Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Tentukan Pilihanmu
"Cakra, makas_ maksudnya, terima kasih, Kama."
Sejak awal yang ada di pikiran Ameera hanya Cakra walau di sisinya ada Kama. Bukan hal aneh andai dia sampai salah menyebut nama seperti ini, Kama yang mengerti hanya tersenyum tipis seraya menggeleng pelan.
"Anak itu kemana?"
"A-ada, kenapa memangnya?" tanya Ameera tampak gugup. Dia sudah berusaha terlihat biasa saja sejak kemarin, jangan sampai setelah bertemu Kama justru membuat pertahannya buyar nantinya.
Melihat gelagat Ameera, pria itu hanya terkekeh. Sejak dahulu mengenal Ameera sebagai wanita yang tidak pernah ragu dalam bicara, jelas saja kali ini perubahannya membuat Kama menerka-nerka. "Putus lagi?" tanya Kama kemudian, sebuah pertanyaan singkat yang seketika membuat Ameera tampak pucat.
Ameera bergeming, hendak dikatakan putus sebenarnya mereka memulai saja belum, sungguh dia bingung sendiri saat ini. "Tidak perlu dijawab kalau belum jelas statusnya, aku pergi ... hubungi aku kalau Cakra sudah kembali."
Tanpa bertanya maksud dan tujuan Kama lagi, wanita itu hanya mengangguk agar pembicaraan mereka lekas diakhiri. Demi Tuhan dia tidak ingin terlihat hancur di mata orang-orang yang melihatnya, sejak dahulu Ameera memang tak suka.
Beruntungnya, Kama tidak seperti Ricko dalam hal ini. Walau mungkin sudah tertebak baginya, tapi Kama sama sekali tidak menjadikan Cakra lelucon, apalagi merendahkannya. Tidak salah jika Papa Mikhail sempat mengatakan bahwa Kama adalah salah-satu calon menantu ideal versinya.
"Bodoh banget!!"
Selepas kepergiaan Kama, saat ini Ameera gunakan waktu untuk mengutuk kebodohannya. Dia menendang angin dan berlari memasuki gerbang utama dengan langkah panjang, payung yang sempat Kama berikan seakan tidak berfungsi dengan baik karena kini bagian pundak Ameera sudah basah kuyup.
Hal itu sudah membuktikan jika Ameera kehilangan arah pasca berpisah dari Cakra. Beberapa pelayan di rumahnya sangat sadar, tapi mereka juga melakukan hal sama seperti yang dilakukan Ameera, pura-pura terlihat baik dan biasa saja.
.
.
Bukan hanya sehari dua hari, tapi hari-hari berikutnya juga demikian. Dia seakan terbiasa tanpa Cakra, walau terkadang mata sembab itu terlalu kentara dan ketika ditanya ada saja jawabannya.
"Diam, kak Zean ... aku tidak menangis, mataku cuma berair debu Jakarta sangat memprihatinkan akhir-akhir ini."
"Apa tidak sebaiknya ke psikolog saja, Ra? Kamu mulai gila kalau aku lihat-lihat."
Malam ini suasana di ruang makan terasa lebih hangat, tidak sedingin hari-hari kemarin berkat kehadiran saudaranya. "Kakak saja, aku masih waras dan akalku sangat baik-baik saja," balas Ameera sebelum kemudian berlalu meninggalkan meja makan.
Belum waktunya untuk bercanda, Ameera yang sejak beberapa hari ini kacau seakan gila rasanya. Dia berlalu pergi dan memilih taman belakang sebagai tempat menenangkan diri. Setelah Cakra datang, semua orang yang berusaha menghiburnya seakan percuma dan tidak berhasil membuat Ameera tertawa, apalagi saat hatinya sedang sekacau ini.
"Ehm, papa boleh ikut duduk?"
Baru saja hendak menangis, suara lembut papanya terdengar menelisik indra pendengaran Ameera. Dia tersenyum, menyambut baik kehadiran sang papa yang sejak dahulu sangat mengutamakan dirinya.
"Boleh, Papa sudah makannya? Nanti dimarahin mama loh." Dia masih mampu tertawa pelan demi meyakinkan jika dia baik-baik saja, tanpa Cakra terutama.
Tanpa menjawab, Papa Mikhail kini duduk di dekat Ameera dengan tatapan seriusnya, berbeda jauh dari yang Ameera saksikan beberapa saat lalu. Belum apa-apa, hati Ameera sudah berdegub tak karu-karuan, dia mendadak takut jika sebentar lagi yang dia dapati adalah kemarahan sang papa.
"Beberapa hari terakhir, Papa tidak lihat Cakra ... Ricko bilang juga begitu, kenapa? Apa kalian ada masalah?" Papa Mikhail bertanya seraya menatap lekat manik indah putrinya, seakan menelisik kebohongan di sana.
