Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23: Pengorbanan Emas
Takeru menundukkan kepala saat video permintaan maafnya mengalir di seluruh platform media sosial. Dia dengan jelas menjelaskan bahwa kejadian di masa kecilnya bukanlah representasi dari siapa dirinya yang sekarang. Usia 12 tahun adalah waktu yang penuh dengan ketidaktahuan dan ketidakmatangan. Dia menyesal atas tindakan bodohnya kala itu, tetapi yang lebih penting, dia ingin menekankan bahwa Ruri tidak ada sangkut pautnya dengan hal itu.
"Karyawisata itu wajib bagi semua siswa," ujar Takeru dengan nada tegas namun tenang. "Ruri hanya mengikuti peraturan sekolah, bukan karena dia mengagumi bangsa Jepang atau apapun itu. Ini adalah bagian dari pendidikan. Berikut adalah bukti-bukti yang bisa saya tunjukkan—surat resmi dari sekolah, catatan karyawisata, dan testimoni dari wali kelas kami saat itu."
Di layar, Takeru menampilkan surat-surat dan catatan yang dikumpulkannya sebagai bukti pendukung. Seorang guru yang pernah mengajar mereka juga muncul, memberikan pernyataan bahwa Ruri adalah siswi yang penuh dedikasi dan tidak pernah terlibat dalam hal-hal yang tidak pantas.
Carlos menyaksikan video tersebut dengan mata tajam. Dia bisa merasakan bagaimana atmosfer perlahan mulai berubah. Orang-orang yang sebelumnya terhasut oleh kebencian kini mulai ragu. Namun, dia tahu bahwa kebenaran saja tidak cukup untuk melawan kekuatan gaib yang meracuni pikiran orang-orang. Ada sesuatu yang lebih kuat yang bekerja di balik layar—sesuatu yang harus dia hadapi dengan caranya sendiri.
Carlos berdiri dari kursinya, menatap koin emas di tangannya. Dengan tekad yang bulat, Carlos mulai mengubah koin tersebut menjadi serbuk emas, menghembuskannya ke udara. Serbuk itu, yang mengandung esensi hidupnya, terbang dan meresap ke dalam jaringan internet, menerangi setiap tayangan konferensi pers Takeru.
Dia tahu bahwa aura positif harus diperkuat, bahwa masyarakat harus merasakan empati, simpati, dan keadilan. Ketika aura negatif mencoba menghancurkan reputasi Ruri, Carlos bertekad untuk mengubah aliran emosi publik. Setiap butir serbuk emas itu membawa harapan, menyusupi hati orang-orang yang menyaksikan video tersebut, membuat mereka mempertimbangkan kembali pikiran negatif mereka.
Carlos tersenyum tipis saat merasakan energinya tersalurkan dengan sempurna. Takeru mungkin sudah melakukan bagiannya, tetapi dia tahu bahwa yang dia lakukan adalah pendorong utama bagi kebangkitan rasa empati masyarakat. Mereka akan berpihak pada Ruri, dan rumor-rumor jahat itu akan segera hancur dengan sendirinya.
Satu demi satu, partikel asap hitam mulai terkikis, seakan kekuatan gaib yang selama ini meracuni hati dan pikiran masyarakat tidak mampu menahan kekuatan emas yang penuh dengan harapan dan empati. Perlahan tapi pasti, asap itu tersapu, tergantikan oleh sinar keemasan yang menyebar dengan tenang namun pasti.
Di seluruh tempat, layar-layar ponsel dan komputer yang menampilkan konferensi pers Takeru kini diterangi dengan warna emas lembut, memantulkan cahaya dari perjuangan yang baru saja dilakukannya.
Namun, sesaat setelah serbuk emas terakhir tersebar, Carlos merasakan dadanya seperti dihantam palu. Dia terbatuk keras, dan tiba-tiba darah keluar dari mulutnya. Tubuhnya lemas, dan tanpa peringatan, dia jatuh ke lantai. Pandangannya mulai kabur, dan kesadarannya perlahan memudar.
