Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Bercandanya Kelewatan
Seharusnya yang marah saat ini adalah Nadin, bukan sebaliknya. Namun, keadaannya justru berbeda dan candaan Zeshan ternyata membuat suasana hati Zain memburuk seketika. Ketika Nadin tiba di kamar, pria itu tidak lagi berada di sana, melainkan sudah di kamar mandi.
Entah apa yang dia lakukan, mungkin mandi. Tidak ingin terlalu memusingkan hal yang tak jelas, Nadin hanya fokus saja dengan kewajibannya. Ya, menyiapkan pakaian sang suami walau sebenarnya tidak diminta, Nadin melakukan hal itu atas keinginannya sendiri.
Lama berselang, Zain muncul dengan handuk yang melilit di pinggang. Aroma tubuh sang suami menguar hingga membuat Nadin mengalihkan padangan ke arahnya. Sejak awal tinggal bersama Nadin heran, kenapa bisa sewangi itu padahal sabun yang digunakan sama.
Namun, jika dipikir-pikir lagi sepertinya wajar saja sabun di kamar mandi cepat habis. Dari aromanya saja bisa diterka sebanyak apa Zain menggunakannya. "Semua orang tahu jika aku memang tampan, tidak perlu dipertegas," celetuk Zain tiba-tiba yang membuat Nadin mengerjap pelan.
Baru dia sadari jika ternyata sejak tadi dirinya melamun dan berakhir tertangkap basah oleh sang suami. Padahal, Nadin memandanginya bukan karena kagum akan ketampanan Zain, tapi karena alasan lain.
"Excuse me? Maksudnya apa ya?"
Zain mendekat, perlahan jarak keduanya semakin terkikis usai sang istri seolah menantangnya seperti itu. "Dari tadi kamu menatapku ... kenapa? Masih tidak percaya suamimu setampan ini?"
Percaya diri sekali dia bicara, Nadin meneguk salivanya pahit lantaran tidak bisa berkata-kata. Tahu betul jika Zain tampan, security kampus juga mengakui ketampanan dosen killer satu ini, dan Nadin percaya akan hal itu. Namun, yang justru masih belum bisa dia percayai adalah tingkat percaya diri sang suami, narsis sekali.
"Dasar aneh," gumam Nadin kemudian berlalu pergi.
Ketampanan dan kecerdasan Zain yang selama ini terekam di otaknya seolah buyar. Jika nanti Zain terus begitu, bisa dipastikan Nadin ilfeel duluan sebelum jatuh cinta. "Kamu bilang apa barusan?"
"Tidak, sudah sana pakai baju, Mas."
Zain hendak mengekor di belakang sang istri, tapi secepat mungkin Nadin menghalanginya dan memilih untuk fokus dengan tujuan awalnya. Sebagaimana rencana yang sudah Nadin tata semalam, hari ini dia akan mengerjakan tugas yang sempat tertunda akibat pindahan.
Bagi Nadin memang tidak ada yang berbeda. Kebetulan Zain tidak mengizinkan Nadin mencuci pakaian kotornya sendiri, jadi pakaian menumpuk di kost sejak satu minggu lalu menjadi tanggung jawab asisten rumah tangga di kediaman sang mertua.
Tentu saja Nadin sempat menolak, dia merasa tak enak hati lantaran baru datang, tapi sudah merepotkan. Kendati demikian, sekeras apapun usaha Nadin tetap saja tidak bisa karena Zain sudah memberikan perintah.
Untuk saat ini dan seterusnya, tugas Nadin hanyalah belajar dan belajar, tidak ada yang lain karena tujuan Zain menikahinya bukan untuk membebani Nadin dengan tanggung jawab sebagai istri.
Sepuluh menit pertama semua masih aman saja, Nadin masih bisa fokus dan Zain belum bertingkah. Jarak mereka masih berjauhan dan juga sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, setelahnya tidak lagi, terlebih kala Zain tiba-tiba mendekat dan memerhatikan pekerjaannya.
Memang tidak bicara, sepatah katapun tidak, tapi tetap saja Nadin tidak nyaman. Kalimat yang dia ketik mulai salah-salah, Nadin tidak fokus walau Zain sebenarnya hanya diam saja.
"Cara mengetikmu memang begitu?"
"Heum, salah ya?" tanya Nadin mendongak, dia rasa sudah sangat benar dan tidak ada kurangnya.
Sejak tadi juga Zain diam, tapi sekalinya bicara dia mengomentari cara Nadin bekerja. "Iya, kalau begini punggungnya cepat lelah ... agak jauhan, kamunya jangan bungkuk begini."
