Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent Storm Behind the Wheel
Chandra duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan erat. Udara di dalam mobil terasa pengap, meskipun AC menyala. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan wajah Awan yang penuh dengan senyuman licik. "Dia hanya mencoba mengacaukanmu," pikirnya, namun pikiran itu tidak cukup untuk meredakan rasa amarah yang membara.
Ia menyalakan mesin dan melaju dengan kecepatan yang sedikit di atas rata-rata. Jalanan kota yang padat tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya. Setiap klakson yang terdengar hanya menambah rasa frustrasi. Pikirannya melayang ke Shabiya—istrinya yang keras kepala, mandiri, dan sering membuatnya kesal, tetapi juga wanita yang mulai ia cintai. Ia tahu Shabiya tidak mudah goyah, tetapi panggilan itu... Mengapa ia harus menelepon Awan?
***
Shabiya sedang merapikan dokumen terakhirnya ketika telepon dari Chandra datang. Nada suaranya yang datar dan dingin langsung membuatnya waspada. Biasanya, meskipun sibuk, Chandra selalu berbicara dengan nada hangat—atau setidaknya, lebih santai. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
“Ada apa dengannya?” gumam Shabiya sambil mengenakan blazernya. Ia melirik jam dinding di kantor, lalu menghela napas. Satu hal tentang Chandra yang selalu membuatnya frustasi adalah sifat posesifnya yang sering muncul tiba-tiba. Seperti sekarang, misalnya. Tetapi, di balik kekesalannya, ada rasa penasaran yang perlahan tumbuh.
Ketika ia melihat mobil Chandra berhenti di depan gedung kantornya, Shabiya berjalan keluar dengan langkah mantap. Tumit sepatunya mengetuk lantai marmer, menggema di aula yang sepi.
Chandra keluar dari mobil, mengenakan setelan gelap yang selalu membuatnya terlihat nyaris tak tersentuh. Mata gelapnya yang tajam menangkap setiap gerakan Shabiya. Tetapi kali ini, tatapan itu bukan tatapan lembut seorang suami. Tatapan itu penuh dengan intensitas, dingin, dan menyelidik.
“Masuklah,” kata Chandra, membuka pintu mobil untuknya. Nadanya tegas, nyaris seperti perintah.
Shabiya menatapnya dengan dahi berkerut. “Apa yang terjadi? Kau terlihat seperti baru saja ingin membunuh seseorang.” Nada suaranya penuh dengan sarkasme, tetapi ia tetap masuk ke dalam mobil.
Chandra tidak menjawab. Ia menutup pintu dengan pelan namun tegas, lalu berjalan ke sisi pengemudi. Begitu ia masuk, suasana di dalam mobil menjadi sunyi senyap. Hanya suara mesin dan deru AC yang terdengar.
“Chandra, apa ini soal pekerjaan? Atau ada sesuatu yang lain?” tanya Shabiya, mencoba memecahkan kebekuan.
Chandra mengerutkan kening, menatap lurus ke jalan. “Aku yang akan bertanya di sini,” katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. Tetapi ada kekuatan di balik nada itu, kekuatan yang membuat Shabiya sedikit tegang. “Mengapa kau menelepon Awan?”
Shabiya terdiam sejenak, lalu mendesah panjang. “Oh, jadi ini yang membuatmu tampak seperti gunung berapi yang siap meledak?"
Chandra menekan rem di lampu merah, lalu menoleh ke arahnya. “Bukan itu jawabannya. Aku tanya, mengapa?”
Shabiya merasa kesal tetapi juga bingung. “Aku meneleponnya karena ingin menyampaikan sesuatu soal Erika. Aku tidak punya waktu untuk menghadapi drama mereka, jadi aku ingin menyelesaikannya secepat mungkin. Itu saja.”
Tatapan Chandra tidak berubah. “Kau tidak perlu berurusan dengan mereka. Itu bukan tanggung jawabmu.”
