Bercerita tentang seorang anak yang bernama mugi yang terlahir sebagai rakyat jelata dan menjadi seseorang penyihir hebat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muchlis sahaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa arti kehidupan.
Mentari pagi terbit perlahan, seperti embun yang menetes dari kelopak bunga. Cahayanya menyinari puncak gunung, menyapa wajah Keter, Melly, dan Celis yang masih berdiri di sana. Udara dingin menusuk kulit, tetapi Celis tersenyum hangat, matanya berbinar seperti bintang di langit malam.
"Mentari pagi sudah terbit," katanya, suaranya bergema di antara pegunungan yang sunyi. "Bencana bulan merah sudah berakhir. Aku harus pergi, Keter."
Keter mengerutkan kening, sedikit terkejut. "Bagaimana kau tahu tentang bencana bulan merah? Bukankah aku sudah mengubah masa depan?"
Celis terkekeh pelan, suaranya seperti gemerisik daun kering ditiup angin. "Kau pikir apa sulit bagi ku untuk menghindari itu? Tidak sulit bagiku."
Celis berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya ringan seperti daun yang terbawa angin. Melly menatapnya dengan mata terbelalak, takjub. "Kekuatannya begitu besar," gumamnya, "Bahkan aku merasa dia masih menekan kekuatannya, dan sekilas kekuatan sejatinya saja belum dia keluarkan. Sungguh misterius sekali."
Keter kembali ke wujud mugi, tubuhnya lelah setelah pertempuran semalam. Melly menghampiri mugi dan bersandar di pundaknya, senyum lembut menghiasi wajahnya. "Terima kasih, Mugi."
Mugi hanya tersenyum dan tertidur, tubuhnya lelah, tetapi hatinya tenang. Dari kejauhan, Chaerin berjalan mendekat. Dia melihat mugi tertidur dan lega karena adiknya baik-baik saja. "Syukurlah, Mugi," ucapnya, "Kau tidak apa-apa."
Di kediaman Celis, dia mengetuk pintu. "Ibu, aku pulang."
Suara ibu Celis terdengar riang, "Wah, selamat datang, Celis!"
Celis memasuki dapur, melihat ibunya sedang membersihkan rumah. Ibunya berlari menghampirinya dan memeluknya erat. "Celis, kamu baik-baik saja? Ibu mendengar ada penyerangan dari mafia. Ibu sangat takut kamu kenapa-kenapa."
Celis tersenyum polos, "Iya, aku tidak apa-apa, Ibu."
Ibunya tersenyum gembira, "Mau makan apa, Celis?"
Celis berpikir sejenak, "Hah, benar juga ya? Sup saja."
Ibunya terkekeh pelan, "Ibu sudah menduga itu, jadi sudah memasakkan untukmu. Duduklah, Celis."
Ibunya menyiapkan sup untuk Celis dan membawakannya. "Ini, Celis, mau ibu suapkan?"
Celis mengangguk, "Iya, tentu saja, Ibu."
Ibunya menyuapi Celis dengan penuh kasih sayang, senyumnya hangat. "Bagaimana? Enak kan?"
"Iya, ini sungguh enak, Ibu. Seperti biasa, Ibu selalu membuatkan yang terbaik untukku," jawab Celis, senyumnya merekah. Mereka mengobrol bersama, suasana penuh kehangatan. Di dalam hati Celis, sebuah suara berbisik, "Berjuta-juta tahun yang lalu, di kehidupan masa laluku, aku tidak tahu siapa orang tuaku. Ternyata beginilah kasih sayang dari orang tua."
Malam hari tiba, udara dingin menusuk tulang. Salju turun lembut, menyelimuti bumi dengan selimut putih. Celis keluar dari rumah, menatap salju yang turun. Tiba-tiba, ingatan masa lalu menyerbu pikirannya.
Celis terjatuh di tanah, seorang wanita berjalan mendekat. "Kau sudah menghancurkan tatanan dunia ini, Celis," kata wanita itu, suaranya dingin, "Aku akan menghukummu."
Celis terkejut, "Ingatan apa ini? Bagaimana bisa? Aku kehilangan sebagian ingatan saat bereinkarnasi."
