Skaya merupakan siswi kelas XII yang di kenal sebagai siswi berprestasi, cantik, dan ramah. Banyak lelaki yang menyukai Skaya, tetapi hatinya justru terpesona oleh seseorang yang tidak pernah meliriknya sama sekali, lelaki dingin yang terkenal sebagai anggota geng motor yang disengani di kota nya.
Darren bukan tipe yang mudah didekat. Ia selalu bersikap dingin, bicara seperlunya, dan tidak tertarik oleh gosip yang ada di sekitarnya. Namun Skaya tidak peduli dengan itu malah yang ada ia selalu terpesona melihat Darren.
Suatu hari tanpa sengaja Skaya mengetahui rahasia Darren, ternyata semuanya tentang masalalu yang terjadi di kehidupan Darren, masalalu yang begitu menyakitkan dan di penuhi oleh janji yang tidak akan ia ingkar sampai kapanpun. Skaya sadar waktu begitu singkat untuk mendekati Darren.
Ditengah fikiran itu, Skaya berusaha mendekati Darren dengan caranya sendiri. Apakah usahanya akan berhasil? Ataukah waktu yang terbatas di sekolah akan membuat cinta itu hanya menjadi kisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan ke Vila Darren
Setelah resmi berpacaran, hubungan Darren dan Skaya tidak lagi dipenuhi ketegangan atau pertanyaan. Mereka lebih sering bersama, dan meskipun Darren tetap dengan sikap dinginnya di depan orang lain, kepada Skaya ia selalu menunjukkan sisi lembutnya, walaupun tetap dengan cara yang khas.
Hari ini, untuk merayakan momen mereka berpacaran, geng Darren mengajak Skaya ikut serta dalam perjalanan ke vila milik keluarga Darren yang terletak di pegunungan.
------
Perjalanan ke Vila
Deru motor memenuhi jalanan saat mereka semua melaju dalam formasi. Skaya, yang biasanya selalu mengendarai motornya sendiri, kali ini justru berada di belakang Darren, memeluk pinggangnya erat.
"Gimana rasanya jadi boncengan gue?" tanya Darren di sela-sela perjalanan.
Skaya mendecak, "Jangan GR. Gue cuma lagi males bawa motor."
Darren terkekeh. "Bilang aja lo betah meluk gue."
Skaya hampir saja mencubit pinggangnya kalau saja mereka tidak sedang melaju di jalanan berkelok. "Diam lo!"
Teman-teman geng mereka yang melihat interaksi itu langsung bersorak dan menggoda mereka sepanjang jalan.
"Darren udah jinak, nih!"
"Bukan Darren yang jinak, Skaya yang ngalahin dia!"
Darren hanya mendengus, sementara Skaya harus menahan malu sepanjang perjalanan.
Setelah beberapa jam berkendara, mereka akhirnya tiba di vila yang dikelilingi hutan pinus. Udara pegunungan yang sejuk langsung menyapa mereka saat mereka turun dari motor.
"Selamat datang di vila gue," ujar Darren, memasukkan kunci ke dalam sakunya.
"Gila, ini luas banget!" seru salah satu teman geng mereka.
Skaya hanya bisa mengangguk, sedikit terkejut melihat betapa besar dan mewahnya vila itu. Dari luar, vila ini terlihat klasik dengan desain kayu dan jendela kaca besar yang menghadap ke pegunungan.
"Lo beneran anak orang kaya, ya?" gumam Skaya.
Darren menoleh dengan smirk khasnya. "Kenapa? Lo jadi minder?"
Skaya mendelik. "Bodo amat."
Teman-teman mereka langsung masuk, sibuk memilih kamar dan mulai bercanda satu sama lain. Beberapa ada yang langsung menuju balkon, menikmati pemandangan pegunungan yang begitu indah.
-------
Malam di Vila
Saat malam tiba, mereka berkumpul di halaman vila, menyalakan api unggun. Tawa dan obrolan memenuhi udara malam yang sejuk. Tapi yang paling menarik adalah ketika salah satu teman mereka mulai menggoda Darren dan Skaya lagi.
"Jadi, sekarang gimana nih? Si cowok paling dingin akhirnya resmi punya pacar!" Yang lain bersorak. "Harus ada bukti kalau mereka beneran pacaran, dong!"
