DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Keesokan harinya.
Bella turun dari kamarnya, mengenakan gaun santai berwarna biru lembut. Langkahnya pelan menyusuri tangga kayu yang berderit. Sampai di ruang makan, dia melihat Louis sudah duduk di sana, dengan wajah datar seperti biasanya. Pria itu mengenakan setelan abu-abu, rambutnya tertata rapi.
"Sarapan sudah siap. Aku akan berangkat sebentar lagi," kata Louis.
"Terima kasih, Louis. Aku akan makan sebentar, lalu pergi ke kampus."
Louis menatap jam tangannya. "Kampus?"
Bella mengangguk pelan. "Iya, aku tidak mungkin ambil libur terlalu, takut tugasku menumpuk."
Louis tak menanggapi kata-kata terakhir Bella. Dia hanya merogoh kantong jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu.
"Ini," katanya sambil menyodorkan kartu itu ke arah Bella. "Kartu ini bisa kamu gunakan untuk apa saja. Jika butuh sesuatu, jangan ragu-ragu."
Mata Bella membesar saat melihat kartu unlimited di tangan Louis. Ia meraihnya dengan sedikit ragu, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
"Serius? Aku bisa menggunakannya sesuka hati?" tanya Bella.
"Ya, gunakan saja. Aku akan keluar kota beberapa hari untuk pertemuan penting. Jadi, aku ingin kamu tidak kekurangan apa pun selama aku tidak di sini," jawab Louis.
"Terima kasih. Aku akan hati-hati menggunakan ini."
"Baiklah. Kalau begitu, aku pergi sekarang. Jaga diri baik-baik."
Bella mengikutinya sampai ke pintu depan. Saat Louis hendak melangkah keluar, Bella memberanikan diri bertanya.
"Louis, kapan kamu pulang?"
"Tiga hari, mungkin empat. Jangan terlalu memikirkan aku, fokus saja pada kuliahmu," jawab Louis.
Bella hanya bisa mengangguk. Dia melihat Louis melangkah ke mobil hitam yang sudah menunggu di depan rumah. Saat mesin mobil dinyalakan dan Louis melambai sebentar, Bella balas melambai dengan senyuman.
Bella kemudian masuk ke dalam rumah, suasana rumah terasa sepi dan dingin tanpa kehadiran Louis. Saat dia baru saja menutup pintu, suara langkah terdengar dari arah ruang tamu. Bella menoleh, dan di sana berdiri Gabriel, pria muda dengan senyum yang penuh percaya diri. Tatapannya tajam, seperti sedang mengamati setiap gerak-gerik Bella.
"Gabriel, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Bella.
"Hanya ingin menyapa. Sepertinya sekarang kamu sendirian, kan?"
"Louis memasang banyak kamera di rumah ini. Dia mengawasi setiap sudut dengan ketat," kata Bella.
Gabriel menghentikan langkahnya, senyumnya menghilang seketika. Dia memandang sekeliling seakan mencari tanda-tanda kamera yang disebutkan Bella.
"Oh, benarkah? Dia tidak akan selalu tahu apa yang terjadi," ucap Gabriel.
"Aku tidak akan biarkanmu mendekat. Jika kamu melakukan sesuatu, Louis pasti akan tahu," ancamnya Bella lagi.
"Yah, mungkin aku tidak perlu mendekat untuk menikmati pemandangannya," katanya, dengan nada yang membuat Bella bergidik.
Bella merasa darahnya mendidih. Dia segera menutup dadanya dengan kedua tangannya, berusaha menutupi bagian yang menonjol.
"Kamu tidak punya hak untuk melihatku seperti itu!" kata Bella.
"Santai saja, Bella. Aku hanya bercanda untuk sekarang," ujarnya dengan senyum miring sebelum akhirnya dia melangkah pergi, meninggalkan Bella yang masih berdiri di tempatnya dengan jantung yang berdebar cepat.
Kenapa Louis membiarkanku serumah dengan anaknya? gumam Bella.
Di sisi lain.
Alister menyetir dengan cepat dan membawa Louis menuju bandara untuk pertemuan penting. Jalanan di depan mereka cukup lengang, dan Alister berpikir dia bisa mempercepat laju mobil. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita yang melintas tanpa melihat kiri-kanan. Alister mengerem mendadak dan membuat mobil berhenti dengan suara decit keras.
