Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Lebih Dekat
Malam pun tiba, karena semua urusan sudah selesai, Aghnia dan Malik melanjutkan rencana makan bersama yang sebelumnya mereka batalkan.
Setelah sampai di angkringan yang berada di pinggir kota, mereka berdua memilih bermacam nasi bungkus yang tersedia di meja dan beberapa sate ala ala angkringan, juga tak lupa air mineral.
"Sayang, kamu sudah ambil matkul skripsi kan? Sudah sampai tahap apa sekarang?", tanya Malik tiba tiba.
Mereka berdua memilih duduk di pinggir jalan, Malik sengaja memilih angkringan yg tak begitu padat pengunjung, agar leluasa ia memilih makanan dan tidak bising dengan teriakan pengunjung yang menikmati makanan dengan bermain game online, mereka menikmati indahnya lampu jalan raya dan beberapa kendaraan yang lalu lalang.
"Duh, jangan bahas itu dulu deh. Pusing aku, dapat dospem killer yang perfeksionis", ungkap Aghnia dengan wajah kusut.
"Killer? Siapa?", Malik penasaran.
"Itu tuh, pak Alfi", Aghnia malas menyebut namanya, seraya membuka nasi bungkus di depannya.
"Eh, dosen ganteng itu kan? Bukannya enak dapat dosen rupawan?", goda Malik yang juga membuka nasi bungkusnya.
"Apanya yang enak? Salah sedikit coret. Mending aku ganti dosen saja sekalian ganti judul, mulai dari awal", protes Aghnia.
"Yah, cepat banget nyerah", Malik menyayangkan.
"Bagaimana lagi? Pokoknya, kalau semester ini nggak lulus, aku mau ganti dosen", ujar Aghnia, nampak bertekad.
"Iya, terserah kamu sayang. Asal jangan ganti cowok aja. Aku insecure nih", ucap Malik serius namun dengan nada bercanda.
"Ngga lah. Killer gitu, bisa mati kaku aku kalau jadian sama orang kayak gitu", sahut Aghnia. Malik hanya menggelengkan kepalanya.
"Semangat ya. Aku sudah sampai bab pembahasan sekarang. Semoga aku bisa membantumu nanti saat pengumpulan data dan analisis ya", ujar Malik seraya mengusap lembut punggung Aghnia. Gadis itu menoleh, menatap tajam mata Malik.
"Kamu mengejekku?", ucap Aghnia, ingin penjelasan Malik yang memamerkan progresnya sudah sampai bab pembahasan.
"Eh, mana ada. Aku hanya memberimu semangat. Juga, kalau aku sempat, akan kutemani kamu mengumpulkan data dan ikut menganalisisnya. Begitu sayang", sahut Malik seraya memeluk Aghnia dari samping kanan.
Gadis itu mengerucutkan bibirnya, ia tak menggubris ucapan Malik. Ia memilih menikmati nasi bungkus yang berisi ayam suwir pedas dan tempe kering pedas manis.
Malik gemas melihat bibir Aghnia, ingin sekali menciumnya namun ia ingat batasan, ia melepas tangannya yang berada di pinggang Aghnia, menikmati nasi bungkus yang sama dengan kekasihnya. Sudut mata Malik melihat salah satu ponsel yang berada di meja menyala dan bergetar.
"Sayang ponsel kamu getar tuh" ucap Malik, menyikut lengan Nia pelan.
Aghnia memandang kedua ponsel yang ada di meja, gadis itu mengernyit, bukan ponsel miliknya yang bergetar namun milik kekasihnya lah yang bergetar.
"Punya kamu yang getar" Jawab Aghnia.
Malik meletakkan sendoknya, mengambil ponselnya melihat siapa yang menghubungi dirinya. Pria itu menggeser icon hijau untuk menjawab, mengarahkan layar ponsel pada wajahnya.
"Iya bunda" ucap Malik. Membuat Aghnia mendongak menatap layar ponsel Malik.
"Eh pantesan dari tadi dihubungi nggak dijawab, lagi kencan ternyata" goda perempuan paruh baya dengan kerudung hijau muda terlihat di layar ponsel Malik, nampak sedang memperhatikan seorang wanita di samping anak lelakinya.
Aghnia terbatuk mendengar ucapan ibu Malik, ia segera menenggak minumannya. Gadis itu tersenyum menyapa ibu Malik.
"Cantik sekali, siapa namamu nak?" Malik mengarahkan layar ponselnya pada Aghnia.