Skaya mengernyit. "Apaan, sih?"
"Cium pipi, kek!" seseorang berseru.
Skaya langsung terbatuk, sementara Darren hanya menatap teman-temannya dengan tatapan malas.
"Gue bakal cium pacar gue kapan pun gue mau. Gak usah pake suruhan kalian."
Seketika, semua bersorak lebih heboh. Skaya menatap Darren dengan mata membelalak. "Ren...."
Tapi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Darren dengan santainya menariknya lebih dekat dan mengecup keningnya di depan semua orang. Sorakan semakin menggila.
Skaya yang awalnya kaget, kini menatapnya dengan wajah memerah. "Lo beneran nekat, ya?"
Darren menyeringai. "Gue gak bercanda waktu bilang bakal cium pacar gue kapan pun gue mau."
Skaya menghela napas, tapi dalam hatinya, jantungnya berdebar tak karuan.
Malam itu, mereka semua menikmati kebersamaan, tawa, dan persahabatan yang semakin erat. Dan di antara semua itu, Skaya dan Darren tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan baru mereka, bukan hanya sebagai dua orang yang saling mencintai, tapi juga sebagai bagian dari keluarga yang mereka temukan dalam geng ini.
--------
Pesta Perayaan yang Kacau
Malam semakin larut, dan pesta di vila Darren semakin ramai. Setelah api unggun, beberapa anggota geng mulai mengeluarkan minuman dari dalam mobil mereka.
"Buat ngerayain pasangan baru kita!" seru salah satu teman mereka sambil mengangkat botol. Semua bersorak, kecuali Skaya yang langsung menatap Darren. "Lo serius mau minum?"
Darren menoleh padanya dan mengangkat bahu santai. "Santai aja, gue tau batas."
Skaya mendecak, tahu kalau adu argumen dengan Darren soal ini hanya akan sia-sia. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya dia melihat teman-teman gengnya minum. Tapi kali ini terasa berbeda, karena Darren juga ada di sana, dan entah kenapa, dia tidak suka ide itu.
Mereka mulai menuangkan alkohol ke gelas-gelas plastik. Beberapa langsung minum tanpa pikir panjang, sementara yang lain mulai bersorak-sorai lebih keras.
"Skaya, lo juga harus minum!" seseorang mendorong gelas ke arahnya.
Skaya menatap isinya sejenak sebelum akhirnya mengambil gelas itu. Tapi sebelum dia sempat meneguknya, tiba-tiba gelas itu direbut oleh tangan lain... Darren. "Dia gak minum," ucapnya datar sebelum menaruh gelas itu jauh darinya.
Skaya menatapnya dengan alis terangkat. "Lo boleh minum, tapi gue enggak?"
Darren menatapnya tajam. "Lo gak biasa minum. Gak perlu maksain diri." Sorakan menggema di antara teman-teman mereka.
"Wih, Darren protektif banget, nih!"
"Gak nyangka cowok dingin kita bisa sepeduli ini sama ceweknya!"
Darren mengabaikan mereka dan kembali duduk, menarik Skaya agar duduk lebih dekat dengannya. "Lo gak perlu buktiin apa-apa ke mereka."
Skaya mendesah, tetapi dalam hati dia tersenyum kecil. Walaupun sedikit menyebalkan, tapi perhatian Darren itu... Bikin hatinya aneh.
Pesta terus berlanjut. Beberapa sudah mulai mabuk, tertawa-tawa tanpa alasan, bahkan ada yang mulai menari dengan musik dari speaker. Tapi di tengah semua itu, Darren tetap tenang. Dia minum, tapi tidak sampai kehilangan kendali.
Sementara itu, Skaya hanya duduk di sampingnya, diam-diam mengawasi semuanya. Sampai tiba-tiba, seorang teman mereka yang sudah terlalu mabuk mendekat dan menatap Skaya dengan senyum miring.
"Lo cantik banget, Skaya. Kenapa lo baru sekarang keliatan di antara kita?"
Darren yang sedang menuangkan minumannya berhenti seketika. Matanya langsung dingin saat menatap cowok itu. "Jangan mulai."
Cowok itu tertawa kecil. "Santai, bro. Gue cuma muji."
