Follow IG : base_author
Membaktikan kehidupannya untuk imamnya, peran yang dilakoni Thalia Ruth selama 4 tahun menjalani hidup berumah tangga dengan Andre Miles, suaminya. Di tinggallkan kedua orang tuanya karena kecelakaan menjadikan Thalia yang yatim piatu sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada Andre dengan kepercayaan yang tanpa batas. Bagaimana Thalia menjalani kehidupannya setelah Andre mencampakkannya setelah memperoleh semua yang diinginkan?? bahkan ibu mertua pun mendukung semua perbuatan suaminya yang ternyata sudah direncanakan sejak lama.
Menjadi lemah karena dikhianati atau bangkit melawan suaminya... manakah yang dipilih Thalia?
Siapkan tisu dan alat tempur sebelum membaca 😎
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Base Fams, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 28
"Dan untukmu... meskipun kamu sudah menjadi maduku, jangan pernah bermimpi menggantikan posisiku dirumah ini." Thalia mengintimidasi. "Karena lantai yang kamu pijak, adalah rumahku, rumah orang tuaku yang telah dirampas oleh suamiku." tegas Thalia "oh salah, maksudnya suamimu." ralat Thalia tersenyum miring penuh sindiran
"Cukup Thalia, jangan membuat drama... " Larang Andre
Senyum Thalia seketika menghilang, "baiklah aku tidak akan drama, tapi ingat ucapanku yang tadi!" ucap Thalia disertai dengan tatapan yang tajam
Thalia berbalik badan. Ia tidak peduli dengan amarah yang mungkin saja menguasai keduanya. Yang terpenting saat ini, Thalia berhasil menyudutkan mereka tanpa ada perlawanan. Thalia merasa cukup membungkam keduanya.
Mona menahan amarahnya. Ia memperhatikan Thalia yang melangkah semakin jauh. Aku akan membalas perbuatanmu, Thalia... Batin Mona.
Seraya melangkah, Thalia memijat tengkuk lehernya yang terasa tegang. "Mbok Sum..." Thalia berdiri di dekat meja pantry.
"Iya Nyonya.. " Sahut Mbok Sum.
"Nanti setelah pekerjaan Mbok selesai, tolong buatkan saya teh jahe ya dan tolong bawa ke kamar saya." perintah Thalia kepada Mbok Sum. Dalam hatinya, Thalia bersyukur adanya keberadaan Mbok Sum serta Pak Rahmat yang masih betah bekerja disini. Setidaknya dengan keberadaan mereka, tidak membuat Thalia merasa sendiri.
"Baik, Nyonya."
Beberapa saat kemudian, Thalia berada di kamar. Wanita itu melepas kancing kebayanya hingga kancing terakhir. Pergerakannya terhenti, ketika ia memperhatikan ruam ungu di bagian perutnya. Nampak masih terlihat jelas, sebab ia tidak mengobatinya.
Thalia mengganti kebaya dengan kaos oversize yang sudah disiapkan. Ia juga membersihkan riasan pada wajahnya.
Ketukan pintu terdengar, Thalia yang hendak menaiki tempat tidur, ia urungkan. Membelokkan kakinya ke arah pintu kemudian membukanya. "Masuk Mbok... " Thalia terdiam menatap lekat seseorang yang berdiri di depan kamar. Seorang wanita menggunakan kimono berbahan satin. "Ada urusan apa kamu kesini?" Thalia menatap tidak suka pada wanita itu.
Mona tersenyum samar, "aku ingin mengantarkan teh jahe." Mona sedikit mengangkat tangannya yang memegang cangkir. Tanpa permisi, Mona melenggang masuk ke kamar Thalia.
Tindakan Mona membuat Thalia kesal. Dengan segera Thalia menahan tangan Mona, "dasar tidak tau sopan santun! siapa yang memberi izinmu untuk masuk?" Tanya Thalia tenang tapi penuh penekanan
Mona tersenyum tidak terpengaruh dengan ucapan Thalia yang menyebutnya tidak sopan. "Suamiku yang memberi izin, " sahut Mona. "Jangan lupa, kamar ini juga kamar suamiku." Sambungnya.
"Keluar!" perintah Thalia menatap Mona tajam. Mona hanya diam, tengah memerhatikan kamar Thalia. "Apa selain murahan, kamu juga tuli? Aku bilang keluar!!" Ia menarik tangan Mona dengan kasar seperti apa yang dilakukan Andre kepadanya.
Splas...
Air panas mengenai tubuh dan tangan Thalia. Thalia membeliak, ia melepaskan tangan Mona, memerhatikan tangannya yang memerah.
"Oh.. I'm sorry, Thalia. Aku tidak sengaja." Kata Mona. Ia mengambil handuk Thalia yang berada di atas tempat tidur kemudian ia mengeringkan tangan Thalia yang basah.