Di luar, ibu-ibu yang sering lewat mendengar suara berdebam keras dari dalam rumah. Dengan perasaan cemas, dia segera mendorong pintu yang sedikit terbuka dan masuk. Dia terkejut melihat Carlos tergeletak di lantai, tubuhnya tak berdaya.
"Carlos! Kamu kenapa?" teriak si ibu, suaranya panik. Dia segera membungkuk, mencoba membangunkan Carlos. Setelah beberapa saat, Carlos akhirnya membuka matanya, meski hanya setengah sadar.
"Bu... maaf... aku sedikit... lelah," katanya dengan suara serak, mencoba tersenyum meskipun rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya.
Si ibu dengan cepat membantu Carlos berdiri dan membawanya ke tempat tidur. Dia duduk di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kamu butuh istirahat, Carlos. Kamu tidak bisa terus begini," katanya lembut, menepuk-nepuk lengan Carlos.
Carlos hanya tersenyum lemah, namun dalam hatinya, dia merasa beban berat mulai terangkat. Meskipun tubuhnya hancur perlahan, dia merasa lega karena telah berhasil melakukan bagiannya. Tapi ketika dia melihat ke dadanya, dia tahu bahwa waktunya semakin menipis. Hanya satu koin emas yang tersisa—satu-satunya yang bersinar terang. Koin lain yang tadinya sudah retak kini hancur sepenuhnya, meninggalkan jejak kosong di dalam dirinya.
"Mungkin... ini pengorbananku yang terakhir," gumam Carlos pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Meski demikian, dia merasa damai. Apa yang telah dia lakukan untuk Ruri, untuk keadilan, sudah cukup baginya.
Si ibu menatapnya dengan penuh simpati, tidak sepenuhnya memahami apa yang telah terjadi, tetapi merasa bahwa Carlos sedang melalui sesuatu yang sangat berat.
"Tenang saja, Nak. Segala sesuatu yang baik pasti akan dibalas dengan kebaikan juga," kata si ibu dengan lembut, meyakinkan Carlos untuk beristirahat.
Carlos menutup matanya perlahan, membiarkan tubuhnya beristirahat. Meski koin emas terakhir masih bersinar terang, dia tahu bahwa pertarungannya belum selesai. Namun, untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati kedamaian sejenak, mengetahui bahwa Ruri akan baik-baik saja.
___
Sementara Ruri fokus pada kompetisi tanpa menyadari gejolak di luar, perlahan dukungan untuknya mulai kembali mengalir. Aura positif yang ditaburkan Carlos berhasil menyentuh hati masyarakat, dan komentar-komentar positif di media sosial pun bermunculan.
@CintaIndonesia22: "Ruri cuma siswa biasa yang ikut karyawisata. Jangan dibawa ke hal yang ga masuk akal, pliss! Stop nyebarin kebencian. Fokus ke kompetisi aja, Ruri bisa menang!"
@BangJagoPedia: "Kalo lihat bukti dari Takeru, semua jelas kok. Ga ada hubungannya sama negara-negara gitu. Semangat terus, Ruri!"
@HatiBersih: "Udah-udah, guys! Kita semua punya masa lalu waktu kecil. Yang penting sekarang Ruri tetap jadi pribadi yang baik. Dukung dong!"
@EmakZamanNow: "Ruri anak baik. Ga mungkin lah dia terlibat sama rumor-rumor ga jelas itu. Fokus ke prestasi dan masa depan, sayang!"
@SatriaNusantara: "Ini semua cuma hoax buat ngejatuhin Ruri. Habis lihat klarifikasi dari Takeru, makin jelas kalau ini cuma kesalahpahaman. #DukungRuri"
@CintaDamai: "Yang suka nyebar fitnah tentang Ruri, tolong lihat bukti-buktinya dulu. Jangan langsung nge-judge orang tanpa tahu kebenarannya. Semangat terus, Ruri!"