Tapi saat dia mulai melangkah lebih dekat ke arah Skaya, tiba-tiba bruk!. Darren langsung berdiri dan mendorongnya mundur dengan satu tangan. Semua langsung terdiam.
"Jangan sentuh dia," suara Darren dalam dan penuh ancaman.
Cowok itu mengangkat tangan, masih mabuk. "Oke, oke! Gak perlu segitu posesifnya."
Tapi Darren tidak mengendurkan tatapannya sampai cowok itu menjauh.
Skaya menatapnya, hatinya terasa aneh lagi. Dia tahu Darren selalu punya sisi protektif, tapi melihatnya seperti ini... membuat sesuatu dalam dirinya semakin yakin bahwa dia tidak salah memilih laki-laki ini. Tanpa sadar, Skaya menggenggam tangan Darren yang masih mengepal. "Gue baik-baik aja," katanya pelan.
Darren akhirnya menoleh padanya, napasnya masih sedikit berat. Tapi saat melihat wajah Skaya yang menenangkan, dia perlahan mengendurkan tinjunya dan mengangguk.
Malam itu, pesta berlanjut, tapi satu hal pasti, tidak ada yang berani macam-macam dengan Skaya lagi, selama ada Darren di sisinya.
--------
Malam yang Berantakan
Pesta semakin larut. Gelas-gelas alkohol terus berpindah tangan, dan suara tawa serta musik semakin kencang. Skaya awalnya hanya duduk di samping Darren, mengamati bagaimana teman-temannya mulai kehilangan kendali.
Namun, saat dia menoleh ke samping, dia menyadari sesuatu, Darren juga mulai terpengaruh. Mata laki-laki itu terlihat sedikit sayu, dan caranya duduk lebih santai dari biasanya. Darren yang biasanya tegas dan selalu mengontrol keadaan, kini terlihat lebih lepas.
"Darren, lo gak apa-apa?" Skaya bertanya pelan.
Darren menoleh dengan senyum miring yang tidak biasa. "Gue? Gue baik-baik aja... Kenapa? Lo khawatir?"
Skaya menelan ludah. Ini pertama kalinya dia melihat Darren dalam kondisi seperti ini. "Gue cuma gak nyangka lo bakal mabuk," gumamnya.
Darren terkekeh kecil. "Gue juga gak nyangka lo bakal diem aja di sini."
Skaya mendecak, lalu tanpa berpikir panjang, dia mengambil gelas yang ada di dekatnya dan meneguk isinya. Seketika, cairan panas itu membakar tenggorokannya, membuatnya batuk kecil.
Darren menatapnya, lalu mengangkat alis. "Gue kira lo gak mau minum?"
"Lo boleh minum, kenapa gue enggak?" Skaya membalas dengan tatapan menantang.
Darren tersenyum kecil. "Lo bakal nyesel."
Skaya mengabaikannya. Satu tegukan berubah menjadi dua, lalu tiga. Sampai akhirnya, dunia di sekelilingnya mulai terasa lebih ringan.
------
Malam yang Kacau
Tidak ada yang tahu siapa yang mengajak duluan, tapi tiba-tiba saja Skaya dan Darren sudah berada di kamar salah satu ruangan vila. Mereka tertawa tanpa alasan, masih terpengaruh oleh alkohol yang mengalir di darah mereka.
"Lo tahu gak, gue suka senyum lo," kata Darren tiba-tiba.
Skaya mengerjapkan mata. "Lo serius?"
Darren mengangguk. "Iya. Cuma sayangnya, lo lebih sering nyebelin."
Skaya mendorong bahunya dengan kesal, tapi bukannya menjauh, Darren justru menariknya lebih dekat. Seketika, suasana berubah. Mereka saling menatap. Nafas mereka begitu dekat. Tapi sebelum sesuatu benar-benar terjadi, tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar.
Braak!
Seseorang menendang pintu salah satu kamar lain. "Woy! Jangan pada mesum, anjir!" suara salah satu teman mereka terdengar keras, diiringi tawa lainnya.
Skaya dan Darren tersentak, lalu langsung menjauh satu sama lain. Dari luar, terdengar suara gaduh. Sepertinya bukan hanya mereka yang terbawa suasana. Skaya dan Darren saling menatap, lalu tanpa sadar, mereka tertawa kecil.
