Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Percaya atau Tidak
Sore ini, Rain duduk gusar di sofa kontrakannya. Setelah dari rumah sakit tadi malam, Rain langsung pulang pagi harinya. Ia bolos kuliah hari ini. Bukan karena apa, Rain hanya merasa tak bersemangat ke kampus. Karena mimpinya tadi malam, sampai sekarang Rain masih resah.
Entah sudah berapa kali Rain bermimpi tentang mimpi yang sama. Selalu mimpi itu. Masalahnya, kenapa ia harus memimpikan itu? Apakah ia pernah mengalami kejadian itu? Tapi, tidak ada sama sekali kejadian seperti itu dalam ingatan Rain.
Rain berdecak resah. Mimpi itu membuatnya sangat penasaran, bingung, sekaligus takut. Bagaimana tidak takut, setiap kali Rain memimpikan kejadian itu, tubuhnya seolah remuk, kepalanya seperti pecah. Dan lagi, hujan deras memekik memenuhi telinganya. Suasana malam yang sangat suram. Apalagi, setiap terbangun dari mimpi, jantung Rain akan berpacu dengan cepat. Bukan cepat dalam versi menyenangkan, tapi sangat menyakitkan.
Rain duduk gusar menanti Asyama pulang. Sepertinya kakaknya itu menyembunyikan sesuatu darinya.
Rain ingat, Asya bilang kalau ia demam tinggi hingga sedikit memori hilang dari kepalanya. Tapi, Rain kurang percaya hal itu. Bagaimana mungkin demam bisa membuatnya lupa ingatan?
"Kak Asya. Rain mau ngomong!"
Setelah lama menunggu, Asya datang dengan wajah lelahnya. Rain membiarkan gadis itu membersihkan diri sebentar. Setelah itu, Rain menghampirinya di meja makan.
"Ngomong aja," kata Asya sambil menikmati makanannya.
Rain menghela napas. Ia menatap Asyama dengan serius. "Apa yang kalian sembunyikan dari aku?"
Asya menghentikan kegiatannya. Alisnya naik sebelah. "Maksud kamu?" tanya Asya, lalu lanjut makan.
"Hari itu, aku gak mungkin cuma demam, kan?"
Pergerakan Asyama berhenti. Ia menatap Rain cepat. Tatapannya menunjukkan keterkejutan.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
Rain tak langsung menjawab. Ia memperhatikan kakaknya. Asya terlihat terkejut.
"Kamu demam tinggi, Rain," lanjut Asya. Ia kembali melanjutkan kegiatannya.
"Jangan bohong, kak."
"Rain. Kakak lagi makan. Kamu jangan nanya-nanya aneh, deh. Sana tidur!" kata Asya nampak tak acuh.
"Aku serius," ucap Rain.
Asyama menghela napas. Ia kemudian kembali menatap Rain. Kali ini matanya lebih tegas. "Kakak juga serius. Kamu memang demam. Kalau kamu gak percaya, tanya sama papa atau sama paman."
Rain diam sebentar.
"Kalian bersekongkol menyembunyikan sesuatu dari aku."
"Rain!"
"Aku tahu kalian berbohong."
Asyama menatap kesal. "Kami bohong untuk apa coba? Kalau kamu masih gak yakin, tanya sendiri sama dokternya," katanya.
Rain terdiam. Ada benarnya juga. Untuk apa mereka berbohong? Tapi, bagaimana jika ternyata mereka berbohong? Ahh... Rain benar-benar bingung.
Kalau ucapan Asya benar, lantas kejadian yang ada dalam mimpinya itu apa? Apa cuma bunga tidur biasa? Tapi, memangnya ada bunga tidur yang selalu terulang seperti itu?
Rain kembali dari segala pertanyaan dalam pikirannya. Ia menatap Asya.
"Kalian yakin cuma demam? Bukan kecelakaan?" Rain bertanya tiba-tiba. Entah kenapa, firasatnya memang mengatakan seperti itu. Apalagi, Rain bisa merasakan darah yang mengalir dari kepalanya di dalam mimpi.
Pergerakan Asya kembali berhenti. Matanya sedikit melebar. Tapi, ia tidak berani menatap Rain. Sehingga Rain tidak bisa melihat ekspresi gadis itu.
"Jangan mengada-ngada, dan jangan bertanya lagi! Tidur sana!" perintah Asya dengan suara datar.
Rain berdecak kesal. Semakin kesini ia semakin curiga. Sepertinya, ia harus memastikannya sendiri. Rumah sakit adalah jawabannya.