@BungaAnggrek13: "Setelah nonton klarifikasi, saya yakin Ruri nggak salah. Dia cuma korban rumor ga bener. Yuk, dukung Ruri sampai juara!"
@FanbaseRuriOfficial: "Klarifikasi udah jelas banget! Semangat, Ruri! Kami semua ada di belakangmu! #RuriJuara #StopHoax"
@RakyatMerdeka: "Bukti yang disajikan udah sangat lengkap. Ayo, teman-teman, kita dukung Ruri! Jangan biarkan hoax menghancurkan karier orang baik."
@MamaSayang: "Kasihan Ruri, anak muda yang berprestasi malah difitnah. Semua orang pasti pernah salah waktu kecil. Ayo kita move on dan dukung dia!"
@KebenaranTegak: "Ini beneran buka mata sih. Jelas banget kalau Ruri nggak terlibat apa-apa. Dukungan buat Ruri makin kenceng nih. Lanjutkan, Ruri!"
Komentar-komentar ini menciptakan arus empati yang mengalir deras, mengalihkan opini publik ke arah yang lebih positif.
Putaran ketiga kompetisi akhirnya berakhir, dan kini tiba waktunya yang paling mendebarkan: pengumuman siapa saja dari 27 peserta yang akan lolos ke babak keempat. Ruri, Ian, dan Akasha berdiri berdampingan di antara peserta lainnya, saling berpegangan tangan dengan erat. Wajah mereka menyiratkan kegugupan yang tak terelakkan. Tak ada yang tahu siapa yang akan terus maju dan siapa yang harus berpisah malam itu.
Di atas panggung, sang presenter dengan setelan jas rapi melangkah ke tengah, membawa suasana yang semakin menegang.
"Selamat malam para peserta, penonton di studio, dan seluruh Indonesia!" ucapnya dengan senyum formal namun terdengar berat. "Setelah tiga babak yang penuh tantangan, kita telah sampai pada momen yang menentukan. Malam ini, 12 dari kalian akan melaju ke babak keempat, sementara yang lainnya harus mengakhiri perjalanan mereka. Namun, apapun hasilnya, kalian semua adalah pemenang yang luar biasa."
Keheningan merajai ruangan. Semua mata tertuju pada sang presenter yang tampak tenang namun penuh wibawa.
"Kita mulai dari peringkat ke-12," katanya dengan suara yang lebih pelan, menambah ketegangan. "Peserta yang berada di posisi ini telah berjuang dengan sangat gigih meskipun menghadapi berbagai tantangan. Dengan segala kemampuannya, ia berhasil bertahan hingga detik terakhir dan memastikan tempatnya di babak berikutnya. Peringkat ke-12 adalah... Akasha!"
Terdengar tepuk tangan riuh dari penonton, disertai sorakan penyemangat. Akasha terperanjat sejenak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Perlahan, senyumnya mengembang, dan ia melangkah maju ke tengah panggung. Sorot lampu terang menyorot wajahnya yang penuh kebahagiaan.
"Terima kasih!" Akasha berbicara penuh emosi. "Aku benar-benar tidak menyangka bisa sampai sejauh ini. Aku ingin berterima kasih kepada semua orang yang telah mendukungku, teman-temanku, keluargaku, dan tentu saja, kalian semua yang percaya pada kemampuanku. Aku berjanji, aku akan memberikan yang terbaik di babak berikutnya. Terima kasih banyak!"
Setelah pidato singkat itu, Akasha kembali ke tempatnya dengan hati berdebar. Namun, suasana tetap dipenuhi ketegangan. Masih ada pengumuman lain yang harus disampaikan.
