Elise, Luca dan Rein. Mereka tumbuh besar disebuah panti asuhan. Kehidupan serba terbatas dan tidak dapat melakukan apa-apa selain hanya bertahan hidup. Tapi mereka memiliki cita-cita dan juga mimpi yang besar tidak mau hanya pasrah dan hidup saja. Apalah arti hidup tanpa sebuah kebebasan dan kenyamanan? Dengan segala keterbatasannya apakah mereka mampu mewujudkannya? Masa depan yang mereka impikan? Bagaimana mereka bisa melepaskan belenggu itu? Uang adalah jawabannya.
Inilah kisah mereka. Semoga kalian mau mendengarkannya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeffa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Teman baru Part 1
Rein kembali tiga puluh menit kemudian, membawa Fenrir yang dipunggungnya terdapat tumpukan rusa dan Giant boar di mulutnya. Baik Elise maupun Luca menatap Rein dengan tatapan terkejut. Lihatlah, Fenrir itu tampak jinak dihadapan Rein yang sudah menurunkan tangkapan buruannya. Terlihat dari ekornya yang bergoyang kesana kemari layaknya anjing. Tama terlihat takut melihat Fenrir yang termasuk dalam predator berada di kawasan dekatnya. Tubuhnya seperti mencair karena ketakutan dan loncat kedalam pelukan Elise begitupun dengan slime lainnya yang berlindung dibalik tubuh Elise sebagai tameng. Kini Luca berdiri didepan Elise sebagai tameng sambil menatap Fenrir itu dengan kaki sedikit gemetar. Tubuhnya sudah siap memasang kuda-kuda dengan tangan mengacungkan pisau dapur kecil yang tempo hari di curinya dari dapur.
"Tenang dia jinak." Ucap Rein lebih dulu dengan menepuk tubuh Fenrir, membuatnya berubah posisi menjadi duduk. Bahkan terlihat sekali Fenrir itu terlihat menghormati Rein yang berdiri didepannya layaknya bawahan.
"Kamu yakin?" tanya Elise masih ragu. Mengintip dari balik punggung Luca yang masih memasang kuda-kuda.
"Aku jamin Erie adalah monster yang jinak. Ah ya kenal kan. Aku memberi namanya Erie. Dia laki-laki." Perkenalan singkat yang dijelaskan Rein membuat Luca mengendurkan tubuhnya kembali santai.
"Bagaimana kamu bisa menjinakkannya?" Tanya Luca penasaran begitupun dengan Elise yang juga penasaran. Elise mengelus Tama dengan lembut. Sepertinya Tama pun tahu bahwa Erie bukanlah musuhnya.
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya aku tidak sengaja membuat kontrak dengannya tempo hari." Rein memberikan alasan sekedarnya. Tama terlihat sudah mulai mendekat Erie dengan perlahan sedangkan Erie tampak tidak mengeluarkan aura membunuhnya malah sepertinya Erie penasaran dengan Tama yang seperti itu. Mendekatinya tetapi juga ragu. Penasaran tetapi takut. Lucu sekali bukan melihatnya. Elise masih mengawasinya dari ujung mata.
"Lalu kemudian kami bertemu. Dia membawa tumbukan buruan itu dan berlari ke arahku. Awalnya kukira dia ingin memakanku jadi aku hendak memukulnya dengan panah esku tapi urung." Rein berbohong. Tapi baik Luca maupun Elise tidak mengetahui kebohongan itu. Hanya Fenrir satu-satunya yang mengetahui kekejaman anak didepannya. Fenrir menaikan sudut bibirnya. Tersenyum sinis mendengarnya tapi tidak ada yang memperhatikannya.
"Kenapa?" Mereka sudah duduk berhadapan dengan Rein yang tampak rebahan ditubuh Erie dengan santainya.
"Lagi-lagi Erie berbicara kepadaku kalau dia bukanlah musuh. Dan malah memberiku tangkapannya." Ucap Rein menunjuk tumpukan buruannya membuat yang lain menganggukkan kepala. Mengerti dengan rentetan kejadiannya.
"Huh.. kulira kamu yang menangkapnya. Balu saja aku mau memujimu." Cibir Elise membuat Rein hanya tertawa pelan. Tama sudah berhasil mendarat diatas kepala Erie saat itu. Tapi dengan cepat Erie menggelindingkannya dan meletakan dibawah tangannya. Memutar-mutar tubuh Tama seperti bola dibawah tangannya. Mereka terlihat sudah akrab jika dilihat dari cara mereka bermain.
"Ah aku iri. Hanya aku yang tidak punya peliharaan." Ucap Luca membuat Rein tertawa.
"Memang kamu bisa mengurusnya dengan kesibukan bertani?" Tanya Rein.
"Ya ku usahakan." Ucapnya pelan. Elise melangkah mendekati tumpukan buruan itu.
"Baiklah mari kembali bekerja." Ucap Elise mulai merapalkan mantra 'pull and slice' satu persatu di mulai dari Giant boar kemudian beralih ke tumpukan rusa dan seterusnya.
"Gunakan ini untuk membalutnya.." Ucap Luca seraya menunjukan mengeluarkan tumpukan daun Turte yang tempo hari mereka ambil.
"Bukankah ini terlalu banyak? Bisakah kita menjual separuhnya?" Tanya Rein menatap daun itu.
