Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2
Di lapangan sekolah, bayangan Nizam dan Azzam tampak berkejaran, tubuh mereka bergerak lincah dalam kompetisi kecil yang sudah menjadi rutinitas. Kedua saudara kembar ini selalu berlomba, meski di balik persaingan itu, ikatan persaudaraan mereka sangat kuat. Keringat bercucuran di dahi mereka, napas mereka berat, tetapi senyum tak pernah lepas dari wajah mereka saat menantang satu sama lain.
"Kau pasti akan kalah kali ini, Zam," kata Nizam dengan suara menggoda, rambutnya yang basah oleh keringat ia sapu ke belakang.
Azzam hanya terkekeh pelan sambil menepuk bahu Nizam. "Mimpi terus, Nim. Aku selalu menang dalam hal ini."
Sementara itu, Nafisah, kakak perempuan mereka, melangkah melewati lapangan menuju kantin. Langkahnya tenang, tatapannya tajam, mencerminkan kepercayaan diri yang membuat banyak orang segan. Di kelas, dia dikenal karena kecerdasannya. Tapi yang membuatnya menonjol adalah kepekaannya terhadap isu-isu di luar yang jarang diperhatikan orang.
Di kantin, Nizam dan Azzam masih bercanda, membicarakan pertandingan basket minggu depan. Tangan mereka bergerak cepat meraih burger, sesekali saling dorong sambil tertawa.
"Kali ini aku yang jadi kapten," Nizam menyeringai, mengangkat alisnya pada Azzam.
"Ah, mimpi saja," Azzam balas sambil menelan makanannya.
Nafisah datang dan duduk di sebelah mereka, wajahnya serius. "Kalian nggak ngerasa ada yang aneh belakangan ini?" tanyanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Nizam mengangkat bahu, sambil tetap fokus pada makanannya. "Kak, kamu terlalu banyak mikir. Ini cuma rutinitas sekolah. Biasa saja."
Azzam ikut tertawa kecil, "Iya, Kak. Kau baca terlalu banyak artikel konspirasi lagi?"
Nafisah menggelengkan kepala, wajahnya tetap serius. "Bukan cuma soal itu. Di beberapa negara, ada wabah misterius yang muncul tiba-tiba. Dan anehnya, media di sini nggak banyak ngomong soal itu. Aku rasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan."
Nizam akhirnya meletakkan sendoknya, menatap Nafisah, "Kak, kamu benar-benar serius soal ini?"
"Aku serius," Nafisah mengangguk, matanya menatap tajam. "Apa kalian nggak merasa ada yang berbeda? Listrik mati di beberapa tempat tanpa sebab. Jalanan lebih sepi. Sesuatu memang terasa aneh."
Azzam yang biasanya pendiam, akhirnya menimpali dengan wajah yang agak tegang. "Ibu juga bilang hal yang sama. Beberapa rumah di sekitar kita listriknya mati tiba-tiba. Ini bukan kebetulan."
Mereka saling berpandangan sejenak, seolah semua tawa dan candaan hilang begitu saja. Ada perasaan gelisah yang tiba-tiba merambat di antara mereka.
Malam tiba dengan sunyi yang aneh. Biasanya, suara kendaraan dan hiruk pikuk kota Jakarta tak pernah berhenti, tapi malam ini, Nafisah merasa seolah-olah kota itu meredup. Nafisah duduk di depan laptopnya, menelusuri berita-berita yang membuatnya semakin curiga. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, membuka laporan-laporan tentang ledakan misterius di kota sebelah.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Nafisah dalam hati. Artikel yang baru saja dibacanya tiba-tiba hilang dari internet. Nafisah mengerutkan kening, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.
"Ditarik? Kenapa secepat itu?" gumamnya, rasa waswas mulai menjalari pikirannya. Nafisah menyandarkan punggungnya di kursi, menggigit bibir bawahnya sambil merenung.
Dia beranjak keluar dari kamarnya untuk memberi tahu saudara-saudaranya. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian. Namun saat sampai di ruang tamu, Nafisah melihat sesuatu yang membuat darahnya berdesir.
Jalanan di luar rumah tampak lebih gelap dari biasanya. Nafisah berjalan mendekati jendela, menatap ke luar. Tidak ada suara kendaraan, bahkan tidak ada hembusan angin. Semuanya hening. "Tidak biasanya sesepi ini," pikirnya, alisnya berkerut. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdebar lebih kencang. Nafisah merasakan bulu kuduknya berdiri, ada sesuatu yang tidak beres.
Sementara itu, di kamarnya, Nizam yang sedang berbaring di tempat tidur, merasakan hal serupa. Dia melihat ke luar jendela dari balik tirai, dan berkata pada dirinya sendiri, "Kenapa semuanya terasa begitu... kosong?" Wajahnya tampak bingung, alisnya bertaut, namun ia tidak bisa mengabaikan perasaan gelisah yang semakin kuat.
Azzam, yang tengah menonton TV, juga mulai merasa aneh. Dia mengerutkan dahi ketika lampu di ruang tamu berkedip beberapa kali. "Ada apa ini?" pikirnya.
Malam yang biasanya hanya rutinitas biasa berubah menjadi sesuatu yang penuh ketidakpastian. Nafisah termenung di depan jendela, pandangannya menembus kegelapan.