"Alister, apa yang kamu lakukan?" tanya Louis terkejut.
"Maaf, Tuan Louis. Sepertinya aku hampir menabrak seseorang."
Louis menghela napas pelan, lalu membuka pintu mobil dan keluar. Wanita itu tampak memegangi kakinya, wajahnya meringis kesakitan.
"Hei, kamu baik-baik saja?" tanya Alister saat dia mendekati wanita itu.
"Menurutmu aku terlihat baik-baik saja? Aku kesakitan! Lihat, kakiku terluka. Kalian harus bertanggung jawab!" jawabnya dengan nada marah.
Louis menatap wanita itu dengan tatapan datar. Dia merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu menyodorkannya ke arah wanita itu.
"Ini, untuk pengobatanmu. Ambil saja dan pergi," kata Louis.
"Kamu pikir uang bisa menyelesaikan semuanya? Aku tidak mau uangmu! Aku mau kamu menggendongku ke rumah sakit. Lihat, aku tidak bisa berjalan!" kata Alice.
Louis mengerutkan alisnya, menatap Alice dengan dingin.
"Aku tidak punya waktu untuk urusan seperti ini. Alister, hubungi Kim. Suruh dia datang dan urus ini."
"Kamu serius? Aku minta kamu, bukan orang lain! Kamu yang hampir menabrakku, kamu yang harus bertanggung jawab!" teriak Alice.
"Nona, Tuan Louis ini ada urusan penting, dia benar-benar tidak bisa—"
Louis memotongnya dengan suara tegas, "Aku tidak akan menggendong siapa pun, Alister. Pastikan Kim mengurus ini."
"Jadi ini caramu menyelesaikan masalah, ya? Mengandalkan orang lain?" ejek Alice.
"Aku tidak perlu menjelaskan diri padamu," kata Louis sebelum berbalik dan berjalan menuju mobil, seolah masalah ini sudah selesai untuknya.
Alice memandang punggung Louis yang semakin menjauh, hatinya penuh amarah dan rasa kecewa.
"Kim akan segera datang. Dia akan membantumu ke rumah sakit," kata Alister.
Alice mendengus, lalu duduk di pinggir trotoar dengan ekspresi marah, sementara Alister mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Kim. Di kejauhan, Louis sudah kembali duduk di dalam mobil, tatapannya tetap lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh ke arah Alice lagi.
Di dalam mobil yang melaju kembali, Louis duduk di kursi belakang dengan tenang. Jendela gelap di sebelahnya membuat wajahnya samar terlihat dari luar. Sementara Alister fokus menyetir, Louis mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi khusus yang terhubung dengan CCTV di rumahnya.
Tatapannya langsung tertuju pada layar yang menunjukkan ruang tamu rumah mereka. Di sana, dia melihat Bella yang baru saja masuk setelah pertemuannya dengan Gabriel. Bella tampak memegangi dadanya, raut wajahnya tampak tegang.
Louis mengerutkan alis, memperbesar tampilan layar untuk melihat lebih jelas.
"Hmph, Gabriel lagi..." gumamnya pelan.
Kemudian, ia memperhatikan bagaimana Bella berusaha mengendalikan dirinya, meski jelas terlihat ada ketakutan di wajahnya
Seketika, ekspresi Louis melunak. Bibirnya yang biasanya datar perlahan melengkung, membentuk senyum tipis yang jarang terlihat.
"Dia berani melawan," bisiknya.
Louis tetap fokus pada layar ponselnya, matanya terus memantau gerak-gerik Bella. Dia melihat Bella naik ke kamarnya dengan langkah cepat dan mengunci pintu kamar.
"Kamu tidak selemah yang kupikirkan, Bella," gumam Louis.
Dia membuka aplikasi pesan dan mulai mengetik, jarinya bergerak cepat di atas layar:
"Bella, jangan lupa. Selama aku pergi, jaga hati dan matamu hanya untukku."
Louis berhenti sejenak, menatap pesannya, memastikan bahwa kata-katanya cukup tegas namun tidak terlalu kaku. Setelah itu, dia menekan tombol "Kirim" dan melihat pesan itu terkirim dengan cepat.
"Tuan Louis, sepertinya Alex mulai bertindak," ucap Alister yang sedang menyetir.
"Kerahkan semua pengawal untuk menjaga Bella!"