Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I Found You
---- Author's POV ----
Saras mengambil penerbangan di hari itu juga untuk kembali ke ibukota. Di sepanjang perjalanan, ia tidak bisa berhenti menitihkan air mata. Wajahnya dan hidungnya memerah, saat ini ia terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan uang satu koper.
Dari sekian banyak kemungkinan di mana Sanu berada, hal yang paling tidak ia inginkan untuk menjadi nyata adalah rumah sakit. Akan lebih baik jika Sanu ketahuan pergi berlibur dengan perempuan-perempuan cantik, atau tertangkap menghabiskan waktunya di bar dengan gadis-gadis sosialita daripada Saras harus melihat suaminya itu menghabiskan waktu selama hampir satu bulan di rumah sakit.
Saras tidak berhenti membayangkan hal-hal buruk. Ia terus mengandaikan kondisi Sanu saat ini. Ia benar-benar tidak tahan. Rasanya ia ingin mendorong pesawat itu agar melaju lebih kencang. Jika ada kendaraan lain yang bisa mengantarkan dirinya ke tempat Sanu berada dengan lebih cepat, Saras jelas akan menaikinya meski harus menggadaikan seluruh tabungannya.
Setelah tiga jam lebih perjalanan, Saras akhirnya tiba di rumah sakit itu. Saras berdiri di depan lobby seraya meremas jemari tangannya. Ia menggigit ibu jarinya dengan gelisah. Ia sekarang sudah sangat dekat dengan Sanu. Beberapa langkah lagi dan ia akan bertemu lagi dengan suaminya itu.
Namin, rasa takut tiba-tiba menghampiri Saras. Ia takut mengetahui kondisi Sanu. Ia takut kondisi Sanu terlalu parah sehingga akan kembali menghancurkan hatinya.
Selama sepuluh menit, Saras berdiri di sana dengan gelisah. Beberapa petugas sempat menanyainya, tetapi Saras mengatakan bahwa ia sedang menjenguk seseorang.
Setelah meyakinkan diri berkali-kali, Saras akhirnya melangkah ke ruangan yang sudah disebutkan suster beberapa waktu yang lalu. Ia berjalan dengan langkah ragu. Jantungnya berdebar kencang membayangkan ia akhirnya akan segera melihat wajah suaminya setelah hampir satu bulan tak bertemu.
Saras berdiri di ambang pintu seraya menarik napas panjang. Ia mendorong pintu kamar VVIP itu dengan ragu dan mendapati Sanu sedang terduduk bersandar dengan seorang perempuan cantik tengah menyuapinya makan.
Menyadari ada seseorang yang masuk, Sanu dan wanita itu sontak melihat ke arah pintu. Betapa terkejutnya Sanu melihat Saras berdiri di sana dengan berlinang air mata.
Tanpa sadar, sebulir air mata juga lolos dari pelupuk Sanu. Ia tersenyum tipis saat Saras berjalan ke arahnya dengan ekspresi menangisnya yang lucu. Dengan air mata berlinang, Saras menjulurkan kedua tangannya ke arah Sanu. Sanu nyaris tertawa melihat ekspresi istrinya dan turut menjulurkan tangan untuk merengkuh tubuh ramping Saras di pelukannya.
"Maafkan aku...." Saras membenamkan kepalanya di lekukan leher Sanu. Ia mendekap tubuh lemah suaminya itu dengan erat hingga nyaris membuat Sanu berjingkat.
Sanu meringis, ia terkejut melihat sikap Saras yang seperti ini. Ini kali pertama ia merasa disayangi dan dipedulikan oleh istrinya itu. Sanu membalas pelukan Saras seraya membelai rambut Saras. Ia menghirup wangi tubuh istrinya itu dengan senyum terkembang, rasa-rasanya ia hampir gila karena merindukan Saras, "Kamu tidak perlu meminta maaf."
Saras semakin terisak mendengar ucapan Sanu. Bagaimana mungkin ia selama ini begitu buta dan tidak bisa melihat betapa tulus dan baiknya hati suaminya ini? Bagaimana bisa selama ini ia bisa begitu jahat pada orang yang begitu peduli padanya? Saras melingkarkan tangannya di leher Sanu, mengusap belakang kepala suaminya yang ternyata terlilit oleh perban yang melingkar.
"Ehem."