Sang presenter kembali melanjutkan pengumuman dengan nada yang semakin menegangkan, tatapannya mengarah langsung pada para peserta yang masih berdiri di tempat mereka dengan penuh harap. Suasana hening, hanya napas tertahan yang terdengar dari barisan peserta.
"Selanjutnya, kita akan umumkan peserta yang berada di peringkat keenam," ucap sang presenter, lalu berhenti sejenak, menambah ketegangan di ruangan. "Peserta ini telah berjuang tanpa kenal lelah, menunjukkan ketangguhan fisik dan mental yang luar biasa. Lebih dari itu, keberaniannya untuk berbicara kebenaran, bahkan saat menghadapi kekuatan politik yang berusaha menekan, adalah bukti nyata bahwa dia tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga secara prinsip dan moral. Dia adalah sosok pemuda tangguh sejati."
Ia tersenyum, memberikan jeda yang membuat setiap detik terasa begitu panjang.
"Peserta yang menempati peringkat keenam adalah... Ruri!"
Penonton bersorak riuh, sementara Ruri terdiam sejenak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ruri merasakan degupan jantungnya makin keras. Tangannya lemas, namun senyum mekar di wajahnya. Ia memeluk Akasha dan Ian dengan rasa syukur, lalu melangkah ke depan untuk menerima hasil tersebut.
"Terima kasih," ucap Ruri dengan suara bergetar namun tetap tegas. "Aku tak pernah membayangkan akan sampai sejauh ini. Kompetisi ini bukan hanya tentang siapa yang terkuat, tapi juga tentang siapa yang mampu bertahan dengan ketekunan dan tekad. Aku sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukungku hingga titik ini. Aku akan terus berjuang di babak berikutnya. Terima kasih untuk semuanya!"
Sorakan dari penonton semakin membahana, tetapi suasana tegang masih melingkupi ruangan. Ian, yang masih berdiri di antara peserta yang belum dipanggil namanya, menunggu dengan napas tertahan.
"Waktunya kita menuju puncak pengumuman," kata sang presenter, dengan nada lebih rendah. "Peringkat pertama. Peserta yang menduduki posisi ini tidak pernah gagal menunjukkan performa terbaiknya, dari awal hingga akhir. Pemenang babak ketiga adalah..." Presenter sengaja membuat jeda panjang, membuat jantung setiap peserta berdegup kencang.
Namun, ketika namanya tak juga disebut, Ian mulai menyadari kebenaran yang menyakitkan. Itu bukan dirinya.
Setelah pengumuman selesai dan Ian dinyatakan gugur dari kompetisi, Ruri dan Akasha menghampirinya dengan perasaan campur aduk. Mereka saling berpelukan, menyadari bahwa momen ini adalah akhir dari perjalanan mereka sebagai trio dalam kompetisi. Ian menatap Ruri dan Akasha, senyum lembut tergurat di wajahnya meskipun sorot matanya menunjukkan rasa kecewa yang mendalam.
"Jangan sedih, kalian berdua masih punya jalan panjang di depan," kata Ian sambil menepuk bahu Akasha. "Aku tahu kalian berdua adalah yang terbaik di sini. Dan bahkan kalaupun kita terpisah sekarang, aku akan tetap mendukung kalian dari jauh."
Ian beralih menatap Ruri. "Ruri, kamu selalu punya keberanian yang luar biasa. Ingat, tak peduli seberapa berat tekanan yang kamu hadapi, jangan pernah takut untuk berbicara dan berdiri atas kebenaran. Kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa menantang apapun, bahkan kekuatan besar sekalipun. Teruslah berjuang dengan hati dan prinsipmu, karena itulah yang membuatmu berbeda dari yang lain."
Kemudian, ia menoleh pada Akasha. "Akasha, kamu adalah bukti bahwa ketangguhan bukan cuma soal fisik, tapi juga soal hati. Kamu kuat, dan aku yakin kamu akan terus naik ke puncak. Jangan pernah ragu pada dirimu sendiri."