Rasa penasaran menggerogoti hatinya. Celis berjalan menuju hutan yang diselimuti salju. Di tengah hutan, sebuah tangga menjulang tinggi, menghubungkan bumi dengan langit. Celis menaiki tangga itu, matanya terbelalak. "Tangga menuju ke mana ini? Lalu energi sihir apa ini? Besar sekali."
Celis terus menaiki tangga, sampai dia melihat sosok berdiri di ujung tangga. Celis tersenyum, sementara sosok wanita itu menatapnya dengan tatapan tajam. Saat Celis semakin dekat, dia berhenti. "Siapa kau? Kenapa energi sihir begitu besar, bahkan memenuhi dunia ini?"
Sosok wanita itu menjawab, "Lin Andaresta, Dewi Penciptaan Lin Andaresta, sosok yang menciptakan dunia ini."
Celis terkejut, "Benarkah?" Ingatan masa lalunya kembali, saat dia dihukum mati oleh sosok wanita ini. Ternyata sosok yang dia hadapi adalah Lin Andaresta di masa lalu. "Ternyata kau yang telah menghukumku di masa lalu. Kenapa kau mengambil ingatan itu?"
Lin Andaresta hanya menatap Celis, tatapannya dingin dan penuh misteri. "Kenapa kau tidak menjawabku, Dewi?" Celis sedikit meninggikan suaranya. "Itu hukumanmu, Celis," jawab Lin Andaresta. "Hukuman? Hukuman seperti apa ini? Jika kau menghukumku karena perbuatan masa laluku, membunuh banyak orang, lalu bagaimana orang-orang yang berbuat keji itu?" Celis bertanya dengan nada sedikit marah.
"Aku menghargai tindakanmu itu, Celis," jawab Lin Andaresta, suaranya lembut, "Karena umat manusia yang aku ciptakan terlalu semena-mena dengan apa yang telah aku berikan kepada mereka. Tetapi Celis, tindakanmu juga salah. Jika kau merasa aku tidak adil, coba lihat dirimu sekarang. Kau sudah memiliki orang tua, kau merasakan kebahagiaan yang berjuta-juta tahun dulu tidak kau dapatkan."
Celis terdiam, kata-kata Lin Andaresta menusuk hatinya. "Celis, mungkin kau menilai aku tidak adil," lanjut Lin Andaresta, "Tapi ini semua aku lakukan agar mereka semua yang merasakan kehidupan ini tahu, di mana letak salah dan di mana letak kebenaran. Rasa sakit yang kau rasakan dahulu telah membuatmu menjadi kuat, tetapi kekuatanmu itu telah membuatmu buta. Maka dari itu aku melakukan ini."
Celis hanya bisa bergumam, "Tapi... itu..." "Apa yang 'tapi', Celis?" Lin Andaresta bertanya, "Sekarang kau sudah mengingatnya kan? Lalu di mana letak ketidakadilan diriku? Tetapi kekuatanmu tidak bisa aku kembalikan, karena jika kau mendapatkan kekuatan penuhmu, kau hanya akan menghancurkan dunia ini."
Secara perlahan, Lin Andaresta menghilang dari hadapan Celis. "Jaga dunia ini, Celis, dengan kekuatan yang kau miliki sekarang."
Celis melihat Lin Andaresta menghilang, sebuah tekad terpancar di matanya. "Jika hanya menjaga dunia ini dari orang-orang yang tidak tahu akan penderitaan seseorang, itu tidaklah sulit bagiku."
Di desa Li-Han Shi, tepat di bagian timur bumi, pada malam itu juga terjadi perang yang besar. Peradaban di sana begitu maju, puluhan pesawat meluncurkan bom yang menghancurkan bangunan. Korban berjatuhan, darah mengalir di jalanan.
Di atas bukit, di bawah bulan yang terang, seorang pria berdiri tegak, memegang pisau panjang dan topeng badut. "Cukup sudah," katanya, suaranya bergema di malam hari, "Karena aku sudah muak dengan ini semua? Kalian pemerintah terlalu semena-mena menggunakan kekuasaannya."
Dia memakai topeng badut itu, matanya menyala dengan amarah. "Dengan ini, semua akan berakhir." Dia melompat dari bukit, menghilang dalam kegelapan malam.