“Ini baru permulaan,” bisiknya pada dirinya sendiri, penuh dengan firasat buruk.
****
Malam itu, angin malam yang dingin berhembus pelan di sepanjang jalan kota yang biasanya ramai. Lampu-lampu jalan yang suram memberikan kilauan redup, mempertegas keheningan yang tidak biasa. Biasanya, pusat kota penuh dengan keramaian, suara kendaraan berlalu lalang, dan tawa orang-orang yang berseliweran. Namun malam ini berbeda. Terasa ada sesuatu yang tidak beres, seolah kota itu perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.
Queensha berjalan di depan dengan langkah cepat dan percaya diri, jaket denim birunya melambai terkena hembusan angin. Di belakangnya, Seno, dengan kaos oblong dan topi terbalik, masih mencoba mencairkan suasana. Sementara Masagena, yang selalu terlihat lebih pendiam, melangkah pelan di belakang mereka, matanya tajam mengamati setiap sudut jalan yang mereka lewati. Ada sesuatu yang tidak bisa dia abaikan, sesuatu yang tidak sesuai.
“Kalian sadar nggak sih? Kok sepi banget ya malam ini?” Masagena akhirnya angkat suara, nadanya datar namun sarat dengan ketidaknyamanan. Dia berhenti sejenak, memperhatikan sekeliling.
Queensha menoleh dengan cemberut. "Mungkin cuma kebetulan. Lagi pula, siapa juga yang mau jalan-jalan malam-malam begini, kan?" Dia tertawa kecil, berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang mulai merayap di dalam dirinya. Namun, gerak tangannya yang mulai gelisah tidak luput dari pandangan Seno.
Seno tertawa, seperti biasa. “Atau mungkin mereka takut ketemu kita? Hantu-hantu jalanan!” candanya, mencoba menghidupkan suasana. Tapi, tidak seperti biasanya, tawa yang keluar darinya terasa hambar, seperti dia memaksakan diri untuk bersikap ceria. Dia menggaruk kepala, meski tidak gatal, tanda bahwa dia juga merasa canggung dengan situasi ini.
Masagena mengerutkan dahi, "Kalian nggak merasa aneh? Toko-toko tutup lebih awal, dan... ada bau itu." Ia mengendus udara dengan cermat, keningnya berkerut dalam. "Kalian nggak cium sesuatu?"
Queensha berhenti mendadak, mengerutkan hidung. "Bau busuk...?" gumamnya, menengadah sedikit, mencoba mengenali aroma tak sedap yang tiba-tiba terasa di udara. “Ini... bukan cuma bau got, kan?”
“Zombie kali, baru bangun dari kubur!” Seno tertawa lagi, kali ini lebih pelan. Tapi matanya, biasanya cerah dan bersinar, kini menampakkan kecemasan samar. Ia juga mencium bau aneh itu. "Nggak, ini bukan zombie. Tapi apa ya?" pikir Seno dalam hati.
Mereka terus melangkah, tapi suasana semakin tegang. Di kejauhan, sebuah toko yang biasanya buka 24 jam, kini gelap gulita. Jendela-jendela toko ditutup rapat seolah-olah kota sedang menghadapi sesuatu yang besar. Queensha merasa ada yang menekan dadanya semakin kuat, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kekhawatirannya. Matanya memandang jauh ke depan, meskipun pikirannya melayang ke berbagai skenario buruk.
"Eh, kalian denger nggak?" tiba-tiba Masagena menahan napas, mendengar sesuatu yang samar. Ia berhenti, dan dengan cepat, Queensha dan Seno ikut berhenti. Di kejauhan, terdengar suara gemuruh rendah, seperti bumi bergetar. Semakin lama, suara itu semakin jelas, membuat dada mereka berdebar cepat.
“Itu... bukan suara kereta, kan?” Seno berbicara lirih, tidak ada tanda canda di suaranya kali ini. Napasnya memburu, dan ia merapatkan jaketnya lebih erat, meskipun udara tidak begitu dingin.
Queensha mencoba tetap tenang, tapi dia bisa merasakan detak jantungnya memacu dengan cepat. "Apa ini? Kenapa rasanya seperti... kita diawasi?" pikirnya. “Ayo, kita pulang. Cepat.” suaranya terdengar lebih mendesak daripada yang dia maksudkan. Dia melangkah maju dengan tergesa, tetapi matanya terus menoleh ke arah suara gemuruh itu.
Gemuruh semakin keras, semakin mendekat. Masagena, yang paling tenang di antara mereka, merasakan desiran dingin di punggungnya. “Cepat!” serunya, kali ini nadanya penuh ketakutan yang tak biasa.
Tanpa banyak bicara lagi, ketiganya mulai berlari, napas mereka terengah-engah, kaki mereka menghantam aspal jalanan yang dingin dengan kecepatan yang semakin meningkat. Di belakang mereka, suara gemuruh itu terus mengejar, menggema di udara malam yang kosong.
Seno, yang biasanya paling ceria, kini pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Ini nggak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya. Queensha di depannya terus mempercepat langkah, tubuhnya menegang, "Aku harus bawa mereka keluar dari sini. Harus." pikirnya, napasnya memburu.
Masagena, di belakang mereka, tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang. Matanya membesar, mulutnya terbuka, "Tunggu! Itu... apa?" suaranya tercekat, wajahnya diliputi kengerian.