Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Latar Belakang Bianca
Ratu Pulau Es Utara, Salamah mencemaskan kesehatan Bion.
"Bion, engkau terlihat kelelahan. Mungkin karena engkau terlalu berat bekerja. Engkau harus segera beristirahat."
Bion menjawab. "Baiklah ratu aku pamit dulu."
"Bion, belakangan ini putri Sandora selalu membicarakan kamu. Mungkin dia sangat rindu kepadamu. Jika ada waktu senggang, kunjungilah dia."
Bion menunduk. "Baiklah ratu, aku mengerti."
Putri Sandora adalah anak angkat ratu Salamah. Saat itu putri Sandora masih bayi. Putri Sandora adalah anak kandung Hendrik, prajurit kerajaan Pulau Es Utara yang memberontak. Seluruh keluarganya telah tewas di eksekusi kecuali seorang bayi yang kini menjadi anaknya.
Ketika Bion menunduk, liontin yang dipungutnya dari Siti Adawiyah terjatuh. Ratu Salamah melihat liontin yang jatuh itu seperti kalung miliknya yang telah dikalungkan nya pada bayinya yang kini tidak diketahui olehnya keberadaan bayinya itu.
Bion tidak mengetahui bahwa liontin itu milik ratu Salamah, tetapi Bion melihat ratu Salamah terlihat seperti orang yang sedang sakit.
"Ratu, apakah engkau sakit?"
Salamah menjawab. "Aku tidak apa-apa. Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, silahkan pergi dan beristirahatlah."
Bion menjawab. "Baiklah ratu, aku mengerti."
Ketika ratu Salamah telah berada didalam kamarnya, ratu Salamah berfikir bahwa Bion mengetahui kalau anaknya masih hidup.
"Liontin yang dijatuhkan Bion tadi sepertinya aku mengenalnya. Apakah liontin itu adalah liontin milikku yang telah aku kalungkan ke bayiku yang telah hilang itu? Apakah bayiku masih hidup? Apakah Bion telah merahasiakan sesuatu terhadapku?"
Siti Adawiyah masih sibuk di kamarnya sedang berusaha membuat tiruan liontin yang diminta oleh Asrul. Sepanjang waktu Siti Adawiyah berfikir bahwa mengapa semua orang di negeri akhirat menuduh Asrul telah bersalah.
"Mengapa semua orang berfikir bahwa apa yang telah Panglima katakan di persidangan adalah kebohongan? Apakah ada sesuatu yang telah disembunyikan oleh Panglima? Ah.. Sudahlah. Tidak ada gunanya terlalu memikirkannya."
Sementara Asrul selalu terbayang kejadian saat dia membunuh seluruh prajuritnya.
Malam itu, Khalifah Taimiyah sedang berdiskusi dengan penasehat kerajaan mengenai jawaban yang Asrul berikan di ruang sidang. Semua kesalahan tertuju padanya.
Penasehat kerajaan melihat Khalifah Taimiyah begitu gelisah.
"Khalifah, kelihatannya Khalifah masih memikirkan Panglima Jenderal Asrul."
Khalifah Taimiyah menjawab. "Saya melihat Asrul tumbuh dewasa. Saya sangat mengenali kepribadiannya.
"Khalifah Taimiyah, Belakangan ini terjadi kejadian yang besar secara beruntun. Setelah kemunculan siluman burung kendaraan raja Iblis, Panglima Jenderal Asrul tiba-tiba kembali dari tidur panjangnya. Apakah semua itu adalah kebetulan?"
Khalifah Taimiyah mengelus dagunya.
"Asrul telah merahasiakan kejadian sebenarnya. Saya percaya kepadanya bahwa tindakannya itu untuk melindungi sesuatu."
"Khalifah sungguh sangat mempercayainya." Penasehat kerajaan menghela nafasnya.
Khalifah Taimiyah menjawab. "Saya bisa melihat isi hati seseorang. Disaat semua orang mendesak untuk mengangkat seorang Panglima diantara sekian banyak Jenderal, saya sangat yakin bahwa Asrul adalah orang yang paling cocok untuk memangku jabatan itu."
"Di persidangan, kesalahan tertuju pada Panglima Jenderal Asrul. Apakah Khalifah tidak melakukan penyelidikan terlebih dahulu?"
"Memang di persidangan, tindakan Asrul ini memojokkan dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa membelanya jika dia terlibat dengan suku Iblis. Jika memang keputusannya untuk tidak mengatakan sebenarnya, terpaksa dia harus menjalani proses hukum."
"Sebenarnya ada yang lebih aku khawatirkan daripada itu. Lihatlah laporan dari penjaga jurang neraka." Khalifah Taimiyah menyerahkan sebuah dokumen kepada penasehat kerajaan.
