Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa-apaan?
Bacin menggenggam erat kapaknya, matanya membara dengan tekad. Tanpa pikir panjang, ia melompat maju, mengayunkan senjatanya dengan kekuatan penuh ke arah Viktor Lenz. Di saat yang sama, Asep menyalurkan energinya ke udara, menciptakan gelombang angin tajam yang berputar seperti pisau tak kasat mata, menghujani Viktor dengan rentetan serangan mematikan.
CLANG!
Kapak Bacin menghantam tubuh Viktor dengan keras, namun suara yang terdengar bukanlah daging yang terkoyak—melainkan seperti logam yang bertemu logam. Mata Bacin membelalak, kapaknya sama sekali tidak meninggalkan luka. Bahkan tidak ada goresan sedikit pun.
Asep menggertakkan giginya, tidak menyerah begitu saja. Dengan kecepatan tinggi, ia berputar di udara, mengumpulkan pusaran angin di tangannya lalu mengarahkannya ke satu titik di tubuh Viktor.
SWOOSH!
Sebuah luka kecil, nyaris tak terlihat, akhirnya muncul di tubuh Viktor. Namun alih-alih kesakitan atau terganggu, Viktor hanya menunduk melihat luka itu dengan ekspresi datar.
Ia kemudian menatap mereka berdua, matanya penuh rasa jijik. "Hanya segini?"
Sebelum Bacin dan Asep bisa bereaksi, Viktor melesat maju dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata.
BOOM!
Pukulan brutalnya menghantam perut Bacin, mengirimnya terlempar ke belakang hingga menabrak dinding dengan keras, membuat retakan besar di permukaannya. Sesaat, udara seperti terhisap dari paru-parunya, membuatnya terbatuk darah.
Di sisi lain, Asep mencoba menghindar, namun Viktor sudah ada di depannya sebelum ia sempat bereaksi.
DUAGH!
Tinju Viktor menghantam dada Asep begitu keras hingga tubuhnya terpental jauh, berguling di lantai sebelum akhirnya berhenti dengan tubuh gemetar.
Mereka berdua terbaring di tanah, tubuh mereka berdenyut kesakitan. Sementara itu, Viktor bahkan tidak terlihat kelelahan. Ia tidak mengeluarkan kekuatan Disgrace-nya. Tidak ada trik, tidak ada manipulasi.
Hanya kekuatan fisik murni.
Viktor kembali membenarkan kacamatanya dan menghela napas. "Membosankan." ujarnya. "Kalian benar-benar berpikir bisa menantangku dengan level seperti ini?"
Bacin terbatuk, berusaha bangkit meskipun tubuhnya terasa seperti dihancurkan dari dalam. Asep juga menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang menusuk.
Mereka baru menyadari sesuatu.
Viktor Lenz bukan hanya seorang Disgrace yang kuat. Dia adalah monster dalam wujud manusia.
Victor Lenz perlahan berjalan mendekat, tangan Viktor Lenz mencengkeram erat leher Bacin dan Asep, lalu mengangkat mereka dari tanah dengan mudah seolah mereka hanyalah boneka kain. Cengkeramannya begitu kuat, membuat napas mereka tersendat, mata mereka membelalak dalam penderitaan. Bacin meronta, berusaha menebas dengan kapaknya, namun tenaganya perlahan menghilang. Asep juga berusaha menciptakan pusaran angin, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan tekanan luar biasa dari Viktor.
Tepat ketika kegelapan mulai menyelimuti kesadaran mereka, tiba-tiba…
Seakan ruang itu bergetar, hawa dingin yang menusuk tulang tiba-tiba memenuhi udara. Dari bayangan di sudut ruangan, muncul sesosok figur misterius. Sosok itu mengenakan jubah hitam pekat yang tampak seperti menyatu dengan kegelapan. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tetapi aura yang terpancar darinya begitu mengerikan—lebih mengerikan dari apapun yang pernah Bacin rasakan sebelumnya.
Suara rendah dan bergema keluar dari sosok itu. "Waktunya berangkat."
Viktor Lenz menoleh, matanya menyipit seakan menilai sosok berjubah itu. Ia lalu mendecakkan lidahnya dengan kesal dan tanpa ragu, melepaskan cengkeramannya dari Bacin dan Asep. Tubuh mereka terjatuh ke tanah dengan keras, terbatuk-batuk, berusaha menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paru yang hampir hancur.
Viktor melangkah mendekati sosok berjubah itu, membenarkan kacamatanya dengan gerakan khasnya. Ia melirik sekilas ke arah Bacin dan Asep yang masih terkapar, lalu berkata dengan nada penuh penghinaan.
"Kalian beruntung."
Senyumnya melebar sedikit, namun di balik senyum itu ada rasa jijik dan superioritas yang mendalam. "Aku bisa membunuh kalian kapan pun aku mau. Kalian hanyalah semut di hadapanku. Lebih baik kalian menjauh dan jangan menghalangi jalanku."