Dengan napas panjang, Ian tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. "Kalian berdua adalah harapan besar. Buktikan kalau kalian layak berada di sini. Aku percaya kalian akan mencapai hal-hal yang lebih besar daripada yang bisa aku bayangkan."
Ia melangkah mundur, melemparkan pandangan terakhir pada mereka berdua. "Aku akan pergi sekarang, tapi ingat... di setiap langkah kalian, kalian tidak pernah sendiri. Jangan pernah lupakan itu."
Setelah itu, Ian berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan dengan tenang, meninggalkan Ruri dan Akasha yang masih berdiri di tempat mereka, penuh dengan tekad baru untuk melanjutkan perjalanan mereka di kompetisi ini.
Setelah pengumuman selesai dan suasana ruangan mulai tenang, sang presenter mengambil alih mikrofon, siap memberikan kata-kata penutup yang penuh semangat. Ia memandang para peserta yang masih berdiri dengan tegang, kemudian berbicara dengan nada yang lantang dan penuh energi.
“Selamat kepada kalian berdua belas yang masih bertahan hingga saat ini!” katanya dengan senyum lebar. “Kalian sudah menunjukkan apa artinya menjadi seorang pemuda tangguh, baik secara fisik, mental, maupun moral. Tapi ingat, perjuangan ini belum berakhir. Ini baru awal dari tantangan yang sesungguhnya.”
Acara pengumuman hasil kompetisi malam itu akhirnya berakhir. Tapi bagi Ruri, Akasha, dan 10 peserta lainnya yang lolos, perjalanan mereka masih panjang, dan tantangan di babak keempat sudah menanti.
___
Saat Ruri memasuki rumah setelah perjalanan panjang selama tujuh hari tujuh malam, aroma masakan menyambutnya. Di dapur, Carlos sudah menyiapkan hidangan, wajahnya tampak tenang namun menyiratkan kehangatan yang halus, sesuatu yang membuat Ruri merasa nyaman. Senyumnya tipis, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini—seolah ada lapisan perasaan yang ia coba sembunyikan.
“Selamat datang,” sapa Carlos dengan nada datar namun akrab.
Ruri tersenyum kecil, menjawab dengan cara yang biasa, seolah-olah tidak ada yang berubah di antara mereka. “Terima kasih. Masakanmu wangi sekali. Pasti lezat.”
Namun, di balik ketenangannya, Carlos menyembunyikan rasa sakit yang menggerogoti dirinya, sesuatu yang Ruri sama sekali tak sadari. Sambil menyajikan makanan, Carlos tampak berpikir sejenak sebelum membuka percakapan yang lebih serius.
“Jadi... apakah kamu masih sering berhubungan dengan seniormu yang bernama Arham itu?” tanyanya dengan suara rendah, seolah-olah pertanyaan itu hanya sepintas, tapi sorot matanya mencari sesuatu yang lebih dalam.
Ruri berhenti sejenak, melihat Carlos dengan tatapan santai. “Tenang saja. Setelah kamu memperingatkan aku waktu itu, aku sekarang lebih berhati-hati. Bahkan, setelah aku pikir-pikir, memang ada yang ganjil dengannya. Aku setuju denganmu, lebih baik menjauh darinya.”
Carlos menatap Ruri tajam, seolah berusaha membaca lebih jauh dari sekadar kata-katanya. Alih-alih merasa lega, ekspresinya berubah. Matanya sedikit melebar, dan ada gemetar halus di tangannya yang memegang sendok.
“Kenapa... kenapa kamu masih bisa mengingatnya?” gumam Carlos, hampir tidak terdengar, tapi jelas dengan nada panik.
Ruri mengernyit, merasa ada yang aneh dalam sikap Carlos kali ini, tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Carlos buru-buru beralih ke topik lain, menyembunyikan kecemasannya di balik senyum dingin yang khas.