Unwanted Bride (Pengantin yang tak diinginkan)
Nazila Faradisa adalah seorang gadis dari keluarga broken home. Karena itulah ia menutup hatinya rapat dan bertekad takkan pernah membuka hatinya untuk siapapun apalagi menjalani biduk pernikahan. Hingga suatu hari, ia terlibat one night stand dengan atasannya yang seminggu lagi akan menyelenggarakan pesta pernikahannya. Atas desakan orang tua, Noran Malik Ashauqi pun terpaksa menikahi Nazila sebagai bentuk pertanggungjawaban. Pesta pernikahan yang seharusnya dilangsungkannya dengan sang kekasih justru kini harus berganti pengantin dengan Nazila sebagai pengantinnya.
Bagaimanakah kehidupan Nazila sang pengantin yang tidak diinginkan selanjutnya?
Akankah Noran benar-benar menerima Nazila sebagai seorang istri dan melepaskan kekasihnya ataukah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch.16
Setelah dirawat selama 5 hari di rumah sakit, akhirnya Nazila dinyatakan sembuh dan diizinkan pulang ke rumah. Awalnya Diana ingin agar Nazila tinggal sementara di rumah utama, tapi Nazila menolak dengan halus. Ia belum merasa nyaman bila ingin tinggal di rumah keluarga Noran. Ia merasa masih sangat canggung. Mungkin karena pernikahan mereka yang dadakan dan tanpa cinta, belum lagi mereka tak benar-benar saling mengenal sebelumnya selain sebagai atasan dan bawahan membuat rasa canggung itu tak dapat dielakkan.
"Kamu beneran nggak mau tinggal di rumah mama dulu!" tanya Diana dengan wajah penuh harap.
"Nggak usah, ma. Terima kasih atas perhatian mama. Tapi nggak mungkin kan Ila tinggal di sana, sementara mas Noran di apartemen." tukas Nazila lembut berharap Diana paham.
"Mas? Kamu manggil Nora, mas?" tanya Diana sambil mengulum senyum. Panggilan itu terdengar manis sekali saat terucap dari bibir Nazila.
"Em ... iya, ma. Kan Mas Noran usianya lebih tua 2 tahun dari Ila." sahut Nazila malu-malu. "Lucu ya ma? Atau ... terdengar aneh?"
"Ih, kata siapa? Justru panggilan itu terdengar manis sekali di telinga mama. Mama minta maaf ya La atas sikap putra mama. Mama akan selalu berdoa semoga kelak pintu hatinya terbuka dan mau menerima hubungan ini dengan lapang dada. Tapi satu harapan mama agar kalian mau saling membuka diri dan saling mencintai." tukas Diana penuh harapan. Nazila tak tau harus berucap apa. Bibirnya kelu. Ia tak berani berharap lebih. Nazila terlalu taku merasakan kekecewaan. Sudah cukup hidupnya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan. Berharap hanya diberikan kepada orang yang memiliki harapan, sedangkan dirinya merasa tidak memiliki harapan itu. Bahagia rasanya hanya sebuah mimpi. Mencintai dan dicintai baginya hanya sebuah dongeng pengantar tidur. Nazila memang gadis yang pesimis. Harapannya telah musnah semenjak melihat kehancuran sang ibu. Oleh sebab itu, ia tak pernah berani bermimpi dan berharap.
...***...
Malam sudah larut, tapi Nazila baru merasakan lapar. Jadi ia masuk ke dapur memeriksa beberapa bahan makanan yang sempat ia beli sebelum ia masuk ke rumah sakit. Setelah melihat masih ada bahan yang layak, ia pun memasaknya. Hanya tumis brokoli udang dan telur dadar ekstra cabai.
Baru saja ia menghidangkan hasil masakannya, Noran pun kembali. Ia terkejut saat melihat Nazila berdiri di depan meja dapur seraya menghidangkan sayur yang aromanya membuat Noran yang memang belum sempat makan malam merasa lapar.
"Kau baru mau makan malam?" tanya Noran membuat Nazila terkejut sebab baru kali ini Noran mengajaknya bicara tanpa nada sinis di setiap kata-katanya.
"Ah, i-iya. Aku baru merasa lapar. Tuan sudah makan?" tanya Nazila yang masih canggung. Bahkan ia masih memanggil Noran dengan sapaan tuan.
"Kebetulan belum." jawab Noran jujur.
"Tuan mau ... ikut makan?" tanya Nazila ragu-ragu. Sebelumnya Noran begitu anti dengan masakannya karena itu ia merasa ragu. Bisa saja tiba-tiba Noran kembali ketus saat ia menawarkan makan malam.