"Aghnia Tante" ucap aghnia. Pipi gadis itu memerah seperti tomat karena malu.
"Ada perlu apa bunda?" Tanya Malik, paham dengan pacarnya yang nervous, kini layar ponselnya ia arahkan padanya.
"Nanti bunda hubungi lagi, ingat batasan ya Malik" sahut bunda Malik memperingatkan.
"Siap, bunda", jawab Malik seraya mematikan ponselnya dan kembali meletakkannya di meja.
"Disuruh pulang?", Aghnia penasaran.
"Enggak, tenang aja sayang", sahut Malik. Mereka mengobrol tentang keluarga mereka, bermaksud untuk saling memperkenalkan, berharap nanti tidak canggung jika sudah menikah.
"Wah, bundamu guru ternyata", Aghnia nampak antusias.
"Iya, hampir pensiun. Makanya bunda terus mendesakku agar segera lulus dan menikah setelah bekerja selama beberapa bulan saja", jelas Malik.
"Keponakanmu berapa?" Aghnia penasaran. Ia suka anak kecil, namun sama sekali tidak mampu mengajar seperti abah dan umminya.
"Belum ada. Kakakku janda kembang, ditinggal setelah dua tahun pernikahan", ungkap Malik.
"Kenapa ngga menikah lagi?", Aghnia penasaran.
"Entah lah, mungkin belum bisa move on dari mendiang suaminya dan malah memilih menyibukkan diri di toko roti miliknya", jelas Malik.
"Memangnya, kamu kapan berani melamarku?", tohok Aghnia yang penasaran.
"Em, harus dijawab sekarang, sayang?", Malik merasa ragu.
"Engga sih, bebas aja", sahut Aghnia, melanjutkan makannya.
"Aku ingin kita melakukan penjajakan, agar saling mengenal dan memantapkan hati kita sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Nah, untuk itu, aku sendiri tak tahu berapa lama waktu yang kita butuhkan", ungkap Malik.
"Menurutmu, menikah itu untuk apa?", Aghnia belum memikirkan alasan kuat untuk mempertahankan bahtera rumah tangganya kelak.
"Em, entah lah sayang. Aku pun belum memikirkan sejauh itu", sahut Malik seraya mengendikkan bahu.
"Apakah dengan bersama seperti ini, kita akan menemukan alasan yang kuat, tanpa memikirkan matang-matang?", Aghnia pun tidak yakin, kebersamaan mereka akan melahirkan alasan kuat yang ia butuhkan.
"Mungkin. Kakak ku menikah juga dimulai dengan pacaran. Buktinya, sampai dua tahun ditinggal mendiang suaminya, ia belum bisa move on. Mungkin karena ia telah menemukan alasan kuat untuk bertahan", jelas Malik.
"Tapi, apa alasan kakakmu akan sama jika itu hubungan kita?", telisik Aghnia.
"Aku pun tak tahu. Kami jarang berkomunikasi semenjak kakak iparku meninggal. Kakak lebih suka menyendiri dan menyibukkan diri di toko roti dari pada bercengkrama dengan kami", ungkap Malik.
"Aneh?", ucap Aghnia.
"Apanya?", heran Malik.
"Em, setahuku, perempuan akan banyak bercerita, bukan memendam perasaannya. Kecuali, ia tidak menemukan tempat yang nyaman untuk bercerita", ungkap Aghnia.
"Mungkin satu saat nanti, akan kukenalkan kamu ke kakak ku. Siapa tahu, ia bisa membuka hati dan memulai lembaran hidup baru dengan suami baru", Malik menyampaikan harapannya. Aghnia mengangguk setuju.
"Eh, cepat sekali. Sudah jam 10 malam nih", pekik Aghnia yang mencapai rekor baru, makan sebungkus nasi selama dua jam lebih.
"Iya ya. Memang begini nih kalau bersama orang yang nyaman. Berapa jam pun ngga terasa lama, terlalu cepat bahkan", ungkap Malik.
Mereka pun segera membayar dan meninggalkan angkringan.
"Kalau kamu butuh teman untuk menyebar questionnaire, kabari aku nanti ya, sayang", tawar Malik, ingin membantu.
"Oke", Aghnia tentu tak keberatan seraya menautkan tangannya ke pinggang Malik selama berboncengan.
Di depan kontrakan, Risti sudah berdiri menunggu layaknya satpam beberapa kali saat Malik menjemput Aghnia untuk kencan. Melihat itu, Malik segera berpamitan agar tidak memperkeruh suasana.