Rain pergi tanpa pamitan. Ia memasuki kamar dan langsung mengistirahatkan tubuhnya. Kalau Asya tak mau jujur, maka ia akan menguak sendiri. Jika bertanya kepada ayah dan pamannya pun sepertinya bukan jalan yang bagus.
Sementara di meja makan, Asyama menghentikan kegiatannya. Ia menghela napas kasar. Kenapa tiba-tiba Rain menanyakan hal seperti itu? Apa ia mengingat sesuatu?
Asya menggeleng. Itu tidak mungkin. Rain tidak mungkin mengingatnya. Dokter Lio bilang, ingatan itu benar-benar hilang permanen.
Asya masih ingat ucapan Dokter Lio.
"Ada bagian otaknya yang rusak. Untungnya tidak terlalu parah. Tapi, ingatan Rain beberapa bulan terakhir ini akan hilang permanen. Sekali pun Rain mencoba mengingat, ia tidak akan bisa mengingatnya..."
Waktu Itu, baik ayah, pamannya, dan asya, tidak bisa mempercayai hal itu. Tapi ketika Rain bangun, ia benar-benar tidak ingat kenapa ia berada di rumah sakit.
"Saran saya, jangan memberitahunya fakta yang sebenarnya. Hal itu bisa membuatnya mencoba mengingat dan memicu masalah di otaknya. Terlebih bagian Hippocampus."
"Tapi, putri saya tahu kalau dia berada di rumah sakit. Apalagi sudah berbulan-bulan. Ia pasti bingung karena masih ada kejadian terakhir yang melekat di otaknya."
"Buat saja alasan lain, asal bukan sesuatu yang parah. Karena jika berkaitan dengan dengan kejadian yang dia alami, tubuhnya bisa bereaksi berlebihan dan memicunya untuk terus mengingat. Putri anda bisa mengalami kelumpuhan otak jika terus mengingatnya."
Asyama mengusap wajahnya. Ia memang berbohong. Tapi, ini demi kebaikan Rain. Ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan adiknya itu. Ia tidak ingin kehilangan lagi.
"Apa ingatannya benar-benar tidak kembali, dok?"
"Mungkin, hanya mujizat yang bisa mengembalikannya."
Lagi pula, Rain tidak harus mengingat kejadian buruk itu. Asya tidak ingin Rain mengalami trauma.
***
Pagi harinya, Rain langsung tancap gas, bahkan belum berpamitan terlebih dahulu.
Ghio yang melihat Rain pergi terburu-buru, menatap heran. Dalam sekejap, ia sudah duduk manis di motor Rain.
"Kamu sudah pulang?" tanya Rain ketika merasakan sesuatu di belakangnya. Saat ia melirik dari spion, ternyata itu Ghio.
"Ya. Tadi malam. Aku bosan berada disana."
"Mama kamu kan ada."
"Mama dan papaku tidur di kamar mereka. Aku sendirian di ruang rawat, jadi aku memutuskan untuk pulang."
Ghio memang tidak pulang bersama Rain kemarin. Rain beralasan pergi kuliah. Dari pada Ghio menunggu di kontrakan, lebih baik ia tinggal di rumah sakit melepas rindu dengan papanya.
Kemarin pagi, saat Rain bangun, papa Ghio langsung menyambutnya bersama Gelora. Tentu saja Rain terkejut, apalagi ini pertama kalinya ia melihat papa Ghio. Sama seperti Ghio, pria itu juga tampan. Tatapannya mirip dengan tatapan Ghio. Namun jika dikatakan mirip, kebanyakan Ghio lebih dominan ke mamanya.
"Kamu tidak ingin melihat papamu? Kamu hanya bertemu dengannya sekali."
"Nanti saja. Aku lebih penasaran kamu mau kemana? Ini bukan jalan ke kampus," kata Ghio.
Rain melirik pria itu dari kaca spion. Alisnya menyatu. "Kamu hapal jalan ke kampus ku?"
"Tentu saja!"
Mata Ghio melebar setelah mengatakan itu. Mulutnya tertutup rapat. Dari kaca spion, Ghio bisa melihat Rain memicingkan matanya.
"Ah... Bukan... Eh, maksudku, aku hanya..."
"Hanya apa?" Rain memotong ucapan pria itu. "Kamu menguntit, ya?"
Ghio menggeleng kuat. "Nggak! Aku bukan penguntit seperti itu. Aku hanya sering mengikuti kamu dari belakang."
Mata Rain kembali memicing. "Sering? Wah, ternyata kamu memiliki sifat seperti itu, ya?" kata Rain tak percaya.