Tidak Ameera duga jika papanya akan bertanya sedalam itu, bahkan sengaja mengulik informasi dari Ricko. "Tidak ada, Pa ... Cakra sedang sibuk saja," jawab Ameera begitu hati-hati, bukan maunya, tapi dia terpaksa berbohong kali ini.
"Oh iya? Apa sesibuk itu sampai tidak pernah menemuimu?
Pertanyaan sulit, Ameera mengerjap pelan dan tengah menimbang hendak menjawab bagaimana. Salah-salah bisa mendatangkan malapetaka, terlebih lagi hubungan antara dirinya dan Cakra agak tidak logis diterima akal seperti kata Ricko.
"Sangat sibuk, mungkin."
Papa Mikhail hanya mengangguk pelan, sebuah respon yang cukup mengejutkan dan membuat Ameera mengerjap pelan, tiada disangka papanya tidak menjelma bak hantu mati penasaran kali ini. Entah karena tidak peduli, atau pertanyaan itu hanya basa-basi hingga dia tidak bertanya lagi.
Namun, beberapa detik kemudian Ameera mulai mengerti jika tujuan sang papa menyusulnya bukan hanya untuk sekadar bertanya, melainkan meminta Cakra untuk datang dan jelas Ameera semakin bingung setelahnya.
"Bu-buat apa, Pa?" Ameera telah menyimpan banyak rahasia, jelas saja dia takut kenapa Papa Mikhail meminta Cakra datang tiba-tiba.
"Papa ingin bicara, empat mata dan ini penting."
Bukannya senang, Ameera justru takut karena mulai berpikir jika sang papa akan membicarakan hal serius. Bukan tanpa alasan, yang Ameera pikirkan adalah kemungkinan buruknya. Terlebih lagi, hubungan antara dirinya dan Cakra diawasi begitu ketat oleh Irzan, termasuk bayarannya. Andai Papa Mikhail mengetahui hal itu, besar kemungkinan Cakra akan kena getahnya.
Hendak bagaimana Ameera sekarang? Belajar dari pengalaman, papanya kerap tak main-main dalam memberi pelajaran. Seketika Ameera takut jika nanti Cakra diminta ganti rugi atau semacamnya, atau yang lebih mengerikan, dipukuli dan dikubur hidup-hidup.
"Meera! Dengar papa, Nak?"
"I-iya, Pa, besok Meera kabarin ...."
"Kenapa besok? Detik ini kalau bisa, biar malam ini dia bisa mempersiapkan diri menghadapi papa," tegas Papa Mikhail semakin membuat Ameera panas dingin.
Jika Ameera lihat, wajah papanya sudah seserius itu dan memperlihatkan jika di dalam dirinya terdapat percikan amarah. Berhari-hari dia dibuat kacau dalam kesendirian, kali ini Ameera benar-benar dicekam ketakutan.
Hati Ameera masih sama seperti kemarin, walau kontrak itu sudah berakhir tetap saja melindungi Cakra seakan menjadi kewajibannya. "Pa, papa mau bicara apa sama Cakra? Nanti Meera yang sampaikan saja giman_"
"Kalau begitu kamu sudah siap menikah dengan Kama dalam waktu dekat, Ameera?"
"What? Ka-kama?" Lidah Ameera bahkan bergetar, dia yang sejak tadi dibuat bertanya-tanya mendadak kesal begitu mendengar pertanyaan papanya.
Belum tuntas pembicaraan mereka, Papa Mikhail hendak berlalu dan membuat Ameera seketika merentangkan tangan demi menghalau langkah sang papa. "Papa tunggu!! Kita belum selesai bicara."
"Pilihanmu hanya dua, Cakra atau Kama ... pikirkan baik-baik, jangan terlalu lama nanti semakin tua," ucap sang papa enteng sekali, seakan tanpa dosa menyebut kata tua untuk Ameera.
"Tapi, Pa? Papa?!!" Setelah sebelumnya Ameera bisa mengghalau langkah sang papa, kali ini tidak lagi.
Dia berusaha mengejar, tapi langkahnya kalah cepat hingga Ameera hanya bisa menghela napas panjang begitu pintu kamar papanya ditutup dengan rapat.
"Terima saja, Ra, papa tahu apa yang terbaik untukmu."
"Tapi kenapa pakai acara tiba-tiba? Kenapa juga harus Kama?"
"Iya sih, kenapa harus Kama? Kan kasihan Kama, padahal dia bisa dapat wanita yang lebih baik, lebih muda dan juga leb_"
"Kakak belum pernah masuk peti mati?"
.
.
- To Be Continued -