"Sepertinya itu ide yang bagus. Begitu pula dengan daging disana." Tunjuk Luca menatap tumbukan daging yang menggunung yang telah selesai dibersihkan dari Daging, tulang dan kulitnya bahkan jeroannya.
"Biarkan jeroannya jadi makanan erie. Sisanya bisa kita bawa pulang saja dan jual. Lagipula Erie sudah kenyang. Dan setidaknya kita punya stok makanan untuk Erie untuk beberapa hari kedepan." Rein menjelaskan, mereka berdua mengganguk setuju.
"Tapi bagaimana caranya menjualnya? Kita tidak bisa sembarang pergi keluar panti. Ditambah lagi kita harus membawa Erie yang terlihat mencolok itu." Ucap Luca bingung tetapi tangannya mulai bergerak membungkus dengan daging dengan daun begitupun dengan Rein.
"Benal. Bagaimana ini?" Rein menatap Luca dan Elise pun mengangkat bahunya tidak tahu. Jika mereka menyusup seperti pergi ke hutan Murbo itu akan sulit. Karena dipasar setidaknya mereka akan berpapasan dengan penduduk setempat yang mengenal mereka yang merupakan salah satu anak panti. Sudah pasti akan lebih cepat diketahui. Apalagi prajurit yang tempo hari terlihat suka kepada Carla akan bertanya-tanya mengenai keberadaan Carla sebagai wali mereka. Jika mereka pergi ke pasar.
"Mau tidak mau kita halus meminta bantuan Calla." Ucap Elise lemas. Itu jawaban yang sulit. Mereka beristirahat sebentar untuk makan siang. Melemaskan tubuh masih dengan fikiran tentang bagaimana membawa Erie ke panti.
"Kita fikirkan nanti. Sekarang kita makan siang dulu kemudian kita bergegas kembali ke panti." Ucap Rein mengeluarkan sekantong kentang yang sudah dingin. Menyerahkan kepada mereka satu persatu.
"Baiklah." Ucap mereka kompak. Kemudian melahap kentang rebus tanpa bersisa.
...***...
Anak-anak itu sedang makan siang dengan kentang. Lucu sekali melihat tingkah gadis yang dipanggil dengan nama Rein itu berakting seolah dirinya lugu dan menggemaskan dibalik sosoknya yang ganas. Menyembunyikan semua kekuatan yang dimilikinya tadi, bahkan berbohong jika semua buruan itu adalah buruan Fenrir. Memang darah pahlawan yang haus akan darah tidak bisa hilang begitu saja dari tubuhnya. Fenrir bergelung dengan ekornya mengingat kejadian tadi.
30 menit sebelumnya...
Fenrir masih mengekor dibelakangnya yang dengan cepat memburu setumpuk rusa dan sepuluh Giant boar hanya dengan skill remehnya. Aura dingin yang menyeruak ke dalam tubuhnya yang dipenuhi bulu tebal membuatnya bergidik ngeri. Untung saja dirinya bukanlah musuh dari manusia didepannya. Jika tidak dirinya akan menjadi daging beku saat itu juga.
"Makanlah. Katanya kau lapar." manusia itu duduk santai didekat tumpukan itu. Lihat, bahkan dia tidak mengeluarkan keringat sedikitpun setelah melakukan pekerjaan itu. Rasanya semua buruan itu bisa dijadikan stok selama satu tahun untuk mereka bertiga.
"Terima kasih Tuanku." Fenrir menunduk memberikan hormat kemudian memakan sepuluh Giant boar dihadapannya. Dirinya memilih yang besar agar cepat kenyang.
"Sisakan satu Giant boar yang paling besar. Aku malas memburunya lagi." manusia itu berusia lima tahun itu, menggunakan pakaian perempuan padahal dirinya adalah anak laki-laki. Dia terbaring di atas rumput hijau yang lembut. Kaki kanannya ditekuk dan kaki kirinya terbuka lebar, seolah menikmati kebebasan yang biasa mengekangnya. Tangan kanannya menopang kepala, membentuk bantal alami.
Matahari pagi memancarkan cahaya lembut di wajahnya, membuatnya semakin nyaman. Suasana sekitar yang tenang dan alami menambah kesan santai. Dia menghela napas dalam-dalam, menikmati udara segar pagi.
Tiba-tiba, dia menggoyangkan kaki kirinya pelan, mengiringi irama angin yang berhembus. Rambutnya acak-acakan, menambah kesan santai. Anak perempuan itu terlihat bahagia menikmati waktu sendiri, menunggu dengan sabar Fenrir yang sedang makan didepannya. Sosoknya yang seperti itu mengingat Fenrir tentang sosok Pahlawan yang terlihat tumpang tindih dengannya.
"Baik tuanku." Fenrir tersenyum kecut melepaskan gigitan dari Giant boar yang paling besar dari mulutnya tanpa bisa berkomentar selain mematuhi perintahnya.
"Sampai kapan anda bersembunyi dari balik pakaian itu tuanku." tanya Fenrir penasaran setelah seraya mengisi perutnya.
"Tidak perlu berkomentar mengenai penampilan ini. Cukup diam saja atau ku ikat dengan pita!! Jadi bertingkahlah baik didepan orang terdekatku." ancamnya sadis.
"Oh namamu sekarang Erie. Ingat itu." Fenrir merasa malu dengan nama asal yang dibuatkan untuknya. Sepertinya manusia itu memiliki kemampuan membuat nama yang buruk.
"Terima kasih Tuanku." puji Fenrir setengah hati.