Saras terperanjat saat mendengar suara seorang wanita yang berdehem tepat di sebelah telinganya. Ia melepaskan pelukannya dari Sanu, membuat laki-laki itu nampak memberengut sedih karena belum puas melepas rindu pada istrinya.
Saras menatap perempuan yang duduk di sebelah ranjang Sanu itu. Siapa pula orang ini? batinnya.
Saras memandangi wajah wanita itu dan melihat semangkuk bubur di tangannya. Ia lantas kembali melihat wajah wanita itu yang entah kenapa terasa sangat familiar.
"Umm, permisi? Siapa anda? Kenapa anda menyuapi suami orang lain?" Saras berujar ketus.
Mendengar Sanu tertawa membuat Saras memberengut dan menatap tajam ke arahnya, membuat Sanu buru-buru mengatupkan mulutnya dengan rapat.
"Oh, dan anda siapa ya? Tiba-tiba masuk kemari dan memeluk pacar saya?" ujar wanita itu seraya menaikkan sebelah alisnya.
Saras merasa tertohok, kedua matanya membelalak. Ia nyaris menjulurkan tangannya untuk menjambak rambut wanita itu saat Sanu menahan tangan Saras dengan lembut sembari mengulas senyum manis, "Dia hanya bercanda. Ini kakak aku, Sania. Kalian belum pernah bertemu kan?"
Saras kembali membelalak untuk kesekian kalinya. Sanu punya seorang kakak perempuan? Sejak kapan? Ini benar-benar pertama kalinya ia mengetahui bahwa Sanu memiliki seorang kakak. Bahkan di majalah bisnis maupun informasi lainnya, tak ada yang menyebutkan bahwa Sandika Adyatama memiliki dua anak. Ya.. Walaupun informasi soal keluarga mereka memang sangat amat private dan jarang terendus media, tetapi hal itu benar-benar mengejutkan Saras.
"Benarkah?" Saras menatap Sanu dengan wajah bingung.
Sanu mengangguk seraya mengulas senyum, tangannya terjulur untuk membelai pipi Saras, "Coba kamu lihat wajahnya sekali lagi, dia sangat mirip dengan ayahku."
Saras beralih menatap Sania yang nampak menahan tawa.
Sial, memang benar dia mirip si Sandika brengsek itu. Pantas wajahnya familiar.
"Perkenalkan, aku Sania. Kukira Sanu sudah menceritakan padamu bahwa dia memiliki kakak. Parah kamu, dek!" Sania menepuk lengan Sanu, membuat laki-laki itu tertawa sekali lagi.
Sania menatap Saras lamat-lamat. Sungguh cantik sekali istri adiknya itu. Rambutnya hitam panjangnya terlihat sangat lembut dan terawat. Bibirnya tipis dan mata cokelatnya sangatlah indah. Mata yang akan membentuk bulan sabit saat ia tersenyum. Tubuhnya ramping, dadanya berisi dan kulitnya sangat putih. Gerak-geriknya sangat anggun, setiap orang yang melihatnya akan langsung terpesona, tak terkecuali Sania sendiri.
Tidak heran Sanu terus membicarakan istrinya selama beberapa hari ini. Sanu tidak berhenti membanggakan Saras di hadapan Sania. Membanggakan betapa cantik dan baiknya Saras, betapa berani dan anggunnya dia, serta betapa baik dan beruntungnya Sanu bisa memilikinya. Sania tersenyum melihat interaksi Sanu dan Saras. Gadis itu nampak memeriksa perban Sanu dan bertanya dengan nada khawatir, sementara Sanu tak berhenti menyunggingkan senyum, matanya tak pernah luput dari Saras.
Ini kali pertama bagi Sania melihat adiknya seperti itu. Sanu terlihat bahagia memiliki Saras. Ia seperti bisa melihat bagaimana Sanu menemukan warna dan motivasi hidupnya. Ia yang selama ini selalu terlihat sayu, murung, dan pendiam, kini nampak 180 derajat berbeda. Wajahnya cerah dan terlihat bahagia.
Sania nyaris menitihkan air mata saat ia berkata, "Kalian bisa bicara dulu berdua. Aku akan keluar sebentar," ujar Sania yang ingin memberikan waktu bagi Sanu dan Saras untuk menyelesaikan reuni kecil mereka tanpa perlu terganggu oleh kehadirannya.