Noran tampak mempertimbangkannya. Ia pun merasa sangat lapar saat ini dan aroma masakan itu cukup menggugah seleranya. Padahal itu hanya masakan sederhana tapi entah mengapa Noran ingin sekali merasakannya.
"Em ... boleh. Silahkan duduk! Sebentar, saya siapkan." ujar Nazila gelagapan sendiri sebab tumben-tumbenan Noran selain tidak bersikap ketus, dia juga bersedia makan hasil masakannya.
Nazila pun dengan cepat mengambilkan nasi untuk Noran dari dalam rice cooker dan meletakkannya di depan Noran yang baru saja duduk. Ia juga mengambilkan segelas air putih dan membuatkan teh hangat tanpa gula seperti kebiasaan Noran saat makan.
Noran memperhatikan setiap gerak-gerik Nazila yang begitu cekatan sama seperti saat bekerja. Padahal ia baru saja keluar dari rumah sakit, tapi Nazila sudah mampu mengerjakan segalanya sendiri.
"Kau tidak makan?" tanya Noran saat Nazila justru hendak berlalu dari meja makan.
"Ah, nanti saya makan. Tuan silahkan makan terlebih dahulu." Nazila merasa canggung bila harus satu meja dengan Noran karena itu meskipun ia merasa sangat lapar tapi ia lebih memilih untuk menundanya.
"Duduklah!"
"Hah, apa?" seru Nazila takut salah pendengaran.
"Duduklah dan temani saya makan." ucap Noran. Nazila pun mengangguk dan segera duduk berseberangan dengan Noran dengan canggung. Baru saja tangan Nazila terulur untuk mengambil sayur, ternyata di saat bersamaan Noran pun ingin mengambil sayur sehingga tangan mereka tanpa sengaja saling berpegangan. Nazila yang terkejut lantas segera melepaskan tangan Noran dan mempersilahkan Noran menggambil sayur terlebih dahulu.
Suasana di meja makan sangatlah canggung. Hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang menggema di ruangan makan yang cukup minimalis itu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Noran tiba-tiba membuat Nazila mendongakkan wajahnya dengan mulut yang penuh. Ia terlihat sangat lucu dengan pipi menggembung itu. Noran sampai ingin tertawa tapi ia tahan. Gengsi lebih tepatnya.
Nazila pun cepat-cepat menelan nasi dalam mulutnya sampai dia hampir tersedak. Noran pun dengan cepat mengulurkan segelas air miliknya untuk Nazila tapi Nazila menolaknya halus.
"Ekhem ... terima kasih, tuan. Saya ... saya bisa ambil minum sendiri." ucapnya susah payah karena tenggorokannya masih tersumbat. Ia pun segera berlari ke dispenser dan menuang air lalu meminumnya.
"Keadaan saya sudah jauh lebih baik, tuan. Maaf."
"Maaf?" Noran mengerutkan keningnya saat mendengar kata itu dari bibir Nazila.
"Maaf karena saya nona Sarah jadi terjatuh di kolam." cicitnya sambil menundukkan wajah.
Noran cukup terkejut mendengar kata-kata itu. Sebenarnya ia telah melihat rekaman CCTV di kolam. Dapat ia lihat dengan jelas kalau Sarah lah yang lebih dahulu menghampiri Nazila lalu menjatuhkan diri ke kolam sambil menarik Nazila ikut serta. Tapi Nazila justru meminta maaf atas kesalahan yang bukan dibuatnya. Ia paham, mungkin Sarah melakukan itu karena emosi dan cemburu tapi tetap apa yang ia lakukan itu tak dibenarkan sebab bukan hanya akan membahayakan nyawa dirinya tapi juga orang lain.
Tapi yang cukup mengejutkan dirinya adalah Nazila yang justru meminta maaf, sedangkan Sarah saja saat ia suruh meminta maaf justru menolak keras dan merajuk. Ia menuding Noran tidak lagi mencintainya dan telah berpaling kepada Nazila. Noran berkali-kali menjelaskan tapi Sarah tak mau mengerti sehingga mereka justru berakhir dengan perdebatan.
"Kau tidak perlu meminta maaf. Itu sepenuhnya bukan salahmu. Maafkan aku yang tidak sadar kau pun sebenarnya terjatuh. Aku bersyukur kau tak apa-apa. Lain kali, lebih berhati-hatilah." ucap Noran sekaligus berpesan.
Nazila tersenyum getir.
"Tidak apa-apa, tuan. Saya maklum. Saya bukanlah siapa-siapa yang pantas untuk dipedulikan." ucap Nazila seraya berdiri dan mulai membereskan piring kotor meninggalkan Noran yang membeku karena kata-katanya.