Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Kehangatan Keluarga
Semua mata menoleh pada Pak Hadi dengan rasa ingin tahu. Pak Hadi tak menjelaskan lebih lanjut, namun dia punya alasan yang kuat memilih nama itu. Dalam benaknya, nama itu terdengar seperti cerminan sempurna, Diana dan Diandra, nama yang mungkin dipilih oleh pasangan yang berharap memiliki anak kembar. Tapi ia hanya menyimpannya dalam hati.
Wanita itu menatap mereka bingung, tetapi perlahan tersenyum. Elin tersenyum pada Zion dan Ello, mengisyaratkan persetujuan. “Diandra... ya, aku suka. Nama yang indah.”
Ziel langsung melompat senang, matanya berbinar. "Diandra! Tante Diandra! Aku suka nama itu!" serunya riang sambil menggenggam tangan wanita itu. “Sekarang Tante punya nama! Tante suka nama itu, 'kan?”
Wanita itu tersenyum hangat, merasa sedikit terharu dengan penerimaan hangat mereka. Ia menatap Ziel, kemudian beralih pada Pak Hadi, sebelum akhirnya tersenyum lembut. “Iya, Diandra... Nama yang sangat cantik. Terima kasih, Pak Hadi.”
Pak Hadi tersenyum tipis, mengangguk hormat. "Sama-sama, Nona."
John menyahut dengan senyum lega, “Diandra, selamat datang, ya. Aku harap kamu betah di sini.”
Zion menambahkan, “Ya, kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk bilang, anggap saja semua di sini adalah keluargamu. Dan Ziel akan menjadi pelindung kecilmu,” katanya sambil melirik Ziel yang kini berdiri tegak, mengangguk penuh semangat.
Diandra mengangguk dengan mata berkaca-kaca, hatinya tersentuh oleh sambutan hangat dari keluarga baru ini. Bagi mereka, ia bukan hanya orang asing yang datang tanpa masa lalu, melainkan bagian dari keluarga yang akan dijaga.
Elin menatap Ziel dan tersenyum lembut. "Ziel, guru les privatmu sudah menunggu. Pergilah dulu, ya! Masih banyak waktu nanti untuk bermain bersama Tante Diandra," katanya penuh pengertian.
"Iya, Ma," jawab Ziel patuh, lalu menoleh ke arah Diandra. "Aku les dulu, ya, Tante?"
Diandra membalas dengan senyuman hangat. "Iya, silakan, Nak." Ia mengelus rambut Ziel dengan penuh kasih. Entah mengapa, sejak pertama kali bertemu dan menyentuh Ziel, ia merasakan ada ikatan yang kuat di antara mereka.
Ello menatap Zion. "Kakak ipar, katanya Kakak ingin bicara denganku?"
Zion mengangguk. "Benar. Kita bicarakan di ruangan kerja saja," ujarnya kembali ke ruang kerja diikuti Ello, John dan Pak Hadi.
Setelah Ziel dan yang lainnya berlalu, Elin menatap Diandra dengan senyum hangat. "Sekarang, bagaimana kalau aku tunjukkan ruangan-ruangan di rumah ini, Di?" ucapnya ramah.
Diandra tersenyum penuh syukur. "Terima kasih, Kak…" Kemudian ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Boleh, 'kan, aku panggil Kakak?"
Elin tersenyum lebar. "Tentu saja, Diandra. Aku senang sekali kalau kamu memanggilku begitu."
“Terima kasih banyak,” ucap Diandra tulus, merasa hangat oleh penerimaan ini.
Elin tertawa kecil, merangkul bahu Diandra dengan akrab. "Santai saja. Yuk, kita mulai berkeliling!"
Elin menuntun Diandra menyusuri rumah besar yang elegan namun hangat ini, berhenti di beberapa titik untuk menunjukkan ruangan yang penting. “Ini ruang keluarga. Kita sering berkumpul di sini untuk berbincang atau sekadar menghabiskan waktu bersama,” ucap Elin dengan nada lembut.
Diandra mengangguk, tersenyum kecil sambil memandang ruang keluarga yang terasa hangat dan penuh nuansa kebersamaan. Ia melihat beberapa foto keluarga yang dipajang di dinding, potret kebahagiaan yang membuatnya merasa sedikit terharu.
Elin melanjutkan langkahnya, membawa Diandra menuju sebuah kamar yang terletak di ujung lorong. “Dan ini akan jadi kamar untukmu,” katanya seraya membuka pintu. Kamar itu sederhana namun nyaman, dengan pemandangan taman yang tenang dari jendela besar di sisi kiri ruangan.
Diandra tersenyum kecil, hatinya terasa hangat melihat betapa mereka telah menyiapkan tempat ini untuknya. “Terima kasih, Kak… ini lebih dari cukup,” katanya, merasa sedikit canggung.
