Tawanya, senyumnya, suara lembutnya adalah hal terindah yang pernah aku miliki dalam hidupku. Semua yang membuatnya tertawa, aku berusaha untuk melakukannya.
Meski awalnya dia tidak terlihat di mataku, tapi dia terus membuat dirinya tampak di mata dan hatiku. Namun, agaknya Tuhan tidak mengizinkan aku selamanya membuatnya tertawa.
Meksipun demikian hingga di akhir cerita kami, dia tetaplah tersenyum seraya mengucapkan kata cinta terindah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sweet Marriage 28
Selepas mandi, Leina melihat tampilan dirinya di dalam cermin. Ia mulai merapikan bajunya, memoles wajahnya dengan make-up tipis, lalu setelah itu dia merapikan hijabnya.
Sepulang dari tanah suci, Leina bertekad untuk lebih menjulurkan hijabnya. Ya, dia menggunakan hijab yang ia lebarkan dibagian depan, sehingga dadanya tertutup oleh juntaian hijab.
Namun seketika fokus matanya berpindah ke perut. Doa salah satu tetangga tadi kini terngiang di kepalanya.
" Momongan? Apa aku bisa melalui tahap itu? Apa Mas Ravi juga ingin punya anak dari aku?"
Seketika perihal anak menjadi hal yang Leina pikirkan. Ia pun segera berjalan menuju nakas dan mengambil buku catatannya lalu menuliskan tentang hal tersebut.
Seusai menulis, Leina mengembalikan bukunya. Dia menuju ke ruang makan dimana Ravi sudah menunggunya.
Senyum Leina mengembang melihat Ravi yang juga belum mulai makan. Padahal Ravi tidak perlu melakukan itu, pria itu bisa makan lebih dulu tanpa harus menunggunya.
" Mas, kok belum juga sarapan?"
" Nunggu kamu, aku mau sarapan bareng istriku "
Leina tersipu, setiap kali Ravi menggunakan sebutan 'istriku' maka setiap itu juga wajah Leina memerah.
" Ah iya Mas, ehmm tadi ada tetangga yang bilang soal momongan. Aku mau tahu, apa Mas juga pengen punya anak?"
Degh!
Ravi seketika tersentak mendengar pertanyaan Leina. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat tidak ingin Ravi dengar dari Leina. Terlebih saat itu dia sudah berkonsultasi dengan Wisang.
Seperti kata Wisang, belum ada penelitian perihal penderita alzheimer yang hamil, jadi Wisang pun tidak bisa menjawab pertanyaan Ravi kala itu.
" Kok tiba-tiba tanya soal momongan Lei? Lei, aku hanya berdua dengan mu itu saja udah cukup. Udah jangan dipikirkan lagi ya, ayuk sarapan. Katanya mau berangkat ke kantor lebih awal?"
Leina mengangguk cepat, ia tahu saat ini Ravi sedang menghindari percakapan perihal anak. Mereka pun sarapan dengan tenang. Tanpa mereka tahu masing-masing dari mereka memiliki pemikiran yang berbeda.
Ravi jelas ragu untuk memiliki anak dengan Leina karena takut menghambat proses pengobatan. Sedangkan Leina, ia menjadi sensitif. Ia pikir Ravi tidak ingin memiliki anak darinya karena Ravi tidak ingin anaknya lahir dari ibu yang berpenyakitan.
Pikiran sensitif Leina itu ternyata dibawa hingga perjalan menuju ke kantor DCC. Sepanjang jalan, Leina hanya terdiam sambil menatap ke luar jendela.
Sikap Leina yang seperti itu membuat Ravi sedikit kebingungan. Dia tidak tahu apa yang membuat mood baik Leina menjadi buruk seperti itu.
" Lei, kamu lagi mikirin apa? Kok dari tadi lihat ke luara terus?"
" Nggak kok Mas, nggak apa-apa. Lagi pengen aja kok lihat jalanan."
Ravi menggaruk kepalanya yan tidak gatal. Dara nada bicara Leina, ia tahu bahwa istrinya itu sedang merajuk. Ravi menjadi tidak tenang jika meninggalkan Leina seperti ini. Jelas itu akan mengganggu fokus dirinya dalam bekerja.
" Lei, kamu marah sama Mas?"
" Nggak Mas. Beneran deh, aku nggak marah kok."
" Ya udah kalau beneran nggak marah. Terus, kenapa kok dari tadi kayak ngediemin Mas gitu."
Tanpa Ravi duga Leina menghembuskan nafasnya kasar. Ini sungguh membuat Ravi semakin bingung. Dan ia menjadi takut untuk bertanya. Ia takut kalau emosi Leina meledak. Sehingga pada akhirnya Ravi memilih diam hingga mobil mereka sampai di parkiran gedung DCC.
" Lei, nanti mau dibawakan makan siang apa hmm?"
" Apa aja Mas, aku nggak pilih-pilih kok. Aah iya, soal anak. Mas nggak mau punya anak sama aku karena aku penyakitan ya?"
" Apa? Lho kok kamu mikirnya gitu? Enggak sayang, nggak gitu. Aku bukannya nggak mau punya anak sama kamu. Hanya saja, aaah kita harus konsultasi dulu. Mengingat kamu kan selama ini konsumsi obat buat menghambat perkembangan alzheimer. Jadi kita nggak bisa langsung mutusin hal yang besar itu secara tiba-tiba. Jadi, kita bicarain nanti ya. Tapi asal kamu tahu Lei, bukan itu alasannya. Aku jelas bahagia bisa punya anak denganmu. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu lebih cepat."
TBC
😭😭😭😭😭😭😭
Bnr" nih author,sungguh teganya dirimuuuuu
Semangat berkarya thoor💪🏻💪🏻👍🏻👍🏻
gara" nangis tnp sebab
😭😭😭😭😭
bnr" nih author
pasti sdh ada rasa yg lbih dari rasa sayang kpd teman,cuman Ravi blum mnyadarinya...
bab". mngandung bawang jahat😭😭😭😭😭
Mski blum ada kata cinta tapi Ravu suami yg sangat peka & diandalkan...
aq padamu mas Ravi😍