"Aura Iblis di jurang neraka semakin besar?" Penasehat kerajaan kaget setelah melihat laporan pada dokumen yang dibacanya.
"Segel Iblis telah terbuka. Siluman burung juga sudah terlepas. Saat bersamaan, Asrul juga terbangun dari tidur panjangnya. Sepertinya ini bukan sebuah kebetulan. Selama puluhan tahun segel Iblis tidak terbuka. Dimasa itu dunia terasa tenteram tanpa gangguan pengaruh Iblis. Selama ribuan tahun sebelum penguncian segel Iblis, negeri akhirat dan suku Iblis terus berperang. Aku bisa mengabaikan permasalahan yang terjadi pada peperangan di jurang neraka. Tapi aku tidak bisa membiarkan suku Iblis kembali merajalela." Khalifah Taimiyah menyimpulkan.
"Lantas apa yang akan Khalifah lakukan?" Penasehat kerajaan terlihat khawatir.
"Aku akan menyelidiki hubungan terbangunnya Asrul dengan terlepasnya segel Iblis. Semua makhluk yang ada hubungannya dengan kebangkitan raja Iblis, harus musnah. Tidak akan aku biarkan kekuatan Iblis merajalela di dunia." Khalifah Taimiyah menambahkan.
Di pekarangan depan kamar Siti Adawiyah, Siti Adawiyah masih sibuk membuat tiruan liontin. Bianca yang kebetulan melintas disana, menegur Siti Adawiyah.
"Jelek sekali engkau membuat kalung."
Siti Adawiyah menjawab. "Apakah engkau bisa membuatnya?"
"Tentu saja. Aku sudah terbiasa membuat kalung seperti itu." Bianca menjawab tanpa niat untuk menyombongkan diri.
"Kalau begitu, tolong ajarin aku membuatnya." Siti Adawiyah memohon kepada Bianca.
"Ini harus dililit begini. Lalu yang satu ini dihubungkan dengan yang ini..." Bianca dengan cermat mengajari Siti Adawiyah membuat kalung.
"Engkau sangat terampil membuat kalung. Apa pekerjaan kamu sebelumnya? Apakah engkau makhluk abadi atau manusia dunia?" Siti Adawiyah penasaran.
Bianca menceritakan latar belakangnya. "Aku berasal dari negeri manusia. Aku tinggal di istana kerajaan yang ada di dunia. Aku adalah makhluk fana, aku yang berusaha sendiri untuk pergi ke negeri akhirat."
Siti Adawiyah terus menyimak cerita Bianca dengan serius. "Kamu tinggal di istana kerajaan? Apakah engkau seorang putri? Apakah disana kehidupanmu bahagia?"
Bianca menggelengkan kepalanya. "Aku bukan seorang putri. Aku lahir dari seorang selir raja yang berselingkuh dengan seorang prajurit. Permaisuri memaafkan ku dan membiarkan aku tinggal di istana."
Siti Adawiyah mempertanyakan kedatangannya di negeri akhirat. "Kehidupan di istana sangat nyaman. Kenapa engkau malah memilih untuk tinggal di negeri akhirat?"
"Apanya yang nyaman? Setiap hari aku harus mendengarkan permasalahan orang lain. Aku harus membantu siapa saja yang meminta pertolongan. Semua itu terus aku kerjakan hingga akhirnya aku bertemu dengan guruku. Guruku adalah orang yang paling baik didunia. Namanya Bion."
Siti Adawiyah melanjutkan pertanyaannya. "Lalu?"
Bianca melanjutkan. "Guruku Bion mengajarkan aku cara berkholwat dan cara melepaskan keterikatan dengan dunia, Aku melakukannya setiap hari hingga akhirnya aku berhasil memasuki negeri akhirat."
"Didunia, engkau melayani manusia menyelesaikan masalahnya termasuk membuatkan kalung liontin. Kini engkau melayani makhluk abadi dan juga membuatkan kalung liontin untuk makhluk abadi. Apa bedanya? Engkau tetap melakukan kegiatan pelayanan. Manusia sungguh menyebalkan."
Bianca menyangkal pendapat Siti Adawiyah. "Jelas berbeda. Dahulu, didunia aku hanya diberikan waktu seratus tahun. Sekarang disini aku bisa melayani makhluk abadi hingga ribuan tahun bahkan tidak berbatas waktu. Nih, kalung liontin kamu sudah selesai."
"Wah.. Cepat sekali." Siti Adawiyah terlihat sangat senang. "Terimakasih.. Aku pergi dulu."
Siti Adawiyah meninggalkan Bianca sendirian karena liontin itu harus segera diberikannya kepada Asrul. Sementara Bianca masih termenung memikirkan ucapan Siti Adawiyah.