Tak hanya sekadar komentar, tapi dia juga membenarkan posisi Nadin yang memang agak membungkuk. Dia juga mengatur jarak antara sang istri dengan laptopnya, sudah tentu dia juga mengutarakan alasannya berdasarkan ilmu yang Zain punya.
"Layarnya juga terlalu cerah, matamu nanti cepat lelah ... jangan mengabaikan hal-hal seperti ini."
Aura dosennya tetap terasa kali ini, tapi tidak menyeramkan seperti di kelas. Nadin berusaha untuk santai walau jantungnya sama sekali tidak aman. Pandangannya tak lagi fokus ke monitor, melainkan pada wajah Zain yang berada tepat di sampingnya, jarak mereka dekat sekali.
Seperti katanya, si narsis ini memang tampan sekali, Nadin sadar akan hal itu. "Lanjutkan ... tapi ingat, jangan terlalu lama. Paham tidak?"
"Hah?"
Nadin tidak begitu mendengar ucapan yang terakhir, karena itu dia tampak kebingungan hingga Zain berdecak pelan. "Hah? Hah? Hah?Makanya kalau suami lagi ngomong tu dengarkan baik-baik."
"A-aku dengar kok." Matanya mendelik, kesal sekali rasanya mendengar Zain sampai mengejek caranya bicara.
Melihat raut wajah sang istri, Zain mengacak rambutnya. Kesalnya Nadin sangat kentara, tapi bisa dipastikan dia tidak memiliki keberanian untuk marah. "Oh iya? Coba ulangi kalau dengar."
Tidak ingin coba-coba lantaran takut salah, Nadin memilih diam saja. "Jangan ganggulah, Mas, ini deadline-nya besok."
Demi mengamankan diri, Nadin mengalihkan pembicaraan. Zain yang sudah telanjur gemas dengan wajah cemberut Nadin justru enggan berlalu dan sengaja cari perkara. Bahkan, dia berani lebih lancang saat ini dan ikut asal pencet hingga pada akhirnya teriakan Nadin menggema sebelum kemudian menarik lengan Zain dan kembali menggigitnya sekuat tenaga.
Zain tidak mengerti kenapa sang istri suka sekali menggigitnya. Tidak jauh berbeda dari yang semalam, yang kali ini juga sama. Gigi runcingnya meninggalkan bekas dan rasa sakit, tapi hendak marah juga tidak bisa karena kini Nadin justru menangis.
"Bercandanya kelewatan, tugasku hilang." Tidak sedang cari perhatian, tapi memang di monitornya hanya tersisa dokumen kosong akibat ulah sang suami.
"Kok bisa?" Berlagak sok panik, Zain mengerjap pelan seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Nadin yang sedang lelah-lelahnya jelas saja marah, terlebih lagi begitu melihat reaksi Zain yang super santai setelah melenyapkan tugasnya yang sebenarnya sudah separuh jalan. Dengan air mata yang terus berurai, Nadin berusaha mengembalikan hasil kerjanya. "Ya Tuhan, please jangan hilang."
Nadin masih berharap tugasnya telah tersimpan, tapi tetap saja hasilnya nihil hingga dia membenturkan kepala di atas meja seraya menarik rambutnya. "Coba kulihat."
Zain tidak ingat apa yang dia klik, tapi memang asal dan laptop Nadin sempat mengeluarkan suara aneh sebelum kemudian tugasnya mendadak hilang. "Siaall ... tugasnya benar-benar hilang?"
Beberapa waktu lalu, Zain sempat berbangga diri dan tampak tenang. Namun, begitu melihat kenyataannya dia juga mendadak panik. Terlebih lagi isak tangis sang istri justru semakin menjadi. "Nad maaf ... aku keterlaluan ya?"
"Udah tahu masih aja nanya," gumam Nadin kini mendongak dan menyeka air matanya kasar, jika saja bukan suami, mungkin sudah dia jambak.
"Aku tidak tahu, biasanya langsung tersimpan otomatis ... laptopmu yang an_" Ucapan Zain terhenti, tatapan tajam Nadin cukup menakutkan di posisi ini. "Aku akan bertanggung jawab, kamu bisa pakai laptopku jika mau."
Nadin menghela napas panjang seraya memejamkan mata kala mendengar ucapan Zain. "Tugasku yang hilang tidak akan bisa kembali walau laptopnya diganti pakai yang lebih canggih sekalipun, Mas."
"Lalu? Kamu maunya bagaimana? Hm?"
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"