Thalia menepis tangan Mona. "Jangan berpura-pura, aku tau kamu sengaja, kan?"
Mona tersenyum lagi, "iya, " jawab Mona menantang. "Itu sebagai peringatan agar kamu tidak bertindak berlebihan. Selamat malam Thalia, semoga mimpi yang indah." Mona pun meninggalkan kamar Thalia.
Thalia menarik napas panjang. Kelopak matanya bergetar. Ia segera mengobati luka di tangannya agar tidak melepuh, beruntung ada kotak obat di dalam kamarnya.
Ia mengoleskan salep pada tangannya yang memerah sambil meniup lukanya.
Thalia menitikkan air matanya. Sesaat ia terlihat rapuh. Napasnya memberat saat mengingat perlakuan kasar yang ia dapat. Akhirnya manik coklat itu berkaca-kaca.
Ia mendongak, berusaha menahan air matanya, namun semua sia-sia, cairan bening itu mengkristal kemudian jatuh dengan sekali kedipan mata.
Tidak.. tidak.. aku tidak boleh seperti ini. Aku harus kuat untuk menghadapi mereka. Thalia berucap demikian dalam pikirannya.
Thalia mengusap air matanya, dengan kasar. Ia mengembalikan salep ke dalam kotak, sejurus kemudian ia merangkak naik ke tempat tidur. Merebahkan tubuhnya, dan begitu saja ia terlelap.
Disaat Thalia terlelap, di tempat yang berbeda, Hanna termenung merindukan Thalia. Beberapa hari yang lalu, Thalia memberi kabar jika ingin terbang ke Singapura, untuk menenangkan diri.
"Assalamu'alaikum... "
"Wa'alaikumussalam... Mas sudah pulang." Hanna mencium tangan sang suami.
Mazhar tersenyum lembut, kemudian mengusap kepala Hanna. "Kenapa belum tidur? hmm.. "
"Aku memikirkan Thalia.. Mas."
"Bukannya kamu bilang, Thalia berada di Singapura?"
"Ya," Hana mengangguk. "Tapi entahlah Mas, perasaanku tidak enak." Mazhar bergumam mengerti perasaan istrinya. "Mas bisa bantu aku...?"
"Iya Sayang, Mas akan bantu. Sekarang kamu istirahat dulu ya.." Hana mengangguk lagi, Mazhar melabuhkan ciuman di puncak kepala Hanna. Kemudian, ia menghubungi seseorang.
.
.
.
Menepati janji untuk menyelesaikan masalah Mona dengan kedua orangtuanya, saat ini Andre, Bu Nita dan Mona dalam perjalanan menuju Probolinggo.
"Kenapa sejak tadi kamu diam saja, Sayang?" Suara Andre memecah keheningan. Ia mengusap tangan Mona yang berada di genggamannya sejak tadi.
"Aku khawatir, jika Ayah dan Ibu akan menolak kita, Mas." Mona akhirnya membuka suara. Berbagi apa yang dirasakan kepada pria yang sudah menjadi suaminya.
Andre bergumam, "jangan terlalu dipikirkan. Tidak baik buat kesehatanmu dan calon anak kita." Pesan Andre lembut penuh perhatian. "Lagipula, kamu tidak sendiri.. ada aku, ada Mama."
Sungguh kalimat Andre cukup menenangkan hatinya yang gundah sejak semalam, tepatnya setelah Andre mengajaknya untuk menemui kedua orangtuanya.
"Iya, Mas.." Singkat Mona.
"Perlihatkan senyuman indahmu," Mona melebarkan bibirnya, tersenyum lebar. "Nah seperti itu, kamu terlihat bertambah cantik, Sayang." Ujar Andre.
"Ish gombal!" Bersama, keduanya pun tertawa. "Pelankan suaramu, Mas. Mama sedang tidur."
Tak lama akhirnya mereka sampai. Andre memarkirkan mobil di depan rumah orangtua Mona. Mona kembali merasa gugup. "Ayo kita turun." Ajak Andre seraya melepaskan seatbelt, kemudian ketiganya turun bersamaan.
Mentari menaruh tiga cangkir, dan juga gorengan bakwan di atas meja.
"Terimakasih, Nak. Apa hari ini kamu berangkat kuliah?" tanya Ayah Akara.
"Iya Ayah, kelas siang" Mentari mengambil tempat di samping Ayah Akara.
"Ayah.. Supermarket di depan gang sedang membuka lowongan kerja. Apa Mentari boleh, bekerja?"
Sebenarnya Mona masih mengirimi uang kepada orangtuanya, akan tetapi setelah masalah yang terjadi di antara mereka, tidak sedikit pun uang pemberian Mona mereka pakai.
Tok... Tok... Tok..
"Biar Mentari yang buka pintunya" Bu Puspita yang ingin beranjak pun kembali duduk.
Mentari menarik langkah, lalu membukakan pintu. "Ka Mona, Ka Andre.. "