“Oh, jadi sekarang kau yang menentukan apa yang menjadi tanggung jawabku?” Shabiya membalas dengan nada tajam. “Aku mencoba membantu, Chandra. Bukankah itu lebih baik daripada membiarkan masalah ini berlarut-larut?”
Chandra menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Tetapi ketika ia berbicara lagi, suaranya masih penuh dengan otoritas. “Mereka tidak pantas mendapat perhatianmu. Awan hanya ingin memprovokasi kita, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kau tahu bagaimana dia.”
Shabiya terdiam, menatap keluar jendela. Ia tahu Chandra benar, tetapi ia juga tidak suka ketika Chandra mencoba mengendalikan setiap aspek dalam hidupnya.
“Kau tidak berpikir untuk memberitahuku lebih dulu?” Suara Chandra tetap tenang, tetapi ada ketegangan di setiap katanya.
“Aku tidak merasa itu perlu,” jawab Shabiya, nadanya mulai meninggi. “Kau tahu aku bisa menangani urusanku sendiri. Aku tidak perlu izin darimu untuk melakukan sesuatu yang sekecil itu.”
Chandra memalingkan wajahnya padanya, mata gelapnya memancarkan sesuatu yang sulit diuraikan. “Ketika itu menyangkut Awan, kau harus memberitahuku. Kau tahu apa yang dia mampu lakukan.”
Shabiya menatapnya balik dengan tajam. “Jadi ini bukan tentang aku, tapi tentang dia? Kau tidak percaya padaku?”
“Ini bukan masalah percaya atau tidak percaya,” Chandra menjawab, suaranya masih tenang tetapi penuh tekanan. “Ini tentang melindungimu dari hal-hal yang tidak perlu. Awan itu licik, Shabiya. Dia akan mencari celah sekecil apapun untuk membuat kekacauan. Kau tidak seharusnya memberinya kesempatan itu.”
Shabiya mendengus, melipat tangannya di dada. “Jadi sekarang aku ini semacam anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku tahu apa yang aku lakukan, Chandra. Aku tidak butuh perlindunganmu sepanjang waktu.”
“Aku pernah kehilangan kepercayaan pada orang yang kucintai,” kata Chandra akhirnya, suaranya rendah tetapi menggetarkan. “Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan Awan, menciptakan celah di antara kita.”
***
Ketika mereka tiba di rumah, suasana masih tegang. Chandra berjalan lebih dulu, membuka pintu, lalu menunggu Shabiya masuk. Begitu mereka berada di dalam, ia menutup pintu dengan perlahan, lalu berbalik menghadap Shabiya.
“Dengar,” katanya, nadanya sedikit melunak tetapi tetap tegas. “Aku tidak suka ketika kau melibatkan dirimu dengan Awan, apalagi Erika. Mereka hanya akan membuat segalanya lebih buruk.”
“Dan aku tidak suka ketika kau mencoba mengatur hidupku,” balas Shabiya, menatapnya dengan tajam. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, Chandra. Aku tidak butuh perlindunganmu setiap saat.”
Chandra mendekat, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Mata gelapnya menatap dalam ke mata Shabiya. “Aku tahu kau bisa menjaga dirimu sendiri. Tetapi aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Awan, membuatmu merasa terbebani. Kau adalah istriku, Shabiya. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu.”
Kata-katanya begitu tenang, tetapi penuh dengan intensitas. Shabiya merasakan dadanya berdebar, bukan karena takut, tetapi karena perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Ia tahu Chandra posesif, tetapi ia juga tahu bahwa di balik semua itu, ada cinta yang tulus.
“Aku hanya ingin membantu,” bisiknya akhirnya, menundukkan kepala.
Chandra mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa Shabiya untuk menatapnya. “Kau sudah melakukan lebih dari cukup. Mulai sekarang, biarkan aku yang menangani mereka.”
Shabiya mengangguk perlahan, meskipun dalam hati ia masih merasa tidak puas. Tetapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk membiarkan Chandra memegang kendali. Setidaknya, sampai ia menemukan cara untuk membalasnya nanti.
***