napas. Ia tahu perjalanan ini bukan hanya tentang menyelamatkan dunia, tetapi juga tentang menemukan hatinya sendiri—sesuatu yang tampaknya lebih sulit daripada melawan Noir.
Malam mulai tiba di desa kecil itu. Warga desa menyalakan lampu minyak di depan rumah mereka, sementara Ayla, Kael, dan Arlen berkumpul di pusat desa bersama kepala desa untuk membahas serangan yang disebut-sebut mengancam tempat itu.
“Makhluk itu datang setiap malam, menyapu ladang dan membawa ternak kami,” jelas kepala desa, seorang pria tua dengan janggut putih lebat. “Beberapa orang berkata mereka melihat sesuatu yang besar, seperti bayangan hitam, tetapi terlalu cepat untuk dikenali.”
“Kami akan berjaga malam ini,” kata Kael dengan nada penuh keyakinan. “Kami akan memastikan desa ini aman.”
Ayla memperhatikan wajah Kael yang tegas. Di sisi lain, Arlen tampak lebih tenang, tetapi matanya menilai setiap kata kepala desa dengan cermat. “Jika itu bayangan, kemungkinan makhluk ini memanfaatkan kegelapan. Kita harus berhati-hati,” kata Arlen sambil melirik Ayla.
Kepala desa mengangguk penuh terima kasih, lalu meninggalkan mereka untuk bersiap.
Malam itu, mereka berjaga di ladang di pinggir desa. Angin dingin berembus, membawa aroma lembab tanah dan rumput. Ayla duduk di dekat pohon besar, sementara Kael berdiri tidak jauh darinya, memegang pedangnya dengan waspada. Arlen memilih tempat yang lebih tinggi di atas tumpukan kayu kering, matanya menyapu kegelapan di sekitar mereka.
“Semakin aneh,” gumam Kael.
Ayla mendongak. “Apa yang aneh?”
“Tidak ada suara. Tidak ada jangkrik, tidak ada burung malam,” jawab Kael sambil melangkah mendekat.
Ayla mulai merasa tidak nyaman, tapi ia mencoba menyembunyikannya. “Mungkin makhluk itu mendekat,” katanya, meskipun suara hatinya meragukan kata-katanya sendiri.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari arah hutan. Kael segera berdiri di depan Ayla, pedangnya terangkat. Arlen melompat turun, anak panah siap di busurnya.
Bayangan besar muncul dari kegelapan, seolah lahir dari malam itu sendiri. Sosok itu tinggi, dengan tubuh menyerupai serigala raksasa, tetapi matanya merah menyala seperti api.
Kael menyerang lebih dulu, pedangnya mengarah ke makhluk itu dengan kekuatan penuh. Namun, makhluk itu bergerak cepat, mencakar Kael hingga ia terlempar ke belakang.
“Kael!” Ayla berteriak, ingin mendekatinya, tetapi Arlen menariknya mundur.
“Ayla, tetap di sini!” kata Arlen tegas, suaranya seperti perintah yang tidak bisa dibantah.
Ayla menggigit bibirnya, tapi ia tahu Arlen benar. Ia menyaksikan Arlen bergerak dengan lincah, melepaskan panah demi panah ke arah makhluk itu. Namun, panah-panah itu hanya memantul di kulit tebalnya.
Kael bangkit dengan susah payah, darah mengalir dari lengannya. Dengan napas berat, ia kembali berdiri di depan Ayla. “Aku tidak akan membiarkan makhluk ini mendekat padamu,” katanya, matanya penuh tekad.
Makhluk itu menyerang lagi, tapi kali ini, Ayla tidak tinggal diam. Ia merasakan energi hangat mengalir di dalam dirinya—energi yang ia pelajari selama ini tapi jarang ia gunakan. Dengan suara lantang, ia melantunkan mantra yang membuat lingkaran cahaya emas muncul di sekeliling mereka.
Makhluk itu melolong kesakitan, seolah cahaya Ayla adalah racun bagi tubuhnya. Arlen dan Kael memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang bersamaan. Panah Arlen mengenai mata makhluk itu, sementara pedang Kael menembus lehernya.
Makhluk itu roboh dengan suara gemuruh yang mengguncang tanah.
Setelah pertempuran selesai, Ayla duduk bersandar pada pohon, napasnya tersengal. Arlen menghampirinya lebih dulu, menawarkan sebotol air.
“Kau luar biasa,” katanya dengan suara rendah, matanya menatap Ayla dengan kagum yang sulit disembunyikan.
Ayla tersenyum kecil. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”
Di sisi lain, Kael berdiri dengan pedangnya tertancap di tanah. Ia membersihkan darah dari luka di lengannya, tetapi matanya tetap tertuju pada Ayla.
“Ayla,” katanya perlahan, berjalan mendekat. “Kau harus berhati-hati. Jangan mengambil risiko seperti itu lagi.”
“Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara kalian bertarung,” jawab Ayla, nada suaranya menunjukkan keteguhan.
Kael mendekat, menatapnya dengan dalam. “Aku tahu kau kuat. Tapi kau berarti lebih dari apa pun bagi kami... bagiku.”
Ayla merasakan pipinya memanas. Sebelum ia sempat menjawab, Arlen berdiri, menyela dengan nada datar. “Kita harus kembali ke desa. Mereka perlu tahu bahwa bahaya ini sudah berakhir.”
Kael menatap Arlen sejenak, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk dan membantu Ayla berdiri.
Di perjalanan kembali ke desa, suasana di antara mereka terasa aneh. Ayla tahu bahwa ada sesuatu yang tidak terucap, baik dari Kael maupun Arlen. Perasaan mereka, perhatian mereka, semuanya mulai menjadi beban yang ia tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Namun, di balik semua itu, Ayla tahu bahwa ia tidak bisa menghindar selamanya. Cepat atau lambat, ia harus menghadapi bukan hanya Noir, tetapi juga hatinya sendiri.