Elin tersenyum hangat, menepuk lembut tangan Diandra. "Jangan sungkan, Diandra. Kamu bagian dari keluarga kami sekarang. Kami ingin memastikan kamu nyaman di sini," ucapnya dengan tulus. "Jika ada yang kamu butuhkan atau inginkan, jangan ragu untuk bilang, ya."
Diandra mengangguk, mencoba untuk meresapi perasaan hangat itu. Mereka melanjutkan tur keliling rumah, dan di setiap sudut, Elin memperkenalkan Diandra pada para pelayan rumah yang menyambutnya dengan senyuman hormat dan ramah. Beberapa bahkan membungkuk dengan penuh penghormatan.
“Selamat datang, Nona Diandra,” kata salah satu pelayan dengan tulus.
Diandra merasakan matanya sedikit memanas. “Terima kasih. Terima kasih banyak…” ia berbisik, terharu oleh keramahan yang ia rasakan di setiap sudut rumah ini.
Setelah tur selesai, Elin mengajak Diandra bergabung dengan keluarga untuk makan siang. Di meja makan, suasana terasa begitu hangat. Zion, Ello, Ziel, John, dan Pak Hadi berbincang dengan akrab, menyambut Diandra seolah ia sudah lama menjadi bagian dari mereka.
Diandra menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya sambil mencuri pandang pada mereka semua, lalu kembali terdiam sejenak. Hatinya tersentuh, ia merasakan kehangatan yang entah mengapa terasa baru baginya. Saat ia duduk di sana, hatinya terasa sedikit beku, seperti sesuatu yang telah lama tertutup dan terlupakan. Namun kini, bersama keluarga ini, hati itu seolah mencair.
Dalam hatinya, Diandra bergumam, “Entah mengapa, aku merasa hatiku ini dingin… ada kekosongan yang tak kumengerti. Tapi bersama mereka, hati yang dingin ini terasa hangat, seolah mereka mengisinya dengan cahaya yang pernah hilang.”
Ziel tiba-tiba mengalihkan perhatiannya. “Tante Diandra, Tante suka makanannya?” tanyanya dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
Diandra tersenyum hangat pada Ziel dan mengangguk. “Iya, Nak. Makanannya enak sekali.”
Ziel tertawa senang, lalu berkata bangga, “Mama dan Oma Mira jago masak, Tante. Kalau Tante lapar, bilang aja, ya! Ziel bisa ambilin makanan buat Tante.”
Suasana meja makan itu pun diiringi tawa kecil mereka. Ello melirik Diandra sejenak, merasakan ketulusan yang kini hadir di wajahnya. Bagi Diandra, ini bukan sekadar makan siang; ini adalah momen yang menorehkan kehangatan, momen yang perlahan membuatnya merasa seperti pulang ke tempat yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.
***
Beberapa hari kemudian, di ruang kerja yang temaram, Zion duduk di kursinya, pandangannya tertuju pada Pak Hadi yang berdiri dengan sikap penuh hormat di hadapannya. Zion mengetukkan jarinya ke meja, tanda bahwa pikirannya tengah sibuk mencerna segala informasi yang baru ia terima. Akhirnya, ia mengangkat wajah, menatap Pak Hadi dalam-dalam.
"Jadi, bagaimana hasil penyelidikan Bapak tentang Diandra?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik, seolah takut kata-katanya akan memecah kesunyian yang memenuhi ruangan.
Pak Hadi menghela napas, sedikit ragu sebelum akhirnya menjawab, “Maaf, Tuan Zion… saya benar-benar tidak menemukan informasi apapun tentang Diandra di negara ini.”
Zion mengerutkan kening, menatap Pak Hadi dengan tatapan penuh tanda tanya.. "Bapak yakin? Tidak ada satu pun petunjuk?" tanyanya pelan, namun ketegangan terlihat jelas di matanya.
Pak Hadi menggeleng, tampak tenang, namun penuh penyesalan. “Tidak Tuan. Saya sudah menelusuri berbagai arsip, rekam medis, koneksi yang kita punya, bahkan jaringan yang biasa kita gunakan untuk mencari orang hilang. Tapi, tidak ada jejak tentang Diandra, Tuan. Tak ada satu pun petunjuk yang mengarah pada identitasnya di negara ini. Seolah-olah dia muncul entah dari mana… tanpa latar belakang apa pun di negara kita.” jawabnya, penuh kehati-hatian.
Zion bersandar di kursinya, menatap kosong ke depan, mengatur napasnya yang semakin berat. Bayangan wajah Diandra terlintas di benaknya, wajah yang sangat mirip dengan Diana. Namun, tanpa identitas, tanpa asal-usul. Perasaan penasaran bercampur dengan kegelisahan menyeruak di dalam dadanya
Zion menghela napas panjang, mencoba mengurai rasa penasaran yang semakin menguat. “Kalau begitu, apa mungkin dia berasal dari negara lain? Dan entah bagaimana terdampar di pantai negara kita? Apa mungkin ini adalah pertama kalinya dia berada di sini?”
...🌸❤️🌸...
To be continued