Saras tersenyum ke arah Sania sebelum wanita itu menghilang dari balik pintu, "Terima kasih Kak."
Sanu menatap Saras sekali lagi. Rasanya, ia tidak akan pernah bisa berhenti memandangi Saras. Setiap hari selama tiga bulan pernikahan mereka, Sanu selalu bangun dua jam lebih cepat agar ia bisa memandangi Saras selama dua jam. Ia akan memandangi Saras dalam diam, memandangi wajah itu dalam tidurnya dan meraup sebanyak mungkin ingatan dan gerak-geriknya. Sanu melakukan itu karena ia tahu, bahwa selain dua jam itu, ia takkan pernah bisa memandangi Saras lagi sepanjang hari. Ia merasa setiap tatapannya ke arah Saras akan membuat gadis itu nampak tidak nyaman.
Oleh karena itu, Sanu selalu berusaha sebisa mungkin untuk tidak berinteraksi secara langsung dengan Saras. Dengan begitu, istrinya itu bisa menonton televisi dengannya setiap hari tanpa merasa terganggu. Saras bisa dengan santai beraktivitas di sekitarnya tanpa menyadari keberadaannya. Dan kini, melihat Saras di depannya setelah tiga Minggu lebih tidak melihatnya adalah hal yang sangat membahagiakan bagi Sanu.
"Apa yang terjadi kepada kamu? Apa yang aku lewatkan selama ini?" Saras memandang Sanu, membelai wajah suaminya itu dengan lembut. Wajah Sanu nampak pucat, bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Tentu saja, ia tidak bercukur selama hampir satu bulan.
Belum sempat Sanu menjawab, seorang dokter muda berpakaian serba putih dengan stetoskop yang terkalung di lehernya nampak memasuki ruangan. Dokter itu terkejut saat melihat Saras di sana. Ia belum pernah melihat gadis itu selama tiga Minggu lebih Sanu dirawat.
"Kita akan melakukan pemeriksaan singkat," dokter itu berkata ramah, menatap ke arah Sanu dan Saras bergantian.
"Baik, silahkan dokter," Sanu berujar lirih. Saras masih menggenggam tangannya saat dokter itu berdiri di sisi lain ranjang Sanu.
"Dan.. Siapakah gadis muda ini?" tanya dokter itu seraya mengeluarkan beberapa peralatan dari dalam sakunya.
"Saya istrinya." ujar Saras dengan santai, membuat dokter itu membelalak kaget.
"O-okai." Dokter itu terdiam sejenak, sebelum mulai memeriksa tekanan darah Sanu dan membuka perbannya.
"Anda yakin tidak ingin keluar terlebih dahulu?" dokter itu berkata sekali lagi sambil menatap Saras, gadis itu rupanya masih sibuk memainkan jemari Sanu.
Saras menggeleng pelan, "Silahkan anda lanjutkan. Saya juga ingin tahu kondisi suami saya, Dokter."
Dokter itu mengangguk singkat kemudian memulai pemeriksaannya. Ia menyadari bahwa Saras nampaknya tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada Sanu. Dengan ragu, masih sambil memeriksa Sanu, dokter itu mulai berkata, "Pada hari dia dilarikan ke sini, bagian belakang kepalanya mengalami cidera yang sangat parah karena seseorang memukulnya dengan sebuah botol kaca. Suamimu mengalami koma selama dua Minggu dan ia baru sadar satu Minggu terakhir. Sebuah keajaiban dia bisa kembali dari koma tanpa ada masalah serius dengan otaknya. Aku khawatir akan ada efek samping jangka panjang di kemudian hari, tapi kita tidak bisa memastikannya saat ini. Kuharap kau bisa menjaganya agar tidak ada benturan keras lagi di kepalanya."
Saras termenung mendengar penjelasan dokter itu. Jangan-jangan saat itu Radit memukuli Dany karena Dany menghantam Sanu dengan botol kaca itu? Perkataan Radit malam itu masih terngiang-ngiang di benak Saras. Jika memang benar itulah yang terjadi, ia benar-benar bodoh dan jahat karena meninggalkan Sanu dan pergi bersama Dany malam itu.
Saras menatap Sanu dengan mata berkaca-kaca, suaminya itu tidak marah sama sekali. Tidak ada ucapan kasar, tidak ada kemarahan. Hanya ada tatapan lembut dan kasih sayang di matanya.