Bacin hanya bisa menggertakkan giginya, sementara Asep mengepalkan tangannya dengan marah. Namun mereka tahu, melawan Viktor saat ini adalah bunuh diri.
Perlahan, sosok berjubah itu mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, kegelapan pekat menyelimuti mereka berdua. Dalam sekejap mata, Viktor Lenz dan sosok itu menghilang, tertelan oleh aura gelap yang menelan mereka sepenuhnya.
Ruangan menjadi sunyi.
Bacin dan Asep masih tergeletak di tanah, napas mereka berat, tubuh mereka dipenuhi luka.
Mereka selamat—untuk saat ini.
Namun satu hal yang jelas…
Viktor Lenz bukan ancaman biasa. Dan sosok berjubah itu… mungkin jauh lebih mengerikan daripada yang bisa mereka bayangkan.
Saat napas mereka mulai stabil dan luka-luka di tubuh mereka perlahan mereda, Asep bangkit lebih dulu, mengusap lehernya yang masih terasa nyeri akibat cekikan Viktor Lenz.
"Ayo kita cari apapun yang bisa memberikan petunjuk di sini," katanya, suaranya masih penuh kemarahan.
Bacin mengangguk. Mereka berdua mulai menggeledah ruangan yang sebelumnya digunakan Viktor. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi dengan tumpukan kertas, beberapa di antaranya tampak baru saja digunakan. Bacin mengambil setumpuk kertas itu dan mulai membacanya.
"Ini… daftar nama?" gumamnya sambil mengerutkan dahi. Nama-nama di dalamnya tampak asing, tidak ada yang dikenalnya. Namun jumlahnya sangat banyak, berderet dalam tulisan rapi yang mencurigakan.
Asep yang ikut membaca tiba-tiba membeku. Tangannya gemetar saat matanya menangkap satu nama di dalam daftar itu.
"Joy Pangestu…" suaranya lirih, tetapi penuh dengan kemarahan yang terpendam.
Mata Asep membara. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Sialan, Viktor! Aku akan membunuhmu!" teriaknya dengan penuh kebencian.
Bacin segera menoleh dan menaruh tangannya di bahu Asep, mencoba menenangkannya. "Tenanglah, Asep. Kendalikan dirimu. Kita harus tahu dulu apa maksud dari daftar ini sebelum bertindak gegabah."
Asep menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam amarahnya. Tapi matanya tetap terpaku pada nama itu, seolah-olah mengingat sesuatu yang menyakitkan.
Bacin kembali melihat daftar tersebut, perasaannya tidak enak.
Apa hubungan Viktor Lenz dengan semua orang di dalam daftar ini? Dan yang lebih penting… apa yang telah terjadi pada mereka?
Asep menatap daftar nama itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Napasnya masih berat, tetapi kini suaranya lebih tenang, meski penuh dengan kemarahan yang tertahan.
"Nama-nama ini… mereka adalah orang-orang yang berhasil mereka culik. Mereka semua adalah Disgrace."
Bacin terkejut. "Apa?!" Ia melihat kembali daftar itu, seakan-akan jumlahnya baru terasa nyata baginya. "Ini… terlalu banyak. Ada sekitar 100 orang di sini. Untuk apa mereka menculik sebanyak ini?"
Asep menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak tahu, tapi yang jelas ini bukan untuk sesuatu yang baik. Kita harus mencari lebih banyak petunjuk."
Bacin menggertakkan giginya dan menyimpan kertas daftar nama itu ke dalam sakunya. Mereka tidak bisa membiarkan informasi ini hilang begitu saja.
Tanpa membuang waktu, mereka mulai menggeledah lebih dalam. Laci-laci meja Viktor Lenz dibuka satu per satu, tetapi sebagian besar hanya berisi dokumen-dokumen yang tidak penting, catatan-catatan keuangan, dan laporan-laporan yang sulit dipahami.
Namun, di salah satu laci paling bawah, mereka menemukan sesuatu yang berbeda—sebuah foto.
Bacin mengambilnya dan menatapnya dengan cermat. Itu adalah gambar sebuah bangunan besar, dikelilingi oleh kabut tebal, seakan berada di lokasi yang tersembunyi. Tidak ada tulisan atau petunjuk lain, hanya gambar itu.
Asep mengernyit. "Bangunan ini… aku tidak mengenalinya."
Bacin merasakan firasat buruk merayap di tulang punggungnya. "Tapi aku yakin ini bukan tempat biasa. Bisa jadi ini ada hubungannya dengan para Disgrace yang diculik."
Mereka saling bertukar pandang. Tidak ada petunjuk lain di ruangan ini. Hanya satu hal yang pasti—jawaban atas misteri ini ada di tempat dalam foto itu.