Mata Ghio melotot. "Aku tidak seperti itu. Asal kamu tahu, aku terlalu bosan berada di rumah. Itu sebabnya aku mengikuti mu," katanya.
Rain menyeringai lucu. "Halah, gak usah gengsi."
"Aku gengsi?"
"Iya, dong. Bilang aja kalau kamu gak mau jauh-jauh dari aku," kata Rain percaya diri.
"Narsis sekali."
Rain mendelik mendengar itu. Apa salahnya percaya diri? "Jadi, kamu suka jauh-jauh dari aku? Oke. Gitu ya permainan kamu."
"Nggak. Hei, siapa yang bilang seperti itu?" panik Ghio.
"Kamu tadi."
"Aku gak bilang gitu," elak Ghio.
"Pas aku bilang gitu, kamu bilang aku narsis."
"Bukan gitu maksudnya."
"Trus gimana? Cowok emang gak pernah jelas."
"Astaga. Terserah kamu aja mau berpikir apa," kesal Ghio. Susah berdebat dengan perempuan.
"Cewek emang gak pernah salah." Tapi, ia hanya berani mengucapkannya dalam hati.
Tak terasa, selama mereka berdebat, mereka telah menempuh perjalan yang sedikit jauh.
Rain berhenti di depan rumah sakit.
"Untuk apa kesini? kamu sakit?" tanya Ghio.
"Nggak. Ayo!" ajak Rain. Ia memasuki rumah sakit dengan Ghio yang mengekor di belakang.
"Permisi. Saya ingin bertemu dengan dokter Lio."
Setelah bertanya ke resepsionis, Rain segera menemui dokter Lio. Dokter itu sedang menangani pasien.
"Siapa dokter Lio?" tanya Ghio.
"Dokter yang dulu merawat ku."
"Kamu sakit?" tanya Ghio.
"Dulu. Sekarang tidak lagi. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu," kata Rain.
Raut Ghio tenang seketika. Ia pikir Rain sakit.
"Menanyakan apa?" tanya Ghio lagi.
"Ada. Nanti kamu juga denger sendiri."
Ghio mengangguk, tidak ingin bertanya lagi. Ia berhenti ketika Rain berhenti. Ia menatap Rain yang berjalan ke arah seorang pria. Pria itu terlihat masih muda. Mungkin umurnya hanya beberapa tahun diatas mereka. Sekitar 28 tahun-an.
"Dokter Lio," panggil Rain.
Dokter yang baru keluar dari ruangan itu langsung berbalik. Alisnya menyatu saat melihat Rain. Ia seperti mengenali gadis itu.
"kamu..." Dokter Lio menunjuk Rain dengan dahi berkerut.
"Iya. Saya pasien disini beberapa bulan yang lalu. Nama saya Rain," kata Rain memperkenalkan dirinya lagi.
"Ah... Iya. Rain. Saya masih ingat," kata pria itu seraya tersenyum ramah. "Bagaimana keadaan kamu sekarang? Kamu pernah merasakan sakit di kepala atau yang lain?" tanyanya.
Rain menggeleng. Sebenarnya, pernah. Tapi, ia tak berniat untuk mengatakan itu, karena bukan itu tujuannya datang kesini.
"Bagus kalau begitu. Lalu, ada keperluan apa?" tanya Dokter Lio ramah.
"Saya mau tanya sesuatu sama dokter. Ini terkait kejadian beberapa bulan yang lalu."
"Duduk dulu." Dokter Lio mengajak Rain duduk di kursi.
Rain menurut. Tiba-tiba saja Ghio duduk di samping kirinya.
"Eh!" Rain mencegat Dokter Lio yang hendak duduk.
"Kenapa?" tanya Dokter Lio bingung.
Rain menyengir kuda. "Di sini aja, dok." Rain menunjuk kursi kanannya.
Dokter Lio sempat bingung. Apa bedanya kursi itu? Tapi, ia tetap duduk di sebelah kanan Rain.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Ah... Saya mau dokter Lio jujur. Apa benar waktu itu saya cuma demam tinggi?" tanya Rain to the point.
Dokter Lio terlihat melebarkan matanya. Kenapa gadis itu menanyakan hal ini?
"Ya," kata Dokter Lio cepat.
Rain menatap ragu. "Dokter gak bohong, kan? Bukannya saya kecelakaan?" Rain sengaja mengatakan itu. Ia ingin melihat bagaimana reaksi dokter Lio.
"Kamu kecelakaan, Rain?"
Rain menatap sebentar ke samping kirinya. Ia menyuruh Ghio diam dengan gerakan mulutnya.
Ghio langsung menutup mulutnya.