"Gue rasa kita harus tidur sebelum kita benar-benar melakukan sesuatu yang kita sesali," gumam Skaya.
Darren menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Setuju."
-------
Keesokan Paginya
Saat pagi datang, hampir semua orang di vila terbangun dengan kepala berat dan tubuh lemas. Beberapa masih tergeletak di sofa, sementara yang lain mulai mencari air putih dengan wajah kusut. Skaya bangun lebih dulu, dan saat dia melihat ke samping, dia menemukan Darren masih tidur di sofa dengan ekspresi lelah. Dia tersenyum kecil. Meskipun malam tadi hampir di luar kendali, dia bersyukur tidak ada yang benar-benar kelewatan.
Saat Darren mulai bergerak, Skaya menyenggolnya pelan. "Bangun, mabok boy."
Darren membuka mata dengan malas, lalu menatapnya dengan ekspresi datar. "Jangan berisik."
Skaya terkekeh. "Jadi, gimana rasanya mabuk?"
Darren menutup matanya lagi. "Gak enak. Lo sendiri?"
Skaya mengangkat bahu. "Sama aja."
Mereka berdua saling menatap, lalu tanpa sadar, mereka tertawa bersama. Meskipun malam itu kacau, tapi itu adalah kenangan yang tidak akan mereka lupakan.
--------
Pagi yang Berbeda
Sinar matahari menerobos jendela vila, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan. Skaya menggeliat pelan di tempat tidurnya, kepalanya masih terasa berat akibat malam sebelumnya.
Dia menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Saat itu, dia baru menyadari sesuatu, baju yang dipakainya lebih santai dari biasanya. Sebuah kaos kebesaran yang agak longgar dengan celana pendek.
Skaya tidak terlalu memikirkannya sampai dia keluar dari kamar dan bertemu dengan Darren. Laki-laki itu tengah duduk di sofa, masih dalam keadaan setengah sadar. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia memijat pelipisnya, sepertinya masih menyesali efek alkohol dari malam sebelumnya.
Saat Skaya melangkah mendekat, mata Darren tanpa sadar melirik ke arahnya, lalu langsung membelalak.
"Lo…" Darren menelan ludah, buru-buru mengalihkan pandangannya.
Skaya mengerutkan kening. "Kenapa?"
Reksa mendesah pelan, mencoba mengendalikan dirinya. "Lo sadar gak sih, baju lo… agak… gimana, gitu?"
Skaya melirik ke bawah, lalu mendengus. "Yaelah, cuma gini doang. Lo lebay."
"Bukan lebay. Gue cuma gak mau ada yang salah paham," kata Darren, masih berusaha mengontrol ekspresinya.
Skaya menaikkan alis. "Termasuk lo?" godanya.
Darren mendengus, lalu bangkit dari sofa. Dia berjalan ke dapur, mengambil segelas air putih untuk menenangkan dirinya. Tapi Skaya justru semakin senang menggodanya. Dia melangkah ke dekat meja dapur dan menyandarkan lengannya di permukaan meja, menatap Darren dengan ekspresi menggoda. "Lo gugup?"
Darren menghela napas panjang, lalu menatapnya tajam. "Gue gak gugup. Gue cuma mencoba jadi cowok baik."
Skaya tertawa kecil. "Jadi lo punya niat buruk?"
Darren menggeram pelan, lalu mendekat ke arah Skaya, membuat gadis itu tiba-tiba menegang.
"Kalau gue ada niat buruk, lo kira lo masih bisa berdiri santai di sini?" bisiknya.
Sekarang giliran Skaya yang menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tapi sebelum suasana semakin aneh, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari ruang tamu.
"WOY! Bangun, woy! Kita harus balik sebelum siang!" suara salah satu teman mereka terdengar keras.
Darren dan Skaya langsung menjauh satu sama lain.
Darren mendengus pelan, lalu mengambil napas dalam-dalam sebelum berjalan menjauh. "Udah, siap-siap. Kita pulang."
Skaya masih berdiri di tempatnya, merasakan dadanya berdebar. Sial, kenapa suasananya jadi kayak gini?