Karena hal itu, Rain tidak sempat melihat raut wajah Dokter Lio. Yang Rain lihat hanya senyum manis.
"Kamu hanya demam tinggi. Kenapa kamu bertanya seperti itu? Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak," katanya.
"Kenapa dia selalu melemparkan senyum? sok tampan sekali," gerutu Ghio yang masih di dengar oleh Rain.
Rain menggigit bibir. "Emangnya, bisa ya dok hanya karena demam sampai lupa ingatan?"
Dokter Lio kembali tersenyum.
"Suruh dia berhenti tersenyum, Rain. Caper sekali."
Rain menggulum tawa mendengar itu. Untung saja Dokter Lio tidak melihatnya.
"Bisa aja. Karena terlalu panas, saraf-saraf itu jadi rusak. Itu sebabnya kamu lupa ingatan."
Rain menatap lamat-lamat pria itu. Tidak ada tanda-tanda kebohongan disana. Pandai sekali dia berbohong. Rain hampir percaya kalau saja ia tidak pernah bermimpi.
Sepertinya, Dokter Lio ikut bersekongkol dengan mereka.
Hah, sia-sia saja dia bertanya kepada pemuda ini. Eh, dia masih pemuda, kan?
"Ya sudah. Saya hanya mau menanyakan itu, dok. Terima kasih untuk waktunya," kata Rain seraya tersenyum.
"Sama-sama. Saya pikir ada hal lain. Kamu terlalu memikirkannya sampai harus menemui saya ke sini." Dokter Lio menepuk bahu Rain. "Jangan memikirkan itu lagi. Lupakan saja yang sudah berlalu. Jaga kesehatan kamu dan selalu hati-hati."
"Hei! Hei! Lepaskan tangan kotor mu." Ghio melotot, mencoba melepaskan tangan Dokter Lio dari bahu Rain. Sayangnya, itu tembus.
Rain menggeleng aneh dengan sikap Ghio. Dokter Lio bukannya mau melukainya. Astaga!
"Baik, dok. Kalau begitu saya pergi," pamit Rain seraya berdiri. Ia kemudian pergi seraya menarik tangan Ghio.
Dokter Lio mengangguk. Ia melambaikan tangannya kepada Rain tanpa melepaskan senyum manisnya. Tampan. Para perawat yang melewati tempat itu malah salting sendiri melihat senyum dokter Lio.
Ghio berdecak kesal. Ia sesekali melirik ke belakang. "Senyumnya hampir saja membuat mulutnya robek. Ckk, dia tidak lelah senyum seperti itu?"
Rain menggulung bibirnya ke dalam, berusaha mati-matian agar tidak tertawa.
"Kamu tidak menyukainya hanya karena senyum?" tanya Rain.
"Hm. Senyumnya sangat jelek. Sok ganteng."
"Dokter Lio memang ganteng," kata Rain.
Ghio menoleh cepat ke arah Rain. "Mata mu bermasalah?"
"Nggak."
Ghio berdecak kesal. "Lalu, kamu suka?"
"Nggak juga."
"Lalu?"
"Dia memang tampan, Ghio. Memangnya kenapa? Itu fakta. Dan senyumnya itu adalah hal biasa. Seorang dokter memang seperti itu," kata Rain.
"Kamu membelanya," ucap Ghio masih dengan wajah kesal.
Rain tertawa. "Kamu cemburu, ya?" Goda Rain.
"Tentu saja."
Senyum Rain langsung hilang. Langkahnya berhenti. Matanya mengerjap berkali-kali.
Tak perlu ditanya lagi, jantungnya sudah tidak aman.
Tak lama kemudian Rain tersenyum manis. Ternyata Ghio selucu ini. Wajah yang menyeramkan dengan tatapan dingin dan datar yang Rain lihat sewaktu awal-awal itu tak lagi ada.
"Aku tidak menyukai siapapun," kata Rain. Senyumnya lebar hingga matanya menyipit.
"Siapa pun?" tanya Ghio tak percaya.
"Ya. Kecuali kamu."
Ghio merasa terbang seketika. Setiap hari, Rain selalu membuat hatinya berbunga-bunga.
"Tanggung jawab."
Alis Rain menyatu. "Tanggung jawab apa?"
"Tanggung jawab, karena kamu membuat ku jatuh."
"Hah?"
"Jatuh hati pada mu."
Mata Rain terbelalak. Dari mana Ghio belajar menggombal seperti ini?
"Astoge. Siapa yang menyesatkan Ghio sampai seperti ini? Siapa pun itu, bakal gue bogem mukanya."